“Siapa sih, ma? Veren lagi sibuk nih.”
“Ada Fandy, kamu temui sana, gih.” Aku langsung bad mood mendengarnya. Ngapain sih, udah tahu juga ini lagi jam kerja.
“Mama aja deh, bilang Veren lagi kemana gitu,” kataku lagi.
“Kok mama? Lha wong dia pengen ketemu kamu kok. Ver, kalian kan udah sama-sama dewasa, masalah seperti itu jangan dibiarkan berlarut-larut dong. Lagian mau sampe kapan kamu menghindari dia terus?’
“Ver, masalah bukan untuk dihindari tapi harus dihadapi. Selama ini kamu kan dengernya dari Reno. Dari Fandy, kamu malah belum tahu. Gimana sih, kamu?” kata mama lagi. Aku terdiam mendengar kata-katanya. Mungkin mama benar juga ya, tapi aku masih belum mau beranjak dari tempat dudukku.
“Ver, kalian tuh sama-sama sibuk. Mama pikir kalo nggak sekarang kapan lagi kalian mau membahasnya? Ayo sana, kasihan lho Fandy nunggu lama,” kata mama seraya memaksaku. Mau nggak mau aku berdiri, menuruti mama.
Suasana di depan tidak terlalu ramai. Aku melihat Fandy duduk sendiri di salah satu bangku sambil sesekali meneguk orange juicenya.
“Hai, kok lama banget, aku sampe jamuran nunggu kamu,” sapanya begitu aku sampai di depannya.
“ Ya, sorry Fan, ada kerjaan. Kamu lagi nggak ada proyek nih?”
“Ada dong, masih yang itu-itu juga, kan pengerjaannya lama. Ini juga aku baru dari kantor, terus lewat sini ya mampir deh.” Aku hanya ber-ooh saja mendengar kata-kata Fandy.
”Lama juga ya, kita nggak ketemu. Kamu sibuk ya? Nggak bisa nemeni aku jalan dong?”