"Mungkin terbang," samar-samar aku mendengar potongan pembicaraan empat laki-laki tersebut. Terbang, apanya yang terbang? Burung?
Belum genap setahun tinggal di kota, aku pun sudah terhanyut dengan kebiasaan kota ini. Cuek. Daripada melanjutkan rasa kepoku, lebih baik aku segera ke kantor daripada absensiku terlambat.
Jalanan kota ini rasanya tak pernah sepi semenjak aku datang delapan bulan lalu. Pepet sana, pepet sini. Awal kali pertama, motorku tergores aku menangis sejadi-jadinya. Lama-kelamaan, aku pun bisa beradaptasi. Seperti sore ini, bamper belakangku habis dicium entah siapa hingga retak. Aku hanya bisa memandangnya iba.
"Jatuh?" Lelaki bersarung yang tadi pagi kutemui itu, aku bertemu kembali. Masih mengenakan sarung.
Aku menggeleng. Aku terlalu malas memberi penjelasan.
"Ohya, apa kamu kemarin melihat sarung kotak-kotak di sini?" Kakiku yang hendak menaiki anak tangga tertahan.Â
"Iya," jawabku. "Oh, jadi kamu yang menemukannya, terima kasih ya," seperti ucapan terima kasih yang tak tulus. Aku segera ngeloyor. Raut mukanya tampak bingung.
"Wibi... Wibi... " Lika mencegat dan mengikutiku. Kali ini ia tak hanya berteriak dari dalam kamar. Ia bahkan rela bangkit dari rebahannya. Si kaum rebahan itu, tak akan seantusias itu jika tak ada sesuatu, biasanya soal cowok.
"Ada cowok baru di bawah, loh!" sambungnya. Tebakanku benar kan? Soal kaum Adam.
"Ganteng dan..."
"Bersarung," potongku sebelum ia nerocos lebih panjang.