Ketika hamil pertama aku melewati Ramadhan. Begitu juga dengan kehamilan kedua. Saat menyusui anak pertama dan kedua pun aku berjumpa ramadhan.
Pada kehamilan pertama, sebelum memutuskan puasa, bidan bilang aku kekurangan cairan ketuban. Sarannya aku boleh puasa tapi selang-seling, sehari berpuasa sehari tidak semacam puasa daud.
Berbeda pada kehamilan kedua, aku masih menyusui anak pertama. Karena belum genap dua tahun. Melihat kondisiku, dokter tempat berkonsultasi tidak melarang asal aku kuat dan tidak ada keluhan.
Hamil pertama, menyusui anak pertama, hamil dan menyusui adalah riwayat tiga Ramadhan sebelumnya. Saat ini, aku melalui Ramadhan dengan masih menyusui anak kedua.
Ketiga bulan ramadhan sebelumnya, puasa bolong-bolong bahkan ada yang lebih banyak bolongnya dengan mempertimbangkan kondisi janin dan anak. Saat ini, alhamdulillah lancar, Oziel sangat mendukung ibunya puasanya. Karena memang sudah makan nasi dan frekuensi menyusu sudah berkurang.
Suami sendiri tidak pernah memaksakan aku puasa justru menyarankan tidak berpuasa demi anak. Kalau aku ngotot puasa itu berarti aku egois karena ada anak yang masih bergantung padaku. Asupan ASI harus tetap terjaga agar anak tak berimbas.
Rata-rata tetangga yang puasa dan anaknya masih menyusu, banyak keluhan mencret. Belum lama ini, depan rumahku bahkan bayinya yang masih enam bulan harus dilarikan ke rumah sakit karena muntah dan diare. Padahal bayi enam bulan masih sangat tergantung ASI ibunya. Bagaimana anaknya bisa terpenuhi nutrisinya jika ibu sendiri kurang cairan akibat puasa.
Namun semua kembali ke kondisi setiap ibu dan anak yang tidaklah sama. Ada baiknya konsultasi terlebih dahulu dan melihat kondisi diri sendiri sebelum memutuskan berpuasa. Karena kita yang lebih tahu bagaimana kita dan anak kita. Jangan sampai berbuat zalim.Â
Alloh pun telah mengistimewakan ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa. Yaitu bisa dengan meng-qadha atau mengganti di hari yang lain tapi jika tidak memungkinkan boleh dengan membayar fidyah untuk mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan.
Lalu bagaimana dengan menghidupkan malam Ramadhan untuk menggapai kemuliaan bahkan meraih Lailatul Qodar? Aku pun ingin semaksimal mungkin beribadah malam tapi banyak tapinya... Kadang sudah siap salat, anak nangis atau terbangun tidur harus nenen.
Mengenai anak menangis saat salat, aku mengikuti saran temanku. Yaitu tetap salat dengan mendudukkan/menidurkan anak di sajadah. Biarkan saja menangis lama-lama anak akan mengerti. Alhamdulillah jurus ini berhasil untuk anak pertama dan kedua. Meski sekali dua kali kadang ada drama.
Kata psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani, menangis adalah bentuk kemampuan berekspresi pada anak. Kita sebagai ibu hanya harus peka apakah menangis manja atau ada penyebab lain seperti sakit atau lapar. Kalau sudah begitu kita harus mengurus anak terlebih dahulu.
Sebagai bumil/busui tidak perlu memaksakan diri salat ke masjid. Kita bisa salat di rumah termasuk tarawih. Agar lebih khusyuk bisa menunggu anak tidur lebih dahulu.
Begitu pula dengan tadarusnya, kalau lagi pada anteng, aku bisa membaca Alquran sambil mengawasi mereka bermain tanpa gangguan mereka. Tapi ada kalanya, mereka akan merengek, menarik-narik Alquran, kalau sudah begitu kita beri pengertian lagi. Biasanya ampuh dengan memangku dan berinteraksi dengan mereka.Â
Sebenarnya bumil/busui tidak ada alasan untuk bermalasan untuk menghidupkan malam. Â Kita bisa beribadah setelah anak tidur. Hanya saja tantangannya mungkin lebih hehe... Kalau yang paling sederhana adalah berdzikir sebab bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun termasuk saat sedang menyusui.
Semoga kita selalu istiqomah menjaga amanah yang dititipkan Alloh SWT pada kita. Siapa tahu kita juga bisa meraih malam lailatul qodar, malam yang kebaikannya lebih dari 83 tahun. Malam yang menurut ustad Fathur Kamal mengembalikan kita pada titik koordinat kemuliaan sebagai manusia.Â
Itu sekedar ceritaku yang masih banyak harus belajar agama. Para ustad/ustadzah atau Kompasianer mungkin memiliki pandangan berbeda. Sharing juga, yuk!
Baca juga artikel aku sebelumnya: Daya Magis Pasar Tertua di Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H