Tetapi aku juga tidak menyalahkan perkataan Rahma. Aku sellau memiliki niat namun minim akan tindakan yang kulakukan. Terkadang melihat orang-orang pergi bersama temannya yang jumlahnya lebih banyak dari sepuluh jari tangan, menggelitiku untuk turut andil dalam pertemanannya. Terbit rasa ingin, namun aku tetap enggan melakukannya. Memang manusia selalu memiliki sifat labil, yang kumiliki sudah akut.
Melihat tidak ada respon dariku, Rahma melanjutkan ocehannya.
"Gini Ra, aku kasih tahu. Tidak selamanya dalam suatu interaksi kita harus selalu memahami lawan bicara kita. Terkadang manusia hanya perlu didengarkan, itu saja," Rahma mencoba mengusir pemikiranku yang terpaku pada hal itu. "dan juga, jika kau terus memaksakan diri untuk memahami lawan bicaramu, kau yang akan tersiksa nantinya." ia masih tetap dengan omelan tak hentinya. Sudah sering Rahma mengingatkanku untuk membuka diri pada orang banyak.
"Hmm, maka dari itu aku lelah untuk berinteraksi dengan orang banyak," sambungku.
"Huft, ada yang salah denganmu, pasti. Itu bukan berarti kau membatasi diri dengan orang lain, Ra. Tidak ada salahnya kok, jika kau membutuhkan waktu untuk diri sendiri, tapi hal yang harus kau ingat adalah dari berinteraksi kita bisa mendapatkan pengalaman dari obrolan yang kita anggap tidak penting, terkadang bisa membuahkan suatu pembelajaran yang mungkin belum pernah terjadi pada kita. Dari suatu interaksi juga bisa membuat kita melihat cara menyelesaikan masalah dari pandangan yang berbeda, dan juga mendengar pengalaman orang lain bisa membuat kita lebih bersyukur," kali ini aku tidak memotong perkataannya. Rahma benar, aku tidak bisa mengandalkan diriku sendiri untuk melakukan semuanya. Aku juga takut untuk memulai hal baru jika tidak sesuai ekspektasiku dan kritik sosial tentangku.
"Jangan takut untuk memulai, Ra. Apalagi diselimuti ketakutanmu yang belum tentu terjadi. Tara, inget kau bisa mati jika hidup bergantung dengan ekspektasimu sendiri," Rahma memgang kedua bahuku, meyakinkanku bahwa aku bisa melewatinya.
Kami tiba di depan ruang kelas, Rahma tersenyum penuh arti padaku yang masih termenung dan mencerna perkataannya sepanjang jalan tadi. Ocehan yang diucapkan Rahma hari ini dan hari-hari sebelumnya menari-nari di kepalaku. Membujuk untuk terus keluar dari zona nyamank yang tidak tahu batas akhirnya.
Seperti seorang hamba yang mendapatkan hidayah, aku tersadar. Benar apa yang dikatakan Rahma selama ini. Aku terlalu termakan ekspektasi dan ketakutanku. Ekspektasi terhadap orang-orang yang seolah menuntutku untuk dipahami, ekspektasi yang hampir membunuh sifat sosial yang manusia miliki.
Aku tersenyum tipis. Sepertinya sudah saatnya untuk mempermpendek  jarak antara niat dan tindakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H