Mohon tunggu...
Rina Anita Indiana
Rina Anita Indiana Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Pajak

Suka membaca, cinta menulis, rindu perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penerapan Pajak Natura di Masa Transisi

12 Juli 2023   17:16 Diperbarui: 16 Juli 2023   14:44 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Janganlah bekerja hanya demi uang. 

Ehm, saya tidak sedang mengutip kata-kata bijak. Hanya ingin mengatakan bahwa selain uang, kita juga bisa bekerja demi mobil kantor, apartemen, membership golf, jalan-jalan ke luar negeri, atau apa pun imbalan yang diberikan perusahaan. Orang menyebut imbalan selain uang sebagai natura. Dan pengaturan baru pajaknya disebut Pajak Natura.

Pekerja mendapat imbalan berupa gaji dari pemberi kerja. Influencer, pemberi jasa mendapat fee dari penerima jasa. Ini bentuknya uang. Imbalan berbentuk cek, saldo tabungan, uang elektronik, saldo dompet digital disamakan sajalah bahwa itu uang. Imbalan ini disebut benefit in cash (BIC).

Selain mendapat BIC, bisa juga pekerja atau pemberi jasa tadi mendapatkan bukan uang. Bentuknya bisa natura atau kenikmatan. Natura adalah imbalan dalam bentuk barang yang diberikan kepada pekerja. Barang endorse yang diberikan kepada influencer, ini juga natura. Sedangkan kenikmatan adalah hak untuk memanfaatkan suatu fasilitas atau layanan. Imbalan natura dan kenikmatan ini disebut fringe benefit atau disebut juga benefit in kind (BIK).

Sekilas antara natura dan kenikmatan ini seolah sama tetapi sejatinya terdapat perbedaan yang cukup jelas. Misalnya terjadi pada empat tahun pertama pekerja diberikan mobil perusahaan untuk bisa dibawa pulang, maka pekerja sedang mendapatkan kenikmatan. Sedangkan bila pada tahun ke lima mobil itu dibaliknamakan kepada pekerja, maka di sini pekerja sedang mendapatkan natura.

Bila natura dan kenikmatan berbeda, kenapa pengaturan pajaknya sama-sama kita sebut pajak natura? Ya, mari kita mengikuti istilah yang viral saja.

Bergeser lebih khusus mengenai perpajakan. Atas semua penghasilan kita dengan nama dan bentuk apa pun, negara mengutip pajak. Mekanismenya bisa dengan kita menyetor sendiri, bisa juga dipotong oleh pemberi kerja. Bila kita mendapat 1721 A1, itulah bukti perusahaan sudah memotong PPh 21 selama setahun.

Dulu perusahaan memotong pajak atas BIC saja. Sedangkan atas BIK tidak. Dari sisi perusahaan, BIK tidak dapat dibiayakan. Untuk pengaturan BIK ini kita menyebutnya non taxable non deductible, tidak dipajaki di karyawan dan juga tidak bisa dibiayakan di perusahaan.

Tarif pajak penghasilan pekerja beraneka antara 5 persen sampai dengan 35 persen. Sedangkan tarif pajak penghasilan perusahaan adalah 22 persen. Perbedaan tarif dengan rentang yang cukup besar ini ternyata memicu sikap oportunistik dari pemberi kerja. Untuk karyawan bergaji rendah maka remunerasi diberikan dalam bentuk BIC. Dengan memotong pajak mungkin 5 persen saja, di perusahaan bisa menghemat pajak 22 persen. 

Sedangkan untuk karyawan yang bergaji tinggi maka remunerasi banyak diberikan dalam bentuk BIK, pajak pribadi yang dihemat bisa sampai 35 persen, perusahaan hanya membayar pajak 22 persen.

Sumber: Shutterstock
Sumber: Shutterstock

Pada RUU HPP, pengaturan tentang natura ini mulai diusulkan. Menurut data DJP, ternyata lebih dari 50 persen yang menikmati BIK ini adalah WP dengan lapisan pajak tertinggi. 

