Sebelum menikah, aku adalah kutu loncat yang terbang dari satu daerah ke daerah lain. Saat jauh dari keluarga itu, sangkan paran ibu membantuku. Dimanapun aku berada, aku selalu mendapat keluarga baru tempat berpulang.Â
Saat di Kalimantan, aku dianggap anak sulung oleh tokoh Dayak setempat. Tempat aku pulang di akhir pekan setelah enam hari di camp. Ketika di Ciamis, aku dipertemukan dengan pasangan suami istri berdarah Sunda tanpa anak kandung.Â
Oleh keduanya, saya dianggap anak sendiri. Hingga saat ini pun, saya rutin mengunjunginya saat Lebaran kecuali tahun ini karena "takut" Corona. Saya percaya semua keberuntungan itu hingga saat ini berkat kebaikan Buk'e.Â
Dari ibu, aku belajar bahwa tidak perlu menunggu kaya untuk berbuat baik. Lagipula ukuran kaya masing-masing orang itu berbeda. Bersedekah pun tidak melulu harus dengan harta tapi dengan kebaikan lain. Seperti tersenyum, mengantarkan orang, membantu membawakan belanjaan, menyingkirkan batu, tidak mempersulit urusan orang, dan sebagainya.
"Setiap kebaikan adalah sedekah." (HR. Bukhari)
Saat ini aku tinggal di kota mengikuti suami. Meski begitu, aku tidak akan melupakan nilai-nilai orang desa yang aku dapat dari ibu. Bertegur sapa dengan tetangga atau istilah dalam Bahasa Jawa-nya srawung, berbagi makanan, membantu jika ada yang membutuhkan, dan sebagainya.
Dan, percaya atau tidak, di Bandung aku pun mendapatkan "pengganti" orang tua. Rumah tempat aku selalu mendapatkan mie instan dengan rawit seperti yang selalu dibuatkan ibu ketika aku baru datang. Rumah jujukan (yang selalu menjadi tujuan) bagi kedua bocahku yang sudah seperti cucu sendiri bagi mereka.
 Itulah sangkan paran, salahsatu cara connecting happines warisan ibu. Satu kebaikan kecil berarti berlipat-lipat kebahagiaan bagi mereka. Mari mulai bersedekah dari yang teringan yaitu tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H