Ada sejumlah pengarang yang humoris. Jean Paul Sartre termasuk salah satunya. Tetapi humor yang disuguhkannya bukanlah humor ala Extravaganza yang mengocok perut, kemudian membuat kita tidur lebih nyenyak karena lelah tertawa. Humor ala Sartre adalah humor yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal sekaligus miris dalam hati. Humornya adalah semacam komedi hitam, yaitu ketika tokoh yang diceritakan memperlihatkan kenyataan hidup dengan sinis. Melalui tokoh-tokohnya, Sartre memperlihatkan bahwa kehidupan manusia adalah absurditas. Penyebabnya adalah karena mereka memiliki kebebasan mutlak dan berkuasa penuh atas hidupnya.
Seperti yang ditampilkan dalam filsafatnya, Sartre tidak percaya bahwa manusia itu memiliki esensi. Hidup manusia berbeda dengan benda mati yang tidak bisa keluar dari cetakan esensinya. Ibarat sebuah pinsil diciptakan hanya untuk menulis, sementara manusia itu bisa menjadi apa pun. Singkatnya, eksistensi mendahului esensinya. Tak ada cetakan dalam diri manusia yang menentukan untuk apa ia ada di dunia. Ketiadaan cetakan primordial itu memungkinkan manusia untuk memiliki kebebasan mutlak, dan konsekuensinya adalah lahirnya absurditas.
Absurditas, pada satu sisi, seakan merupakan kebebasan puncak bagi manusia. Kiranya absurditas akan berujung pada kebahagiaan karena manusia tak lagi dikungkung oleh konsepsi tentang adanya cetakan primordial. Tetapi, ternyata Sartre pun menggambarkan efek absurditas tersebut berupa jejaring yang memerangkap manusia. Bisa dikatakan bahwa hal yang seringkali ditampilkan oleh Sartre di dalam karya fiksinya adalah manusia-manusia absurd. Dia seperti hendak mengganggu pembaca melalui karya fiksinya yang bermuatan filsafat eksistensialis. Bahkan pada tahun 60-an atau pada masa pascaperang, eksistensialisme menjadi spirit yang dihirup oleh banyak kalangan, terutama di negeri asalnya, yaitu Perancis.
Gangguan Sartre tak ubahnya ejekan yang membuat pembaca karyanya seperti terlempar ke dalam pertanyaan apakah kehidupan manusia itu sedemikian menyedihkan? Mengapa kebebasan yang sebenarnya merupakan salah satu idaman malah melemparkan diri manusia ke dalam jurang absurditas? Filsuf berperawakan pendek dan juling itu secara brilian membawa pembacanya ke dalam lingkaran pertanyaan yang tak mudah untuk didapatkan jawabannya. Bahkan pada satu titik kita seakan digiring untuk menertawakan kehidupan yang dijalin ke dalam karya-karya fiksinya. The Age of Reason, salah satu novel triloginya, bercerita mengenai persoalan pelik yang terjadi dalam sekelompok kecil manusia di Perancis pada masa Perang Dunia Kedua.
Mereka terlibat dalam persoalan pelik, yaitu bagaimana cara menikahi kekasih yang keburu hamil. Intrik-intrik halus untuk memperoleh kemenangan eksistensi atas manusia lainnya menjadi unsur dominan di dalam karya ini. Marcelle, perempuan yang hamil tersebut, menjadi objek perebutan kekuasaan antara dua lelaki yang saling bersaing. Setelah kita dibawa oleh petualangan Sartre dalam menggerakkan kedua tokoh lelaki tersebut untuk mendapatkan Marcelle, kita harus menerima kenyataan bahwa salah satu tokoh laki-lakinya adalah seorang homo.
Perempuan yang sedang hamil itu harus menunggu siapa dia antara mereka yang berhasil akan menjadi pemenang. Di penghujung cerita kita disodori kenyataan bahwa sang lelaki pemenangnya ternyata adalah seorang homo. Ia memenangkan pertarungan bukan karena sangat mencintai tersebut, tetapi semata-mata untuk mempermalukan rivalnya.
Itulah sedikit cuplikan absurditas yang dikemukakan oleh Sartre. Banyak yang mengakui bahwa apabila kita ingin mengenali pemikiran Sartre, atau eksistensialisme, maka membaca karya-karya fiksinya merupakan jalan yang tepat, karena biasanya bahasa fiksi lebih mudah dirasakan dan dihayati. Demikianlah, diri menurut Sartre adalah makhluk yang memiliki kebebasan mutlak, sedangkan absurditas adalah oleh-oleh dari kebebasan tersebut. Konsepsi tersebut membuat kita bertanya-tanya, apakah hal itu lebih baik? Mungkin ya apabila cita-cita kita adalah kebebasan tanpa batas, apalagi terbebas dari hukum-hukum Tuhan yang mengungkung. Dengan melepaskan diri dari esensi, berarti “menyingkirkan” Tuhan dari kehidupan. Sekali lagi absurditas adalah hadiahnya.