Dalam pembahasannya di Panja DPR, natura ini bahkan langsung lulus tanpa coret. Tidak seperti pengaturan lain seperti kenaikan tarif PPN yang ada revisi atau Alternative Minimum Tax yang tidak jadi muncul di UU.

Maka kemudian sah, di UU HPP sejak 01 Januari 2022 BIK menjadi taxable deductible. Dipajaki di karyawan dan bisa menjadi beban bagi perusahaan.

Dalam pasal pendelegasian wewenang disebutkan bahwa BIK yang bukan obyek pajak dan BIK yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). UU sudah terbit tetapi PP belum rasanya seperti diberikan alamat yang harus dituju tetapi google mapnya belum tersedia. Membingungkan. Baru 355 hari kemudian PP ini terbit. Tanggal 22 Desember 2022 kita ucapkan selamat datang PP 55.

Membaca PP 55 membuat beberapa hal menjadi clear, tetapi ada juga yang tetap terasa abu-abu.

Semua jenis BIK sekarang adalah obyek pajak bagi penerima. Ia taxable. Yang non taxable hanyalah makan bersama untuk semua pegawai di tempat kerja, BIK di remote area, BIK yang disyaratkan lembaga, BIK dari APBN/APBD dan BIK dengan batasan tertentu.

Makan bersama ini bisa juga diberikan dalam bentuk kupon makan, khusus untuk pegawai yang bertugasnya di luar kantor. Bahan makanan dan minuman juga dapat diberikan, tetapi ada pembatasan tertentu. Mungkin misalnya akan ada batasan, bahan makanan minuman ini tidak boleh lebih dari 10 % BIC, atau maksimal 1 juta per bulan.

BIK di remote area ini bisa digunakan untuk karyawan dan keluarga, lengkap untuk tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, peribadatan, pengangkutan, olahraga. Namun, olahraga kelas jet set seperti golf dan pacuan kuda diatur taxable. BIK yang disyaratkan lembaga atau kementerian ini dapat berupa seragam atau APD. Artinya seragam satpam karena diharusnya POLRI maka akan menjadi non taxable deductible. Tetapi seragam teller bank akan menjadi taxable deductible.

Untuk BIK jenis dan batasan tertentu yang menjadi non taxable, nah ini yang masih abu-abu. Apa sih jenis dan batasan tertentu yang non taxable ini?

Menurut Yustinus Prastowo, pajak natura ini bertujuan untuk mengatur lebih baik, dan natura ekskusif yang hanya dinikmati menengah ke atas, itulah yang akan dipajaki. Mari kita pegang clue ini.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menjabarkan konkritnya. Fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan seperti komputer, laptop, handphone, pulsa, bingkisan hari raya sampai jumlah tertentu, ini non taxable. Termasuk juga fasilitas mobil untuk yang dibawah level manager, mess dan asrama, ini juga non taxable.

Menurut SP 2 2023, rencana natura/kenikmatan yang akan dikecualikan antara lain, bingkisan dengan batasan tertentu, peralatan dan fasilitas kerja seperti laptop dan ponsel, fasilitas kendaraan yang diterima oleh selain pegawai jabatan manajerial, dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Kita mungkin bisa membayangkan betapa sulitnya merumuskan BIK non taxable ini. Harus di rentang berapa? Bagaimana agar tetap adil? The devil is in detail. Hantunya ada di detil. Dan detil paling hantu adalah yang melenceng dari tujuan semula. Pasti itu yang sedang dijaga DJP, sehingga harus sangat hati-hati merumuskan negative list jenis dan batasan tertentu BIK non taxable. Bahkan Dirjen memberi bocoran, kira-kira bulan Maret 2023 baru terbit PMK, lalu sosialisasi tiga bulan, dan lalu go life pemotongan di Juli 2023.

Selanjutnya kita membahas mengenai biaya atas natura. Bagi pemberi kerja atau penghasilan, BIK ini bisa dijadikan biaya, kalau digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M). Di sini bisa saja letak titik krusialnya: apa contoh BIK yang bukan 3M?

Saya kutip dari naskah akademik, "Imbalan yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, perlu diperlakukan sama dengan imbalan yang diterima dalam bentuk uang, dalam jumlah yang sama."

Saya menangkapnya, bila pekerja mendapatkan gaji, lalu digunakan untuk menyewa rumah, uang sekolah anak, healing ke luar negeri, maka gaji ini taxable deductible. Maka bila perusahaan menyewakan rumah, membayarkan uang sekolah anak dan membelikan paket liburan ke luar negeri untuk pekerja, ini seharusnya bisa dibiayakan di perusahaan. Apalagi bila dikuatkan dengan surat kontrak yang di dalamnya mengatur BIK. Harus simetris, dong.

PMK mungkin akan menjawab. Tetapi bila memang sampai di PMK pun tetap menjadi abu-abu, ada baiknya semua BIK diubah saja menjadi BIC. Fix, no debat. Pasti taxable deductible.

Bagaimana BIK dinilai? Natura menggunakan harga pasar. Sedangkan kenikmatan menggunakan biaya yang seharusnya dikeluarkan. Dalam case contoh fasilitas mobil di atas, BIK nya sebesar beban penyusutan fiskal atas mobil itu. Dan bila sudah menjadi BIK natura maka dipakai harga pasar mobil bekasnya.

Mungkin kita ingin tahu, sebenarnya apa yang ingin dicapai DJP atas semua keributan (baca : dinamika) pajak natura ini. Yang pasti adalah keadilan. Keberpihakan dengan masyarakat berpenghasilan menegah ke bawah. Agar point ini tidak dijadikan tax planning atau penghindaran pajak. 

Lalu DJP rasanya ingin switching pajak badan ke pribadi. Mungkin juga untuk merawat penerimaan pajak karena PPh 21 dibayar bulanan. Atau juga memberikan redistribusi ke KPP masing-masing cabang perusahaan.

Pengaturan pajak natura ini berpotensi akan menambah biaya di perusahaan, lalu mengurangi pembayaran pajaknya. Sedangkan di sisi karyawan, bila PPh 21 karyawan tidak ditunjang maka pemotongan pajak akan naik signifikan. Ada baiknya diadakan renegoisasi gaji antara perusahaan dengan karyawan. Karena bila tidak, maka penghasilan karyawan akan tergerus untuk pembayaran pajak.

Pengaturan pajak natura ini sudah berlaku sejak 01 Januari 2022. Aturan turunan termasuk PP 55 tidak mungkin mengabaikan ini. Dan karena PP 55 baru terbit di penghujung tahun, maka sepanjang tahun 2022 belum dilakukan pemotongan oleh perusahaan.

Akhirnya terdapat pengaturan yang cukup wow. Di tahun 2022 pemberi kerja tidak wajib melakukan pemotongan. Dan bila memang belum dipotong maka karyawan yang harus membayar sendiri ke negara.

Pengaturan itu pasti sangat merepotkan bagi karyawan. Tetapi mungkin dapat disiasati dengan perusahaan melakukan pembetulan masa Desember 2022 dan melaporkan tambahan BIK penghasilan karyawan. Atau bisa juga karyawan mendapatkan list daftar BIK yang diberikan perusahaan sepanjang tahun 2022. Yang list ini sudah match dengan deductible perusahaan. Kelemahan dari metode karyawan setor sendiri ini adalah bagaimana perusahaan memastikan bahwa pegawai sudah membayarkan pajaknya? Dan apakah bisa cukup yakin perusahaan dalam membiayakannya.

Khusus untuk pajak natura di tahun 2023, mungkin kita akan terbelah. Masuk aliran melaksanakan seadanya PP, artinya sudah memotong pajak natura. Atau aliran menunggu PMK. Yang aliran melaksanakan seadanya PP harus memiliki ilmu terawangan yang cukup tinggi untuk menduga ke mana arah PMK.

Bagaimanapun, kesempurnaan mungkin memang miliknya PMK.

Artikel ini telah tayang di Kumparan pada tanggal 07 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun