Sektor wisata menjadi bagian dari industri, yang tentunya mengarah pada produktifitas pada sektor ekonomi untuk meningkatkan benefit dari pengelolaannya, hasil dari pengelolaan kawasan wisata dengan optimal.Â
Sebelum terjadinya pandemi, kontribusi sektor wisata terhadap pendapatan daerah maupun pusat sangat besar, selain sektor migas, dan sebagainya.Â
Pariwisata mampu menjadi salah satu sektor sumber devisa negara.  Sejalan perkembangan pariwisata, perhatian terhadap lingkungan sekitar dan  monitoring dalam rangka menciptakan wisata yang berkelanjutan, baik secara ekologis maupun non ekologis pun penting dilakukan.
Kerentanan sektor pariwisata di Indonesia terhadap berbagai tantangan eksternal, termasuk diantaranya dampak perubahan iklim, pandemi, bencana alam, sosial-ekonomi, dan disrupsi teknologi merupakan tantangan besar yang harus dihadapi dalam keberlanjutan sektor pariwisata.Â
Berdasarkan kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, misalnya bencana tsunami yang terjadi di provinsi Banten di akhir tahun 2018 dan pandemi yang mulai di awal tahun 2020, menunjukkan bahwa sektor pariwisata tidak pernah siap dalam menghadapi bencana tersebut. Adapun kerugian yang ditimbulkan dari kerentanan pariwisata tersebut akan sangat merugikan misalnya kesan negatif, kehilangan pendapatan dan mata pencharian, dsb.
Pariwisata secara umum disebut memiliki daya lenting yaitu kemampuan untuk beradaptasi menghadapi perubahan yang terjadi. Pariwista memiliki interdependensi dengan elemen (sosial-ekonomi-dan lingkungan) diluar sistem parwiisata itu sendiri dan ketika dihadapkan dengan perubahan, elemen dalam sistemmemiliki  kapasitas untuk mengatur ulang diri mereka untuk lebih beradaptasi dengan lingkungan saat ini.Â
Berdasarkan pengalaman di masa lalu, kunjungan wisatawan internasional cenderung kembali pulih walaupun ditempa beberapa krisis dan bencana (september 11, tsunami, bom bali, krisis ekonomi global).Â
Dampak krisis dan bencana relatif singkat dalam memori wisatawan. Begitupun, dengan dilonggarkannya aturan pembatasan perjalanan memacu kembali pergerakan perjalanan wisata dan menghidupkan roda ekonomi.Â
Kegiatan wisata pun merupakan kebutuhan hak azazi manusia, baik fisik, kognitif dan spiritual. Sehingga, minat dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan perjalanan wisata akan selalu ada.
Belajar dari pengalaman yang telah dihadapi sektor pariwisata, bahwa kerentanan sektor pariwisata ini memaksa perubahan cara pandang dan cara pengelolaan kepariwisataan. Sektor ini akan terangkat apabila didukung dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang stabil.Â
Selain itu, perjalanan bukan kebutuhan yang primer sehigga masih dapat ditunda dan tidak menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, kepariwisataan tidak dapat dilihat secara sempit, tetapi perlu juga melihat kondisi makro, dan dalam pengelolaan harus mampu menavigasikan cara dan tujuan dengan berbagai tantangan yang ada.Â