***
"Aku kembali. Aku tidak mundur. Silakan tembak, aku tidak takut."
Pria muda itu terus meratap. Ia masih tak percaya dengan kepergian perempuan yang telah bersamanya setiap hari. Dari pukul tujuh pagi hingga delapan malam. Bukan karena gaji tapi karena Alloh.
Serpihan-serpihan memori percakapan dengan Razan berlompatan. Betapa keberanian dan kecintaannya pada negerinya tak akan pernah bisa disandingkan dengan Razan.
"Tentara Israel berniat untuk menembak sebanyak yang mereka bisa," katanya pada suatu ketika ia membantu Razan membenarkan masker di antara demonstran.
Kedua tangannya mengusap mukanya penuh tekanan. Menahan agar air mata itu tak bisa menjebol bendungan. Kehilangan ini meninggalkan duka yang dalam.
"Ini gila dan aku akan malu jika aku tidak ada di sana untuk bangsaku."
***
"Allohu Akbar... "
Gema takbir terus menggema di antara ribuan pelayat yang mengantarkan jenazah Razan. Jenazahnya diusung berbalut bendera Palestina. Ayah Razan terus memegangi seragam medis putrinya, yang telah berubah warna karena darah dan berlubang. Sang ibu berusaha tegar begitu juga lima adiknya. Sementara tim paramedis memendam duka yang begitu mendalam. Mereka berjuang bersama tanpa senjata.Â
Razan Ashraf Al Najjar syahid di hari Jumat di bulan mulia. Ia menyusul Sumayyah, syahidah wanita pertama yang tewas setelah tombak pendek menghunjam tempat penghormatannya. Surga Firdaus janji Alloh.