Setelah kita bicara sedikit mengenai komedi hitam ala Sartre, kita bisa mulai membincangkan Milan Kundera yang gayanya tak kalah nakalnya dibandingkan dengan Sartre dalam mempermainkan “nasib” tokoh-tokoh ciptaannya. Kundera mendapat predikat sebagai novelis Ceko-Perancis yang memperoleh banyak penghargaan semacam Prix Medicis dan Premio Leterario Mondello. Setiap karyanya selalu sarat dengan teka-teki yang entah akan dibawa ke mana. Kenakalan Kundera dalam meramu plot dan penokohan bermuara pada gagasan yang lebih radikal dibandingkan Sartre.
Teka-teki yang dibawa oleh Kundera adalah mengenai diri. Apakah itu diri? Itulah yang menjadi inti dari karya-karya Kundera. Di dalam Art of Novel, dia mengatakan, “Semua novel, di setiap masa, berpusat pada teka-teki diri. Secepat Anda menciptakan sosok imajiner, seorang tokoh, secara otomatis Anda berhadapan dengan pertanyaan: apa itu diri? Bagaimana diri bisa terpahami?” Menurutnya, itulah pertanyaan paling fundamental sekaligus merupakan landasan novel.
Selain itu, akidah yang dimiliki Kundera pun sangatlah cocok dengan kondisi zaman ini. Spirit novel bagi Kundera adalah spirit yang kompleks. Setiap novel mengatakan kepada pembaca: ”Makhluk itu tidak sesederhana yang engkau pikirkan.” Menurut Kundera itulah kebenaran abadi novel. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit untuk didengar di tengah hiruk-pikuknya kemudahan yang ditawarkan, jawaban yang cepat atau yang datang lebih cepat dari pertanyaan, dan kemudian menutup pertanyaan ihwal diri tersebut.
Dalam berbagai lapis pembaca karya fiksi, terdapat kecenderungan bahwa spirit novel yang diyakini oleh Kundera itu terlampau “berat”. Di tengah gencarnya penerbitan karya-karya fiksi, ada kecenderungan yang selalu mendominasi, yaitu membaca karya fiksi semata untuk mencari kesenangan. Tidak banyak pembaca yang mau bersusah-payah membaca karya fiksi untuk kemudian dibuat susah tidur karena diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan sekitar diri secara radikal.
Mungkin hanya orang-orang yang sedang tertimpa “musibah”-lah yang biasanya mempertanyakan apa itu diri, mau ke mana dia dalam hidupnya. Seseorang yang tengah mengalami kebuntuan karena ditimpa musibah—seperti kehilangan pekerjaan, tertimpa bencana alam, kehilangan orang-orang terkasih, dan lain sebagainya—yang biasanya akan terjerumus ke dalam berbagai pertanyaan radikal. Bagi Heidegger, fase semacam itu merupakan kesempatan bagi kita untuk bisa melihat kehidupan bukan semata permukaan saja. Banyak hal yang terbuka apabila kita bisa mengalami kecemasan eksistensial dan menggunakan momen tersebut dengan baik.
Paulo Coelho merupakan salah seorang yang mampu menemukan keinginan terdalam di kehidupannya justru ketika dia mengalami fase sulit di dalam hidupnya, yaitu ketika dia dipecat sebagai pejabat di sebuah perusahaan multinasional. Setelah merenungkan mengenai dirinya, Coelho kemudian menyadari bahwa menjadi penulis adalah cita-citanya yang tak pernah padam, tetapi sulit untuk direalisasikan. Maka Coelho pun menjadi penulis yang karyanya banyak dipuji. Mungkin tidak semua orang yang merenungkan dirinya akan menuai sukses seperti Coelho. Tetapi intinya adalah bagaimana kita bisa keluar sejenak dari rutinitas keseharian yang membuat berbagai pertanyaan radikal mengenai diri sendiri akan terlewatkan.
Tidak semua orang pernah tertimpa musibah yang bisa menggoncangkan dirinya, lalu mendamparkan dirinya pada pertanyaan radikal. Dalam hal ini, salah satu fungsi dari karya sastra adalah sebagai media untuk membangun kesadaran akan hidup yang lebih dalam. Karya-karya Kundera adalah salah satu contohnya. Karya yang bisa dijadikan bahan perenungan akan diri tidak melulu harus berupa kisah yang berisi petatah-petitih atau pola-pola teladan seperti mitologi atau cerita para nabi. Cerita yang diciptakan oleh Milan Kundera bisa menjadi salah satu pilihan.
Salah satu karya Kundera yang mampu mengguncang dan mengganggu pembacanya adalah The Unbearable Lightness of Being. Keganjilan setiap tokohnya hanya bisa dipahami dengan meneropong sejarah kehidupan masing-masing tokoh. Adalah Tereza yang secara mengherankan mampu menikah dengan seorang lelaki bernama Tomas yang sangat mudah melakukan proyek percintaan. Tereza adalah tipikal perempuan konservatif yang memiliki ingatan mengakar ihwal ibunya yang senang bertelanjang bulat dan berkeliling dalam rumah. Ingatan itu akhirnya malah membuat Tereza menjadi perempuan pemalu. Sementara Tomas adalah lelaki yang sangat ekstrem, berbeda dengan Tereza.
Tomas begitu mudah menempeli kepalanya dengan aroma kemaluan perempuan. Secara mengherankan dia bisa hidup bersama Tereza, yang bahkan selalu bisa mengetahui bahwa Tomas selalu berselingkuh. Hubungan antara Tereza dengan Tomas adalah hubungan antara yang kuat dan yang lemah. Dalam satu sudut cerita, ketika Tereza tak mendapat izin dari Tomas untuk bertemu sang ibu, “Tereza mematuhi Tomas dan membatalkan niatnya untuk mengunjungi ibunya. Beberapa jam setelah keputusan itu, ia terjatuh di jalan dan lututnya cedera. Ia mulai jalan tertatih-tatih dan jatuh hampir setiap hari, menubruk benda-benda atau yang terakhir menjatuhkan barang-barang. Ia berada dalam cengkeraman keinginan sangat kuat untuk jatuh. Ia hidup dalam rasa pusing yang konstan. ‘Tolong angkat saya,’ itulah pesan dari seorang yang terus menerus jatuh. Dengan sabar Tomas terus mengangkatnya kembali.” Tetapi posisi yang kuat dan yang lemah ini tidak terbatas pada salah satu di antara mereka.
Keduanya secara bergantian menjadi pihak yang lemah dan yang kuat. The Unbearable Lightness of Being pun berpusat pada percintaan antara Tomas, dan Sabina (kekasih lamanya). Percintaan yang kemudian melebar bukan hanya cinta segitiga, tapi segiempat, yaitu ketika Tomas terus menerus berganti-ganti teman tidur. Kemudahan Tomas dalam melakukan hubungan intim dengan perempuan yang dia temui pada akhirnya menerbitkan kejenuhan pada pembaca. Kejenuhan yang diakibatkan oleh perilaku seenaknya yang terus-menerus diulang, sehingga mencuatkan pertanyaan pada pembaca: “Orang ini parah sekali, apa ada orang semacam itu?”
Dalam karyanya yang lain, Identity, Kundera lebih eksplisit lagi mengungkapkan pertanyaan apa itu diri sebenarnya. Identity adalah cerita mengenai kegagalan sepasang kekasih dalam memahami masing-masing di antara mereka. Adalah Jean-Marc yang jelas-jelas tak mampu untuk mendefinisikan siapa sebenarnya kekasihnya, Chantal. Apalagi terdapat insiden ketika Chantal yang begitu dipujanya menyatakan bahwa “tak ada lagi lelaki yang mau menolehnya.” Upaya Jean-Marc untuk membuat kekasihnya itu bahagia berujung dengan kegamangan.
Pengkhianatan Jean-Marc terhadap kepercayaan Chantal, yang tertipu karena Jean-Marc menulis surat gelap untuk dirinya, mengantarkannya pada kehilangan identitas yang semula memang hanya berbentuk simulakrum, yaitu hanya citraan-citraan yang menempel di dirinya. Chantal terjebak ke dalam kegamangan dan kecemasan pesta Orgi yang sebelumnya selalu ada dalam mimpi-mimpinya. Pesta Orgi adalah pembalasan atas pengkhianatan yang dilakukan Jean-Marc sekaligus sebagai jalan keluar dari kebimbangan akan identitas. Tetapi, sebelum menutup novel itu, dengan nakalnya Kundera berkata, “Saya bertanya-tanya sendiri: siapa yang bermimpi? Siapa yang memimpikan kisah ini? Siapa yang mengangankannya? Chantal? Jean-Marc? Keduanya?” Kundera adalah salah satu pengarang yang mampu mengajak kita untuk berefleksi “siapa diri kita?”
Kundera secara filosofis bisa dikategorikan sebagai seorang Heideggerian. Dalam fenomenologi yang menjadi inti pemikirannya adalah intensionalitas, yaitu memberi tanda kurung atau menunda penyimpulan realitas dan terutama diri. Apabila Sartre langsung menyimpulkan bahwa manusia itu tanpa esensi, maka Heidegger mengemukakan konsep tentang faktisitas, yaitu kondisi bagaimana manusia tidak tahu dari mana dia berasal dan hendak ke mana. Ini sama dengan Kundera yang mengajak pembacanya untuk mencoba mengamati dulu realitas dan diri terlebih dahulu tanpa menempelinya dengan berbagai atribut definitif, untuk kemudian melontarkan pertanyaan siapakah diri itu.
Sekilas karya fiksi Sartre dan Kundera tampak mirip karena sama-sama mengusung absurditas. Namun, perbedaannya terletak pada filosofi masing-masing dalam memandang diri. Jadi, Anda memilih yang mana? Absurd sejak awal dengan memandang manusia tanpa esensi atau melihat dulu siapa diri Anda dan kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial? Silakan memilih.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H