Perencanaan dan penganggaran merupakan dua proses penting dalam manajemen keuangan pemerintah daerah. RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran), dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah dokumen-dokumen yang harus sinkron dan saling terkait untuk memastikan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Namun, perbedaan dalam jumlah anggaran antara ketiga dokumen ini sering kali menimbulkan masalah hukum yang dapat berpengaruh terhadap akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menekankan pentingnya keselarasan antara perencanaan dan penganggaran, di mana RKPD merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan yang harus menjadi acuan dalam penyusunan anggaran. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa kepala daerah bertanggung jawab untuk menyusun RKPD yang menjadi pedoman dalam penyusunan RAPBD, sehingga perbedaan yang signifikan antara dokumen-dokumen ini dapat dianggap sebagai penyimpangan.Â
Secara mengerucut, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 mengatur tata cara perencanaan, pengendalian, dan evaluasi pembangunan daerah serta penyesuaian antara RKPD, KUA, dan APBD. Sebagaimana ditegaskan pada peraturan diatasnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menjelaskan bahwa APBD harus disusun berdasarkan RKPD dan KUA yang telah disepakati, dengan tujuan memastikan konsistensi dalam perencanaan dan penganggaran.
Penyusunan APBD yang berdasarkan RKPD dan KUA dapat menjadi bahan audit jika terdapat perbedaan jumlah yang signifikan antara ketiganya; baik itu RKPD dengan APBD, maupun antara KUA dengan APBD, atau malah RKPD, KUA dan APBD. Karena perbedaan yang terlalu mencolok dapat menimbulkan temuan hukum terkait ketidaksesuaian program dan kegiatan yang direncanakan dengan yang dianggarkan. Hal ini dapat menyebabkan program-program prioritas tidak terlaksana dengan baik.Â
Lalu, menimbulkan penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan dengan perencanaan awal, dan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum dan penyalahgunaan anggaran. Temuan ini dapat mengakibatkan sanksi administratif maupun pidana bagi pejabat yang bertanggung jawab. Perbedaan anggaran yang signifikan dapat menunjukkan kelemahan dalam sistem pengawasan internal dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Misalnya, RKPD Provinsi Riau tahun 2024 direncanakan sebesar 9.182.188.294.376 Rupiah. Sementara itu, rancangan KUA PPAS nya senilai Rp. 9.182.188.294.375. Dan APBD Provinsi Riau disahkan sebesar 11.020.380.657.451 Rupiah. Jika kita perbandingkan antara KUA PPAS dengan APBD yang disahkan, maka terdapat perbedaan antara RKPD dengan APBD senilai 1.838.192.363.075 Rupiah dan KUA PPAS dengan APBD sejumlah Rp. 1.838.192.363.076. Dan antara RKPD dengan KUA PPAS sejumlah 1 Rupiah.
Perbedaan yang mencolok ini atau dapat dikatakan hingga melebihi 10%, adalah jumlah yang tidak main-main. Artinya, harus dapat dipastikan bahwa, penambahan angka yang sekitar 1,8 Triliyun ini bukan "titipan" atau "selipan". Kepastian ini hanya bisa didapat dengan cara melakukan audit internal dan investigatif saat penyusunan menjadi APBD 2024 (disahkan), dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Dalam pandangan kami, ada beberapa landasan yang mengatur bahwa RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tidak boleh memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Landasan hukum ini bertujuan untuk memastikan sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran, serta menjamin bahwa program dan kegiatan yang direncanakan dapat direalisasikan dengan dukungan anggaran yang memadai.Â
Hal ini dapat disimpulkan dari membaca Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD, dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD, dan RKPD, serta Permendagri Nomor 64 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021.
Dengan adanya landasan hukum tersebut diatas, pemerintah daerah wajib memastikan bahwa RKPD dan APBD selaras dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua program dan kegiatan yang direncanakan dalam RKPD dapat didukung oleh anggaran yang memadai dalam APBD, sehingga pembangunan daerah dapat berjalan dengan lancar dan mencapai hasil yang diharapkan.
Dalam pandangan kami, RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah dua dokumen penting dalam perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah. RKPD adalah dokumen perencanaan tahunan yang memuat program dan kegiatan pemerintah daerah dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan jangka menengah. Sementara itu, APBD adalah dokumen anggaran yang merinci pendapatan dan belanja daerah untuk satu tahun anggaran. Secara ideal, RKPD dan APBD harus saling terkait dan sinkron satu sama lain karena RKPD menjadi dasar dalam penyusunan APBD. Program dan kegiatan yang direncanakan dalam RKPD harus tercermin dalam alokasi anggaran di APBD. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan adanya perbedaan antara RKPD dan APBD:
- Perubahan Kebijakan: Kebijakan pemerintah pusat atau daerah bisa berubah setelah RKPD disusun, sehingga mempengaruhi prioritas dan alokasi anggaran dalam APBD;
- Pendapatan Daerah: Perubahan dalam estimasi pendapatan daerah bisa menyebabkan penyesuaian dalam APBD, meskipun RKPD sudah direncanakan sebelumnya;
- Keterbatasan Anggaran: Keterbatasan dana yang tersedia bisa menyebabkan tidak semua program dalam RKPD dapat diakomodasi dalam APBD; dan
- Penyesuaian Teknis: Dalam proses penyusunan APBD, mungkin terdapat penyesuaian teknis atau prioritas yang berbeda dari yang direncanakan dalam RKPD.
Meskipun perbedaan ini bisa terjadi, pemerintah daerah harus berusaha untuk meminimalisir ketidaksesuaian dan memastikan bahwa program-program prioritas tetap mendapatkan alokasi anggaran yang memadai. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran juga sangat penting untuk memastikan bahwa perbedaan antara RKPD dan APBD tidak merugikan masyarakat. Nah, pertanyaan mendasar selanjutnya, bagaimana jika perbedaan yang besar ini malah menyebabkan terjadinya defisit anggaran di Provinsi Riau? Apakah ada indikasi "inject angka" di tengah malam? Jika dia tidak sesuai aturan hukum berlaku, maka Siapa Pelakunya? Hanya Allah yang mengetahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H