Lelaki itu berusaha menahannya.
"Tunggu sebentar. Kamu bisa mati," kata lelaki itu begitu tegas dan penuh kecemasan.
"Aku tidak takut mati. Kematian adalah kematian. Tidak, aku tidak takut mati!"
Ya, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Lelaki itu sudah tahu gadis yang dikenalnya beberapa waktu sebagai sesama sukarelawan itu memang tidak takut apapun. Yang bisa ia lakukan adalah tetap berada di samping Razan. Ia memanggil dua orang lain lagi. Tim medis lengkap dengan rompi dan mengangkat kedua tangan lalu berlari dalam kerumunan massa yang tak terkendali.
Walau dalam hujan gas air mata. Razan bergegas ke area bahaya. Ia agak berlari dengan jas putih bersihnya. Tak sedikitpun ia melambatkan langkah. Sesekali name tag dengan tali berwarna kuning yang tergantung di dadanya mengganggunya. Ia memutuskan menyelipkan di balik rompi medisnya. Ia mengangkat kedua tangan menekankan bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman bagi pasukan bersenjata.
Menolong demonstran yang terluka adalah tugasnya. Ia membalut pria yang terkena gas air mata. Begitu pria dibawa ke ambulans, terdengar beberapa tembakan dari seberang pagar yang berjarak 100 meter dari tempatnya oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Tiga tentara sekali tembak menghasilkan tiga bullet. Merobohkan temannya.
Namun, ia belum menyadari kalau peluru juga mengenai tembus ke dadanya. Hingga ia merasa bagian punggungnya panas terbakar.Â
"Punggungku, punggungku!"
Dia jatuh ke tanah. Air mata menitik bukan karena ketakutan. Karena ia tahu inilah waktunya. Ia tersungkur. Dan, mulai kehilangan kesadaran saat, satu temannya lagi terkena fragmen peluru.
Razan tertembak di dadanya dengan peluru tajam. Satu peluru menembus lubang di bagian belakang rompi. Darah mulai merembes ke rompinya dan segera mengotori seragam putihnya.
Tim medis dari bulan sabit merah segera memberi pertolongan pertama. Razan segera dipindahkan ke Rumah Sakit Eropa di Khan Younis. Alloh berkehendak lain. Nyawanya tak tertolong.