Mohon tunggu...
Rina Arista Putri
Rina Arista Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Discussing hot issues in society, telling stories of imagination and the reality of life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Keluar

3 Desember 2022   11:11 Diperbarui: 5 Desember 2022   15:29 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kutipan buku yang menyentil hati kecilku. Sedikit membenarkan apa yang dikatakan, tapi terkadang menolak kebenaran itu. Sikap jiwa seperti apa yang berani menghakimi? Aku menghela nafas dalam, memejamkan kedua mataku kemudian melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 8.45. Waktunya kembali untuk menemui dunia, beraktivitas layaknya manusia normal pada umumnya. Aku segera mengambil tas ransel di bahu kursi, menyumpal kedua telinga dengan earphone dan siap bertemu dengan dunia.

Banyak orang berkata, jika kita bisa memahami orang yang berada di sekitar kita maka hidup kita akan mudah dan aman. Aku sangat tidak setuju dengan pemikiran seperti itu, bukankah kita hanya akan menyiksa diri sendiri dan hanya fokus pada orang lain? Bayangkan saja, kita harus bersosialisasi di bumi dengan 6 miliyar kepala dan kita harus memahami mereka agar hidup aman? Tentu bukan hal yang bisa di terima nalar.

Aku kembali fokus dengan nada yang mengalun di kedua telingaku, mendengarkan lantunan biola ditemani dengan novel "Through The Looing Glass" di saat seperti ini bukanlah hal yang buruk. Bus dengan tujuanku tiba, aku segera menaikinya yang akan membawaku menuju tempat yang mereka sebut dengan "kampus". Tempat dimana orang-orang memahami ilmu teori, duniawi, dan bersosialisasi. Potongan hidup yang membosankan dan sedikit merepotkan, namun tetap kulakukan.

"Tara!"

Aku tersentak. Tentu saja itu Rahma, siapa lagi yang akan berteriak ke arahku di kampus yang luas ini kalau bukan dia. Aku berputar sejauh 90 derajat untuk memastikan itu benar-benar Rahma, dan ya, memang dia. Rahma, gadis tengil yang memiliki label 'teman' di hidupku. Dia satu-satunya teman dekat yang kumiliki di dunia perkuliahan ini, tapi itu tidak membosankan menurutku. Aku tidak membutuhkan banyak teman untuk mendapat perhatian, lagi pula seperti yang kukatakan, memahami semua orang yang berada di sekitar kita hanya akan menyiksa diri sendiri.

"Sendiri aja nih," ujarnya sambil mensejajarkan langkah kakiku. Sedikit melirik ke arahnya dan hanya bergumam adalah respon utama yang kulakukan setiap hari. Sementara jawaban Rahma juga akan terus berulang, ia memutar bola matanya dan akan berkata "Ya ampun, Tara! Merdu sekali suaramu," begitulah hari-hari yang kulewati selama lima semester di sini. Rahma juga terus menyemangatiku untuk tidak terpaku pada buku-buku yang selalu kubawa. Ia hanya ingin aku keluar dari zona ku yang sekarang. Ingin aku melihat dunia lebih luas, katanya.

"Dunia ini terlalu indah untuk dinikmati sendiri, Tara," lanjutnya.

"Ya, dunia indah, tapi terlalu berisik,"

"Hahahaha, ayolah kau tidak akan terus hidup bersamaku kan? Berinteraksi tidak semenyeramkan itu,"

"Tidak, siapa yang bilang itu menyeramkan, memang kita sedang melakukan apa?" jawabku mulai kesal. Berdebat dengan Rahma adalah hal yang paling melelahkan yang pernah kulakukan. Lagipula, berinteraksi dengan orang baru adalah hal yang merepotkan bagiku, terlebih kita harus memahami lawan bicara.
Rahma belum membalas ucapan terakhirku, dia hanya menggelengkan kepalanya, heran sekaligus khawatir dengan keadaanku yang menyedihkan. Baginya, aku adalah manusia paling indivualis yang pernah ia kenal. Aku mengakuinya, entah mengapa aku lebih tenang jika sendiri, menjauh dari kerumunan, dan membatasi lingkungan pertemanan. Tentu saja ada keinginan bersenang-senang dengan banyak orang tetapi aku memilih untuk diam dan menjadi diriku yang sekarang.

"Kau pernah dengar tidak, kalau selalu ada jarak antara niat dan tindakan. Nah, jarak antara niat dan tindakanmu terlalu panjang, dari Sabang hingga Merauke," ucap Rahma meregangkan kedua tangannya di depanku. Tidak salah apa yang dikatakannya. Aku mengamati kedua tangannya yang terbentang jauh, sejauh itu kah jarak antara niat dan tindakanku selama ini? Tidak, tidak, itu hanya perumpamaan yang dibuat-buat oleh Rahma.

Tetapi aku juga tidak menyalahkan perkataan Rahma. Aku sellau memiliki niat namun minim akan tindakan yang kulakukan. Terkadang melihat orang-orang pergi bersama temannya yang jumlahnya lebih banyak dari sepuluh jari tangan, menggelitiku untuk turut andil dalam pertemanannya. Terbit rasa ingin, namun aku tetap enggan melakukannya. Memang manusia selalu memiliki sifat labil, yang kumiliki sudah akut.

Melihat tidak ada respon dariku, Rahma melanjutkan ocehannya.

"Gini Ra, aku kasih tahu. Tidak selamanya dalam suatu interaksi kita harus selalu memahami lawan bicara kita. Terkadang manusia hanya perlu didengarkan, itu saja," Rahma mencoba mengusir pemikiranku yang terpaku pada hal itu. "dan juga, jika kau terus memaksakan diri untuk memahami lawan bicaramu, kau yang akan tersiksa nantinya." ia masih tetap dengan omelan tak hentinya. Sudah sering Rahma mengingatkanku untuk membuka diri pada orang banyak.

"Hmm, maka dari itu aku lelah untuk berinteraksi dengan orang banyak," sambungku.

"Huft, ada yang salah denganmu, pasti. Itu bukan berarti kau membatasi diri dengan orang lain, Ra. Tidak ada salahnya kok, jika kau membutuhkan waktu untuk diri sendiri, tapi hal yang harus kau ingat adalah dari berinteraksi kita bisa mendapatkan pengalaman dari obrolan yang kita anggap tidak penting, terkadang bisa membuahkan suatu pembelajaran yang mungkin belum pernah terjadi pada kita. Dari suatu interaksi juga bisa membuat kita melihat cara menyelesaikan masalah dari pandangan yang berbeda, dan juga mendengar pengalaman orang lain bisa membuat kita lebih bersyukur," kali ini aku tidak memotong perkataannya. Rahma benar, aku tidak bisa mengandalkan diriku sendiri untuk melakukan semuanya. Aku juga takut untuk memulai hal baru jika tidak sesuai ekspektasiku dan kritik sosial tentangku.

"Jangan takut untuk memulai, Ra. Apalagi diselimuti ketakutanmu yang belum tentu terjadi. Tara, inget kau bisa mati jika hidup bergantung dengan ekspektasimu sendiri," Rahma memgang kedua bahuku, meyakinkanku bahwa aku bisa melewatinya.

Kami tiba di depan ruang kelas, Rahma tersenyum penuh arti padaku yang masih termenung dan mencerna perkataannya sepanjang jalan tadi. Ocehan yang diucapkan Rahma hari ini dan hari-hari sebelumnya menari-nari di kepalaku. Membujuk untuk terus keluar dari zona nyamank yang tidak tahu batas akhirnya.
Seperti seorang hamba yang mendapatkan hidayah, aku tersadar. Benar apa yang dikatakan Rahma selama ini. Aku terlalu termakan ekspektasi dan ketakutanku. Ekspektasi terhadap orang-orang yang seolah menuntutku untuk dipahami, ekspektasi yang hampir membunuh sifat sosial yang manusia miliki.
Aku tersenyum tipis. Sepertinya sudah saatnya untuk mempermpendek  jarak antara niat dan tindakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun