Mohon tunggu...
Rina Anita Indiana
Rina Anita Indiana Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Pajak

Suka membaca, cinta menulis, rindu perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penerapan Pajak Natura di Masa Transisi

12 Juli 2023   17:16 Diperbarui: 16 Juli 2023   14:44 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Yustinus Prastowo, pajak natura ini bertujuan untuk mengatur lebih baik, dan natura ekskusif yang hanya dinikmati menengah ke atas, itulah yang akan dipajaki. Mari kita pegang clue ini.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menjabarkan konkritnya. Fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan seperti komputer, laptop, handphone, pulsa, bingkisan hari raya sampai jumlah tertentu, ini non taxable. Termasuk juga fasilitas mobil untuk yang dibawah level manager, mess dan asrama, ini juga non taxable.

Menurut SP 2 2023, rencana natura/kenikmatan yang akan dikecualikan antara lain, bingkisan dengan batasan tertentu, peralatan dan fasilitas kerja seperti laptop dan ponsel, fasilitas kendaraan yang diterima oleh selain pegawai jabatan manajerial, dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Kita mungkin bisa membayangkan betapa sulitnya merumuskan BIK non taxable ini. Harus di rentang berapa? Bagaimana agar tetap adil? The devil is in detail. Hantunya ada di detil. Dan detil paling hantu adalah yang melenceng dari tujuan semula. Pasti itu yang sedang dijaga DJP, sehingga harus sangat hati-hati merumuskan negative list jenis dan batasan tertentu BIK non taxable. Bahkan Dirjen memberi bocoran, kira-kira bulan Maret 2023 baru terbit PMK, lalu sosialisasi tiga bulan, dan lalu go life pemotongan di Juli 2023.

Selanjutnya kita membahas mengenai biaya atas natura. Bagi pemberi kerja atau penghasilan, BIK ini bisa dijadikan biaya, kalau digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M). Di sini bisa saja letak titik krusialnya: apa contoh BIK yang bukan 3M?

Saya kutip dari naskah akademik, "Imbalan yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, perlu diperlakukan sama dengan imbalan yang diterima dalam bentuk uang, dalam jumlah yang sama."

Saya menangkapnya, bila pekerja mendapatkan gaji, lalu digunakan untuk menyewa rumah, uang sekolah anak, healing ke luar negeri, maka gaji ini taxable deductible. Maka bila perusahaan menyewakan rumah, membayarkan uang sekolah anak dan membelikan paket liburan ke luar negeri untuk pekerja, ini seharusnya bisa dibiayakan di perusahaan. Apalagi bila dikuatkan dengan surat kontrak yang di dalamnya mengatur BIK. Harus simetris, dong.

PMK mungkin akan menjawab. Tetapi bila memang sampai di PMK pun tetap menjadi abu-abu, ada baiknya semua BIK diubah saja menjadi BIC. Fix, no debat. Pasti taxable deductible.

Bagaimana BIK dinilai? Natura menggunakan harga pasar. Sedangkan kenikmatan menggunakan biaya yang seharusnya dikeluarkan. Dalam case contoh fasilitas mobil di atas, BIK nya sebesar beban penyusutan fiskal atas mobil itu. Dan bila sudah menjadi BIK natura maka dipakai harga pasar mobil bekasnya.

Mungkin kita ingin tahu, sebenarnya apa yang ingin dicapai DJP atas semua keributan (baca : dinamika) pajak natura ini. Yang pasti adalah keadilan. Keberpihakan dengan masyarakat berpenghasilan menegah ke bawah. Agar point ini tidak dijadikan tax planning atau penghindaran pajak. 

Lalu DJP rasanya ingin switching pajak badan ke pribadi. Mungkin juga untuk merawat penerimaan pajak karena PPh 21 dibayar bulanan. Atau juga memberikan redistribusi ke KPP masing-masing cabang perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun