Mohon tunggu...
Rina Darma
Rina Darma Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Childfree Bukan Pilihan(ku)

9 Februari 2023   23:00 Diperbarui: 11 Februari 2023   07:45 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Twitter @dammad_gee

Aku mempunyai tiga anak, berarti aku (wajahku) bakalan cepat tua alias penuaan dini donk. Timpalku terhadap komentar yang tengah viral belakangan ini sembari ketawa. Karena aku sendiri merasa masih muda hehe...

Kalau menurut aku sih, natural anti-aging adalah hidup selaknya anak-anak yang bukan berarti kekanak-kanakan. Namun, hidup tanpa beban dan penuh warna.

Bagi yang belum tahu komentar viralnya, seperti ini:

Sumber gambar: Twitter @dammad_gee
Sumber gambar: Twitter @dammad_gee

Aku sudah mencoba ke akun Instagram Kakak yang bersangkutan tapi belum menemukannya secara langsung. Karena scroll-nya terlalu banyak dan lama, aku takut malah gagal fokus dan ga jadi merampungkan tulisan ini. 

Awalnya, aku biasa aja sih sama topik ini, ya tanggapanku sebatas candaan seperti di atas. 

Tapiii..., waktu, aku lihat Instagram teman, dia sampai bikin story yang menyebutkan bahwa si kakak selebgram ini bukan childfree tapi childphobia. Padahal dia cowok, lhooo... sampai buka suara. Akhirnya di situ aku mulai menyampaikan opini aku.

Childfree

Childfree dalam bahasa gampangnya memilih dengan sukarela untuk tidak memiliki anak. Sedangkan, childphobia berarti memiliki fobia atau ketakutan terhadap anak kecil. Bahkan, ada yang berkomentar ada trauma di masa kecilnya yang menyebabkan ia dan pasangan memilih childfree.

Sebelum ramai di twitter, aku sudah pernah mampir ke blog-nya membaca pemikirannya tentang childfree ini. Sayangnya, ketika aku mencoba ke blog-nya lagi yang berdomain sudah tidak ada. Sepertinya tidak diperpanjang.

Yang aku ingat, dia memutuskan childfree karena ketakutan dia sendiri terhadap anak yang bakal dilahirkannya apalagi di zaman seperti ini. 

Ibaratnya, ya kalau tuh anak sukses, kalau engga berguna gimana? Apalagi mengurus anak itu tidak mudah dan murah. Belum lagi waktu yang terbuang. Nah, setelah komunikasi dengan suaminya, mereka pun memilih childfree dan dipublikasikan ke publik.

Secara pribadi, aku tidak mempermasalahkan keputusannya. Aku berpikir dia seorang intelek, yang tinggal di negara Eropa, jadi mungkin sedikit banyak pemikirannya jadi terpengaruh. Tapi balik lagi ya itu urusan dia.

Kalau aku sendiri, sampai istilah ini booming pun tidak pernah kepikiran childfree. Apalagi sampai menyesal memiliki anak. Aku hanya ingat pesan ibu aku dulu, jangan buru-buru menikah, kenyangin dulu masa muda (waktu single). 

Jadi pas sudah menikah engga mikir "aneh-aneh" karena sudah kenyang dolan (mungkin maksudnya pengalaman dan jalan-jalan). Dan, itu benar.

Contohnya, saat suami ke luar kota atau lihat teman posting traveling, ya aku sudah pernah dan ya aku biasa-biasa aja bukan yang terus baper ngambek minta jalan-jalan. 

Bukan berarti tidak pernah piknik juga ya. Tapi, lebih ke tahu diri dan porsinya. Begitu juga soal mental, berbekal pengalaman seperti pernah bekerja, bertemu banyak orang tentu secara emosi kita lebih baik saat menghadapi polah para bocah. Begitu juga saat menghadapi drama rumah tangga.

Caraku Menghadapi Ketakutan

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Sekarang aku sudah memiliki tiga anak. Punya ketakutan seperti Kakak di atas? Jujur, iya... Tapi, bagaimana aku menyikapi ketakutan ini. Dulu bosku pernah berkata, ketakutan itu monster yang kita ciptakan sendiri. Jadi ya jangan diciptakan.

Orang tua mana yang tidak ingin anaknya berkarakter dan sukses. Orang tua mana yang tidak khawatir berada di dunia digital ini. Melahirkan generasi sandwich yang serba instan dan tanpa batas ini.

Ketakutan Anak Tidak Berkarakter

Kembali lagi saat masih sekolah dulu, kita ini dididik sebagai "problem solver" bukan pembuat masalah. Aku takut anakku tidak berkarakter jadi aku memasukkan anak aku ke sekolah swasta dengan porsi mata pelajaran agama lebih banyak. 

Bukan tanpa pertimbangan, usai berkonsultasi dengan teman yang kebetulan psikolog anak, katanya kalau ingin "memasukkan sesuatu" ke anak itu ya di usia SD. Di masa itu otak berkembang pesat, mengeksplorasi, menangkap segala sesuatu yang masuk dan bakal menjadi pondasi. Karena aku ingin membekali dia nilai-nilai agama yang lebih kuat seperti akhlak yang baik, ya pilihannya ke sekolah swasta.

Apakah kami sebagai orang tua memaksakan ke si kecil? Tidak. Aku punya pilihan sekolah, tugas kita sebagai orang tua adalah mengarahkan. Sebagai ayah dan ibu, kami berkomunikasi terlebih dahulu sehingga satu suara. Saat itu, kami mengajak dia ke dua sekolah, negeri dan swasta. Aku katakan semua kelebihan dan kekurangan masing-masing. Alhamdulillah, dia memilih sekolah yang memang aku ingin dia di situ. Tapi si kecil tidak merasa dipaksa dan dia menikmati proses belajarnya. Bahkan saat pindah rumah dan jarak sekolah menjadi lebih jauh, ia kekeuh dan tetap bersemangat meski konsekuensinya harus bangun lebih pagi.

Ketakutan Tidak Bisa Membiayai

Slogan yang tidak asing di telinga kita sebagai orang timur adalah banyak anak banyak rezeki. Namun, di zaman sekarang, banyak yang "meragukan" kalimat itu. 

Katanya, emang ga butuh makan, ga butuh pendidikan, gimana kalau sakit? Ya, kembali lagi berapa anak itu pilihan. 

Tapi, point-nya, sebagai Muslim, aku berpegang teguh pada prinsip bahwa Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya. Allah kasih kita anak lebih, itu artinya kita mampu.

Dan, menurut aku soal biaya pendidikan dan kesehatan saat ini itu sudah enak. Banyak yang gratis dan serba murah karena ditanggung pemerintah. 

Tinggal saja keluarkan kartu sakti semacam Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan (Kartu Indonesia Sejahtera). Untuk yang lebih mampu, bisa mempersiapkan dana pendidikan yang hampir semua bank memiliki programnya. Belum lagi ada banyak pilihan asuransi.

Ketakutan Anak Tidak Sukses

Ukuran sukses itu masing-masing. Namun, ukuran sukses sebagai orang tua yang disepakati banyak pihak adalah anak disebut sukses ketika bisa melebihi orang tuanya. 

Misalnya, jika orang tuanya lulus SMA, anaknya lulus S1 itu sudah bisa disebut sukses. Selebihnya, anak membawa takdir masing-masing.

Menjadi seorang ibu tentu ini adalah anugerah yang luar biasa bagi perempuan. Doa ibu itu mustajab. Selalu selipkan doa untuk anak-anak agar mereka lebih dari kita, bukan hanya materi tapi ilmu, agama, dan sebagainya. 

Toh, semuanya juga akan kembali kepada kita. Karena, salah satu amal yang tidak terputus meskipun kita sudah meninggal adalah doa anak yang sholeh/sholehah.

Ketakutan Tidak Memiliki Waktu

Tanpa anak pun sebenarnya kita tak akan bisa jauh dari yang namanya waktu. Saat masih bekerja dan single misalnya, rasanya pun kita sudah tidak punya waktu untuk diri sendiri karena habis untuk urusan kantor. Yang mungkin malah milik orang lain. 

Sementara anak, sebagai ibu rumah tangga, waktuku memang sebagian besar untuk anak-anak. Aku berpikirnya, kalau bukan aku siapa lagi. Mereka darah daging aku, amanah yang dipercayakan Allah sama aku, ya aku harus bertanggungjawab dengan pilihan aku.

Disitulah, sebagai perempuan, secara pribadi aku terus belajar mengelola waktu. Aku pernah membaca kunci bahagia itu terletak pada keseimbangan waktu, untuk diri sendiri atau yang lebih dikenal "me time", keluarga, dan sosial. 

Sepuluh menit tenggelam baik dalam buku bacaan maupun dalam sujud bahkan sekedar mengamati matahari terbit pun sudah merupakan bentuk me time buat aku. 

Mengobrol dengan tetangga sembari mengasuh baby merupakan bentuk keseimbangan sosial sehingga tidak merasa kurang pergaulan. Sesekali makan bersama di luar dan piknik nerupakan bentuk family time.

Dan, pada akhirnya selalu bersyukur dengan hidup kita masing-masing. Statement aku, di story teman aku, kita tidak tahu pasti alasan si kakak yang sekarang tinggal di Jerman apa? Pernyataan-pernyataan dari dia mungkin sebenarnya hanyalah bentuk pembenaran.

Karena aku tidak memiliki kapasitas sebagai ahli, pendapat aku mengenai childfree dikembalikan ke masing-masing. Seperti halnya dalam beragama, bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Lalu, bertanggungjawablah terhadap apapun pilihan kamu. Jangan memaksakan pendapat karena itu juga bertentangan dengan sila keempat butir kedua. Bunyinya, tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun