Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Pembelajaran Online Memakan Korban?

16 September 2020   11:48 Diperbarui: 16 September 2020   18:14 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustri dengan pencil sketsa

Tewas dianiaya Ibu sendiri akibat gadis kecil berusian 9 tahun ini tidak mampu memahami pembelajaran onlie yang diberikan sekolah. Itu isi berita sore kemaren di sebuah televisi swasta. 

Sangat  mengejutkan, karena pembunuhnya adalah kedua orang tua kandung bocah  sendiri. Lebih parah ini penganiaan dilakukan oleh ibu kandungnya di depan saudara kembar sang korban. 

Demikian berita yang baru saja ditayangkan sebuah televisi swasta. Terpaku dan tidak tahu harus berucap apapun. Sebagai orang tua ada nurani kita yang terusik menyimak berita tersebut. Sebagai orang yang berkecimpung didunia pendidikan timbul tanya dalam hati tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Sehingga orang yang seharusnya melindungi dan menyayangi anak cantik ini, justeru berperilaku sebaliknya. Dari penyelidikan kepolisian terungkap bahwa Ibu kandung korban melakukan penganiayaan karena kesal korban tidak mampu menangkap pembelajaran online yang diberikan oleh pihak sekolah.

Separah itukah dampak dari pembelajaran jarak jauh yang saat ini sedang dilakukan dibanyak daerah? Tentunya masih terlalu dini jika berkesimpulan demikian. Namun faktanya memang terdapat potensi konflik antara orang tua dan anak ketika orang tua mendampingi anak saat melakukan pembelajaran dari rumah.

Diakui atau tidak, kita  orang tua seringkali memiliki tuntutan lebih kepada anak-anak  sendiri. Kadang kita lupa mengukur kemampuan dan bakat yang dimiliki oleh seorang anak. 

Bahkan kita juga lupa bahwa dulu kita juga pernah menjadi seorang anak. Kita  Lupa pada beberapa materi pelajaran yang kita tuntut untuk dikuasai anak, dahulunya kita juga tidak terlalu menguasai. 

Pada  beberapa mata pelajaran perolehan nilai kita tidak selalu seratus. Keterampilan yang kita kuasai saat ini juga kita peroleh dengan tertatih tatih dan jatuh bangun setelah melalui proses yang panjang sebelum akhirnya mahir.

Lalu mengapa orang tua kadang kala menuntut anak langsung pintar seketika pada saat di dampingi belajar? Adakah pengaruh kontrol emosional orang tua dalam hal ini? 

Efektifitas pendampingan pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua kepada anak saat belajar dari rumah memang terkait erat dengan gaya pengasuhan yang dimiliki oleh orang tua anak tersebut. 

Baumrind, seorang ahli psikologi perkembangan menyatakan ada empat gaya pengasuhan anak yang dilakukan oleh orang tua. Gaya pengasuhan authoritarian, auhtoritative, neglectfull, dan indulgen.

Gaya pengasuhan authoritarian membatasi dan  menuntut anak untuk mengikuti dan mematuhi perintah-perintah orang tua. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada si anak ketika menerima gaya pengasuhan seperti ini saat belajar dari rumah. 

Tidak ada keleluasaan yang dimiliki oleh si anak. Tidak ada ruang kreatifitas yang dapat dilakukannya. Sehingga menyebabkan anak menjadi sangat tidak nyaman ketika belajar. Jika ini yang terjadi bisa dimaklumi kalau anak tidak mampu menangkap pembelajaran secara maksimal.

Memang tidak mudah menerapkan gaya pengasuhan authoritative, dimana orang tua memberikan keleluasaan  dan hangat kepada anak, namun tetap tegas dengan aturan yang disepakati bersama.

Gaya pengasuhan authoritative bukan berarti memberikan apapun yang di inginkan anak tanpa batas.Bukan berarti tidak melarang anak ketika melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan dan norma, seperti pada gaya pengasuhan necklective. 

Akan tetapi tetap dalam batasan yang tegas. Namun bukan berarti pula seperti pada pola pengasuhan indulgent yang cenderung melimpahi anak dengan kasih sayang tanpa batas dan memberikan apa saja yang diminta anak tanpa batasan.  

Pola pengasuhan authoritative inilah yang seharusnya diterapkan oleh orang tua, termasuk ketika mendampingi anaknya ketika belajar dari rumah. 

Ekspektasi yang tinggi terhadap anak, terkadang cenderung membuat orang tua menjadi otoriter atau lebih parah lagi push parenting, dimana orang tua secara tidak sadar menekan anak ketika mendampingi anak belajar. 

Kekhawatiran yang berlebihan terhadap masa depat anak membuat orang tua tanpa sadar melakukan tekanan terhadap anak. Ketakutan jika anak mempunyai masa depan yang suram menjadi salah satu penyebab orang tua merasa perlu membuat anak bekerja lebih keras saat belajar pada masa sekolah. 

Orang tua ingin anaknya bisa meraih prestasi yang lebih baik bahkan dibandingkan dengan  dirinya sendiri pada saat usia yang sama.

Agaknya hal ini yang terjadi pada ibu  gadis kecil yang malang ini. Mengingat keseharian tidak ada tanda-tanda kekasaran yang ditunjukkan oleh ibu korban sebelumnya.

