Mohon tunggu...
Miftah RinaldiHarahap
Miftah RinaldiHarahap Mohon Tunggu... Lainnya - Partai Hijau Indonesia | New Native Literasi

Sedang bergerilya bersama @Partai Hijau Indonesia, @New Native Literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Elegi Kota Padangsidimpuan: Sebuah Upaya untuk Menunda Kehancuran

3 Februari 2025   09:52 Diperbarui: 3 Februari 2025   09:52 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masuknya kota ini  dalam kategori zona hijau menandakan bahwa  Pemerintah Kota Padangsidimpuan telah memberikan pelayanan publik secara profesional, transparan serta responsif. Tentu ini menarik mengingat dua data survei yang telah disajikan sebelumnya menyoroti tentang kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. 

Sementara itu, dalam soal tingkat kejahatan. Polres Kota Padangsidimpuan  mengatakan bahwa jumlah kasus yang terjadi selama tahun 2024 mengalami penurunan kasus dibandingkan tahun 2023. Pada tahun 2024 jumlah kasus di kota Padangsidimpuan berjumlah 470 kasus, sementara pada tahun 2023 berjumlah 763 kasus. Selain itu pihak Polres juga menyampaikan bahwa selama tahun 2024 kasus yang paling menonjol adalah kasus tindak pidana Narkotika (https://lensakini.com/daerah/ini-deretan-kasus-yang-ditangani-polres-padangsidimpuan-di-tahun-2024-kasus-narkoba-terbanyak/2/). 

Tentu, ini menjadi semakin menarik sebab saya jadi ingat yang disampaikan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose bahwa kejahatan tindak pidana Narkotika selalu erat kaitannya dengan soal korupsi dan terorisme (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/03/01/kejahatan-narkoba-erat-dengan-korupsi-dan-terorisme). Jika demikian maka bisa dikatakan bahwa maraknya kasus tindak pidana Narkotika di Kota Padangsidimpuan merupakan manifestasi dari kurangnya profesionalisme, transparansi serta  akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya. 

Soal lain yang tidak kalah penting adalah soal sampah. Persoalan sampah di Kota Padangsidimpuan persis seperti bom waktu. Ini adalah persoalan yang jika tidak ditangani secara cepat juga tuntas maka ini akan menyebabkan kota ini memasuki masa - masa  krisis. Sampah di Kota Padangsidimpuan bisa dikatakan sudah overload, hal ini bisa dilihat dari tidak mampunya TPA ( Tempat Pemrosesan Akhir ) yang berada di desa Batubola, Kecamatan Batunadua untuk menampung sampah - sampah yang datang dari berbagai penjuru kota Padangsidimpuan. 

Ketua Sarikat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara, Hendrawan Hasibuan menyatakan bahwa Pemerintah Kota Padangsidimpuan diminta untuk menghentikan pembuangan sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA ) sebab tumpukan sampah di tempat itu menghasilkan cairan yang mencemari irigasi dan sungai Batang Ayumi (https://shi.or.id/pemko-padangsidimpuan-diminta-hentikan-pembuangan-sampah-ke-tpa-batu-bola/). 

Sejatinya persoalan ini sudah direspon oleh pemerintahan Kota Padangsidimpuan dengan berupaya untuk mencapai lahan yang bisa dijadikan TPA. Salah satu yang menjadi opsi untuk dijadikan TPA adalah Desa Batang Bahal, Kecamatan Padangsidimpuan, Batunadua. Sialnya, hingga saat ini fasilitas tersebut belum bisa dibangun. Pemerintah Kota Padangsidimpuan telah berupaya untuk segera melakukan pembangunan fasilitas ini dengan mengajukan proposal pembangunan TPA sejak tahun 2022  kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya saja belum ada tindak lanjut yang konkret tentang realisasinya (https://www.google.com/amp/s/metrodaily.jawapos.com/sumut/amp/2355506208/kota-padangsidimpuan-butuh-tempat-pembuangan-akhir-sampah-baru). 

Seharusnya pemerintah Kota Padangsidimpuan bisa menggandeng sektor di luar pemerintah untuk segera merealisasikan hal ini. Singkatnya, harus ada peran aktif dari pemerintah. Lantas, dari penjelasan kedua problem utama sebelumnya bisa dilihat bahwa  pemerintah Kota Padangsidimpuan tidak bisa berjalan dengan optimal jika tidak diawasi oleh warga yang kritis. Tetapi,seperti pertanyaan awal pada tulisan ini, bisakah warga Kota Padangsidimpuan menjadi warga yang kritis? 

Bisakah menjadi Warga Kritis ? 

Jika ditanya apakah warga Padangsidimpuan itu bisa kritis atau tidak? Maka, jawabnya adalah tidak tahu. Saya menjawab "tidak tahu" karena saya bingung. Sebab, seperti yang sudah saya jelaskan pada awal tulisan ini bahwa warga Kota Padangsidimpuan bisa memberi umpatan terhadap praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di kota mereka.

Bukankah,umpatan itu adalah manifestasi dari sikap kritis? Bukankah,itu adalah bukti bahwa warga mampu mengetahui berbagai macam praktik yang tidak beres di dalam tata kelola pemerintahan kota? Namun, kendati warga mengetahui tetap saja  praktik itu, mengapa tetap dibiarkan oleh sebagian besar warga?

Pembiaran itu disebabkan karena warga Kota Padangsidimpuan telah lama mengalami apa yang disebut sebagai "apatisme - hedonistik". Sikap inilah yang kemudian yang membuat warga enggan bertindak kendati mereka mengumpat karena mengetahui bahwa tindakan ketidakadilan sedang menggerogoti mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun