Pilkada Pekanbaru 2024 telah memasuki masa kampanye. Penyabutan nomor urut, telah dilakukan beberapa waktu lalu, tepatnya 23 September 2024. Muflihun, S.STP., M.AP dan Ade Hartati Rahmat, M.Pd., sebagai pasangan kandidat terkuat, mendapatkan nomor urut 1 pada perhelatan ini. Dan sepertinya, gong tahapan kampanye, ditandai dengan propaganda survey yang dipublish oleh sekelompok orang dengan maksud tujuan tertentu. Sebagai pemilih, survey politik bukan barang baru pada setiap proses pemilihan eksekutif maupun legislatif di Indonesia. Dia dapat berlaku sebagai alat propaganda. Juga dapat dilakukan dengan memanipulasi proses dan publish akhirnya untuk tujuan tertentu. Bagaimana bisa?
Survei politik merupakan alat yang digunakan untuk mengukur opini publik dan tren politik. Di Indonesia, survei politik telah menjadi elemen penting dalam setiap proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), Pemilihan Umum (Pemilu), dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Â Dalam konteks politik modern, survei sering kali dipersepsikan sebagai metode netral untuk memahami opini masyarakat. Survei politik juga bisa dimanfaatkan sebagai alat propaganda oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membentuk opini publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam sejarahnya, survei politik mulai populer di Indonesia pada era Reformasi, khususnya pada Pemilu 1999, ketika kebebasan politik meningkat dan survei menjadi alat yang diandalkan untuk memprediksi hasil pemilihan. Seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga survei independen, publik mulai mengandalkan hasil survei untuk mendapatkan gambaran tentang popularitas calon kepala daerah atau partai politik.
Survei sebagai alat propaganda bukanlah fenomena baru. Melalui manipulasi data, framing pertanyaan, serta penyebaran hasil survei yang bias, survei dapat digunakan untuk memengaruhi persepsi publik terhadap isu atau kandidat tertentu. Hal itu salah satunya dapat disangka dikarenakan meningkatnya pengaruh survei dalam pembentukan opini publik, sehingga praktik penipuan atau manipulasi survei juga semakin marak. Penipuan survei politik dalam Pilkada telah menjadi salah satu tantangan dalam proses demokrasi Indonesia. Salah satu kasus yang terkenal adalah di Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana beberapa survei menunjukkan hasil yang tidak konsisten dengan kenyataan di lapangan, diduga untuk mempengaruhi opini pemilih.
Sebagai alat propaganda, hasil survey kerap melalui tahapan dan proses yang tidak semestinya. Â Misalnya, memanipulasi framing pertanyaan yang merupakan salah satu cara utama di mana survei dapat digunakan sebagai alat propaganda. Cara pertanyaan disusun dapat memengaruhi jawaban yang diberikan oleh responden. Sebagai contoh, pertanyaan yang bersifat leading (memimpin) dapat mengarahkan responden untuk menjawab dengan cara tertentu yang mendukung narasi yang diinginkan oleh pihak yang membuat survei.
Penyebaran hasil suvey yang bias dapat digunakan untuk membentuk opini publik. Laporan hasil survei yang menyimpang atau berfokus pada aspek tertentu dapat memberikan gambaran yang tidak akurat tentang keadaan sebenarnya. Media, yang sering kali menjadi perantara dalam menyampaikan hasil survei, juga dapat menjadi bagian dari proses propaganda jika mereka memilih untuk menekankan hasil-hasil tertentu yang mendukung agenda politik tertentu. Nah, kasus ini terjadi di berbagai Pilkada di Indonesia, di mana beberapa lembaga survei terindikasi bekerja sama dengan tim kampanye kandidat tertentu untuk menaikkan hasil survei.
Belum lagi munculnya  survei palsu dan ilusi dukungan publik Dalam beberapa kasus, survei palsu atau hasil survei yang dilebih-lebihkan digunakan untuk menciptakan ilusi dukungan publik yang besar terhadap kandidat atau kebijakan tertentu. Taktik ini sering digunakan dalam situasi di mana partai politik atau kelompok kepentingan ingin memberikan kesan bahwa mayoritas masyarakat mendukung posisi mereka, meskipun kenyataannya mungkin berbeda.
Penipuan dalam survei politik memiliki dampak yang serius terhadap proses demokrasi. Survei seharusnya menjadi alat yang netral untuk mengukur preferensi publik, namun ketika disalahgunakan, survei dapat merusak proses pemilu yang bebas dan adil.
Beberapa dampak negatif dari penipuan survei politik antara lain:
1. Melemahkan Kepercayaan Publik Penipuan survei politik dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu dan institusi demokrasi. Ketika masyarakat merasa bahwa survei tidak dapat dipercaya dan dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu, mereka bisa menjadi skeptis terhadap integritas keseluruhan pemilu.
2. Mempengaruhi Pilihan Pemilih Salah satu tujuan utama penipuan survei adalah untuk memengaruhi keputusan pemilih yang belum menentukan pilihan. Survei yang menampilkan calon tertentu sebagai unggul dengan selisih yang besar dapat membuat pemilih yang ragu-ragu lebih cenderung memilih calon tersebut karena faktor "bandwagon effect" (efek ikut-ikutan); serta
3. Mengganggu Kompetisi yang Adil Penipuan survei memberikan keuntungan yang tidak adil bagi kandidat tertentu, terutama jika hasil survei digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi pemilih. Hal ini mengganggu prinsip kompetisi yang adil dan sehat dalam pemilu.
Penggunaan survei politik sebagai alat propaganda dapat memiliki dampak signifikan terhadap proses demokrasi. Ketika hasil survei yang dimanipulasi digunakan untuk membentuk opini publik, integritas demokrasi bisa terancam. Masyarakat dapat dipengaruhi untuk mendukung kandidat atau kebijakan berdasarkan informasi yang salah atau menyesatkan. Dalam jangka panjang, ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik, media, dan survei itu sendiri.
Penipuan survei politik dalam Pilkada di Indonesia telah menjadi tantangan serius bagi proses demokrasi. Meskipun survei politik memiliki potensi untuk memberikan gambaran yang jelas tentang preferensi pemilih, penyalahgunaan survei untuk tujuan politik dan propaganda dapat merusak integritas pemilu. Untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan pemilu yang adil, penting bagi masyarakat untuk waspada terhadap survei-survei yang tidak kredibel dan bagi lembaga survei untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika dalam melakukan survei politik.Â
Apakah survey yang beredar pada tahap kampanye awal pemilihan Walikota Pekanbaru yang lalu merupakan sebuah propadanda politik dengan cara manipulasi proses atau pun hasilnya? Wallahua'lam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H