Setidaknya hal ini yang disampaikan oleh para tetangga. Yang bersangkutan adalah pribadi yang ramah.  Namun ternyata mampu berperilaku sangat sadis ketika mendampingi anaknya belajar. 

Apa yang sesungguhnya terjadi? Mungkinkah pembelajaran dari rumah yang menuntut Ibu ini harus lebih banyak mendampingi anaknya belajar menyebabkan stres pada ibu ini hingga melakukan sesuatu yang betul-betul diluar nalar.

Peran guru sangat diperlukan dalam mengurangi stres orang tua dalam mendampingi anak saat melakukan belajar dari rumah.  Mengutip rekomendasi dari Temu Pendidik Spesial yang dilansir kompas.com ada beberapa hal yang harus dilakukan guru ketika melakukan pembelajaran dari rumah terhadap siswa. 

Yang pertama guru jangan memindahkan tugas mengajar kepada orang tua. Karena sejatinya orang tua hanyalah pendamping anak ketika belajar.  

Sebagian orang tua tidak mempunyai keterampilan mengajar yang cukup. Untuk mengajarkan hal kecil saja belum tentu orang tua mampu mengajarkannya kepada anak.

Seumpama menulis dan membaca yang hampir dikuasai oleh semua orang tua. Akan tetapi belum tentu semua orang tua mampu dalam mengajarkan anak dalam menulis dan membaca. Karena ada metode tertentu dalam mengajarkan keterampilan literasi dasar tersebut.

Ini terbukti pada kasus yang kita bahas ini. Jika korban berusia 9 tahun maka besar kemungkinan baru duduk di kelas 2 atau kelas 3 Sekolah Dasar (SD). 

Tahapan dimana di SD disebut dengan kelas rendah. Peserta didik dalam usia ini belum dibebani dengan konten pelajaran yang rumit-rumit. Pembelajaran diberikan masih dalam bentuk tematik terpadu, dimana kepada anak belum diperkenalkan mata pelajaran tertentu, kecuali Pendidikan Jasmani dan Keolahragaan (PJOK) dan Pendidikan Agama. 

Selebihnya pelajaran diberikan dalam bentuk tema. Anak belajar berbagai muatan pelajaran sekaligus tanpa diberi tahu judul muatan pelajarannya. Akan tetapi gurunya tahu dan paham muatan pelajaran apa saja yang tengah beliau belajarkan kepada anak.

Dikhawatirkan hal seperti ini tidak terkuasai oleh sebagian orang tua siswa sehingga membuat pembelajaran menjadi terkendala. Makanya memindahkan tugas mengajar kepada orang tua adalah suatu hal yang harus dihindari oleh guru ketika melakukan Pembelajaran Jarak jauh (PJJ). 

Hal ini untuk menghindari tidak maksimalnya pembelajaran yang terjadi. Jika tugas mengajar dipindahkan kepada orang tua, dikhawatirkan bisa menyebabkan stres pada anak bahkan pada orang tua seperti yang terjadi dalam kasus ini.

Hal berikut yang perlu dilakukan guru dalam pelaksanaan PJJ adalah  menjalin komunikasi dengan orang tua. Melalui komunikasi yang terjalin dengan orang tua siswa, guru tentunya dapat mengetahui kesulitan yang dialami oleh orang tua dan anak ketika anak melakukan pembelajaran dari rumah. Sehingga kesulitan yang dialami anak dan orang tua dapat segera dicarikan solusi tanpa perlu berlarut-larut.

Ketiga berikan dukungan kepada orang tua. Sehingga orang tua tidak merasa sendiri ketika mendapatkan kendala pada saat mendampingi anak ketika belajar dari rumah. Dukungan yang diberikan kepada orang tua membuat jalinan emosional antara guru, orang tua, dan anak menjadi lebih erat.

Ke-empat sediakan waktu untuk berbicara dari hati ke-hati antara guru, anak, dan orang tua. Sehingga guru maupun orang tua dapat mengetahui apa yang diinginkan anak dalam pembelajaran. Sehingga pembelajaran yang diberikan kepada anak menjadi lebih menyenangkan dan tidak menjadi beban bagi anak.

Yang terakhir berikan kebebasan kepada anak untuk menentukan kegiatan yang disenanginya, sehingga dari sini dapat ditentukan jenis dan bentuk pembelajaran yang dilakukan.

Jikalah hal ini dapat dilakukan secara maksimal, kita berharap tidak ada kejadian dan berita lagi tentang anak yang dianiaya orang tua pada saat didamping dalam pembelajaran. 

Bukankah pendampingan pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua bermaksud membuat anak lebih cemerlang dalam pembelajarannya. Bukan bermaksud menyakiti apalagi menganiaya.

Pada akhirnya student wellbeing  diharapkan muncul pada setiap tahapan pembelajaran. Dimana positivity mood (suasana hati) dan perilaku yang positif, hubungan positif dengan teman sebaya dan guru), resiliensi, diri dan sikap yang optimis, dan pengalaman yang menyenangkan ketika belajar dapat muncul pada saat pembelajaran berlangsung maupun sesudahnya. Apapun moda pembelajaran yang digunakan, siapapun gurunya dan yang mendampinginya, dimanapun tempat belajarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun