Tentu saja tidak. Hal ini dikarenakan nitrogen hanya “lewat” dan tidak ikut dikonsumsi bersama produk, sama seperti yang telah dijelaskan di atas.
Bahan perantara atau bahan yang hanya “lewat” hanya diketahui oleh produsen dan badan yang mengaudit atau mengijinkan makanan tersebut beredar dan layak dikonsumsi, misalnya saja BPOM.
Layakkah Penggunaan Etilen Oksida pada Makanan?
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (U.S. EPA) mengklasifikasikan etilen oksida dalam grup B1 (senyawa bersifat karsinogenik) karena ditemukannya efek samping dari paparan EtO pada manusia, berupa efek otot lemas, mual, muntah, diare, sesak napas, sakit kepala, dan disfungsi neurologis.
Efek beratnya dapat menyebabkan leukimia, aborsi spontan, keracunan pada sistem saraf, serta sindrom saluran napas akut.
Di Indonesia, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklasifikasikan etilen oksida sebagai salah satu bahan karsinogen yang pengunaannya dibatasi. Zat karsinogen yang terakumulasi dalam tubuh sangat berbahaya karena menyebabkan timbulnya berbagai penyakit.
BPOM sendiri juga mengklasifikasikan etilen oksida dengan rincian yang sama. Dengan demikian, penggunaan etilen oksida pada makanan di Indonesia masih diijinkan dalam konsentrasi rendah.
Layak tidaknya penggunaan etilen oksida untuk bahan pangan tergantung kebijakan masing-masing negara dan preferensi pribadi. Jika di negara kita penggunaan etilen oksida dianggap layak dalam kadar terbatas, maka selanjutnya tergantung preferensi masing-masing individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H