Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Komedi Hitam tentang Diri ala Sartre

21 Februari 2017   13:20 Diperbarui: 21 Februari 2017   14:51 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Mungkin hanya orang-orang yang sedang tertimpa “musibah”-lah yang biasanya mempertanyakan apa itu diri, mau ke mana dia dalam hidupnya. Seseorang yang tengah mengalami kebuntuan karena ditimpa musibah—seperti kehilangan pekerjaan, tertimpa bencana alam, kehilangan orang-orang terkasih, dan lain sebagainya—yang biasanya akan terjerumus ke dalam berbagai pertanyaan radikal. Bagi Heidegger, fase semacam itu merupakan kesempatan bagi kita untuk bisa melihat kehidupan bukan semata permukaan saja. Banyak hal yang terbuka apabila kita bisa mengalami kecemasan eksistensial dan menggunakan momen tersebut dengan baik.

Paulo Coelho merupakan salah seorang yang mampu menemukan keinginan terdalam di kehidupannya justru ketika dia mengalami fase sulit di dalam hidupnya, yaitu ketika dia dipecat sebagai pejabat di sebuah perusahaan multinasional. Setelah merenungkan mengenai dirinya, Coelho kemudian menyadari bahwa menjadi penulis adalah cita-citanya yang tak pernah padam, tetapi sulit untuk direalisasikan. Maka Coelho pun menjadi penulis yang karyanya banyak dipuji. Mungkin tidak semua orang yang merenungkan dirinya akan menuai sukses seperti Coelho. Tetapi intinya adalah bagaimana kita bisa keluar sejenak dari rutinitas keseharian yang membuat berbagai pertanyaan radikal mengenai diri sendiri akan terlewatkan.

Tidak semua orang pernah tertimpa musibah yang bisa menggoncangkan dirinya, lalu mendamparkan dirinya pada pertanyaan radikal. Dalam hal ini, salah satu fungsi dari karya sastra adalah sebagai media untuk membangun kesadaran akan hidup yang lebih dalam. Karya-karya Kundera adalah salah satu contohnya. Karya yang bisa dijadikan bahan perenungan akan diri tidak melulu harus berupa kisah yang berisi petatah-petitih atau pola-pola teladan seperti mitologi atau cerita para nabi. Cerita yang diciptakan oleh Milan Kundera bisa menjadi salah satu pilihan.

Salah satu karya Kundera yang mampu mengguncang dan mengganggu pembacanya adalah The Unbearable Lightness of Being. Keganjilan setiap tokohnya hanya bisa dipahami dengan meneropong sejarah kehidupan masing-masing tokoh. Adalah Tereza yang secara mengherankan mampu menikah dengan seorang lelaki bernama Tomas yang sangat mudah melakukan proyek percintaan. Tereza adalah tipikal perempuan konservatif yang memiliki ingatan mengakar ihwal ibunya yang senang bertelanjang bulat dan berkeliling dalam rumah. Ingatan itu akhirnya malah membuat Tereza menjadi perempuan pemalu. Sementara Tomas adalah lelaki yang sangat ekstrem, berbeda dengan Tereza. 

Tomas begitu mudah menempeli kepalanya dengan aroma kemaluan perempuan. Secara mengherankan dia bisa hidup bersama Tereza, yang bahkan selalu bisa mengetahui bahwa Tomas selalu berselingkuh. Hubungan antara Tereza dengan Tomas adalah hubungan antara yang kuat dan yang lemah. Dalam satu sudut cerita, ketika Tereza tak mendapat izin dari Tomas untuk bertemu sang ibu, “Tereza mematuhi Tomas dan membatalkan niatnya untuk mengunjungi ibunya. Beberapa jam setelah keputusan itu, ia terjatuh di jalan dan lututnya cedera. Ia mulai jalan tertatih-tatih dan jatuh hampir setiap hari, menubruk benda-benda atau yang terakhir menjatuhkan barang-barang. Ia berada dalam cengkeraman keinginan sangat kuat untuk jatuh. Ia hidup dalam rasa pusing yang konstan. ‘Tolong angkat saya,’ itulah pesan dari seorang yang terus menerus jatuh. Dengan sabar Tomas terus mengangkatnya kembali.” Tetapi posisi yang kuat dan yang lemah ini tidak terbatas pada salah satu di antara mereka. 

Keduanya secara bergantian menjadi pihak yang lemah dan yang kuat. The Unbearable Lightness of Being pun berpusat pada percintaan antara Tomas, dan Sabina (kekasih lamanya). Percintaan yang kemudian melebar bukan hanya cinta segitiga, tapi segiempat, yaitu ketika Tomas terus menerus berganti-ganti teman tidur. Kemudahan Tomas dalam melakukan hubungan intim dengan perempuan yang dia temui pada akhirnya menerbitkan kejenuhan pada pembaca. Kejenuhan yang diakibatkan oleh perilaku seenaknya yang terus-menerus diulang, sehingga mencuatkan pertanyaan pada pembaca: “Orang ini parah sekali, apa ada orang semacam itu?”

Dalam karyanya yang lain, Identity, Kundera lebih eksplisit lagi mengungkapkan pertanyaan apa itu diri sebenarnya. Identity adalah cerita mengenai kegagalan sepasang kekasih dalam memahami masing-masing di antara mereka. Adalah Jean-Marc yang jelas-jelas tak mampu untuk mendefinisikan siapa sebenarnya kekasihnya, Chantal. Apalagi terdapat insiden ketika Chantal yang begitu dipujanya menyatakan bahwa “tak ada lagi lelaki yang mau menolehnya.” Upaya Jean-Marc untuk membuat kekasihnya itu bahagia berujung dengan kegamangan. 

Pengkhianatan Jean-Marc terhadap kepercayaan Chantal, yang tertipu karena Jean-Marc menulis surat gelap untuk dirinya, mengantarkannya pada kehilangan identitas yang semula memang hanya berbentuk simulakrum, yaitu hanya citraan-citraan yang menempel di dirinya. Chantal terjebak ke dalam kegamangan dan kecemasan pesta Orgi yang sebelumnya selalu ada dalam mimpi-mimpinya. Pesta Orgi adalah pembalasan atas pengkhianatan yang dilakukan Jean-Marc sekaligus sebagai jalan keluar dari kebimbangan akan identitas. Tetapi, sebelum menutup novel itu, dengan nakalnya Kundera berkata, “Saya bertanya-tanya sendiri: siapa yang bermimpi? Siapa yang memimpikan kisah ini? Siapa yang mengangankannya? Chantal? Jean-Marc? Keduanya?” Kundera adalah salah satu pengarang yang mampu mengajak kita untuk berefleksi “siapa diri kita?”

Kundera secara filosofis bisa dikategorikan sebagai seorang Heideggerian. Dalam fenomenologi yang menjadi inti pemikirannya adalah intensionalitas, yaitu memberi tanda kurung atau menunda penyimpulan realitas dan terutama diri. Apabila Sartre langsung menyimpulkan bahwa manusia itu tanpa esensi, maka Heidegger mengemukakan konsep tentang faktisitas, yaitu kondisi bagaimana manusia tidak tahu dari mana dia berasal dan hendak ke mana. Ini sama dengan Kundera yang mengajak pembacanya untuk mencoba mengamati dulu realitas dan diri terlebih dahulu tanpa menempelinya dengan berbagai atribut definitif, untuk kemudian melontarkan pertanyaan siapakah diri itu.

Sekilas karya fiksi Sartre dan Kundera tampak mirip karena sama-sama mengusung absurditas. Namun, perbedaannya terletak pada filosofi masing-masing dalam memandang diri. Jadi, Anda memilih yang mana? Absurd sejak awal dengan memandang manusia tanpa esensi atau melihat dulu siapa diri Anda dan kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial? Silakan memilih.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun