Pengusungan Gibran Rakabuming Raka atau yang akrab di sapa Gibran putera Presiden Joko Widodo menjadi calon Walikota Solo menjadi perbincangan hangat diberbagai kalangan. Keputusan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020, serta dukungan yang diberikan oleh Jokowi terhadap puteranya tersebut menuai beragam tanggapan.Â
Bagaimana tidak, status Gibran sebagai putera seorang presiden mau tidak mau melekatkan stereotip "putera mahkota" padanya. Setidaknya hal tersebut dinyatakan oleh politisi senior PDI perjuangan yang sedianya akan maju pada Pilkada Kota Solo 2020 Achmad Purnomo. Secara informal Achmad Purnomo menyatakan boleh jadi beliau gagal beroleh dukungan dari DPP PDIP untuk maju pada pilkada Kota Solo 2020 karena bukan putera presiden dan sudah tua.
Benarkah PDI Perjuangan mengusung Gibran sebagai calon Wali kota Solo hanya karena dia anak seorang Joko Widodo? Tentu saja hal ini dibantah oleh pihak PDI perjuangan. Proses penentuan Gibran menjadi calon walikota Solo dilakukan oleh pihak PDI perjuangan setelah melalui serangkaian mekanisme, termasuk fit n proper test yang dilakukan pada Februari 2020 lalu.  Artinya PDIP menganggap Gibran layak untuk maju dibandingkan dengan calon lainnya.Â
Apakah ini artinya hasil seleksi tersebut menunjukkan kapasitas dan kompetensi Gibran sebagai calon lebih baik dibandingkan dengan calon lainnya. Menafikan senioritas dan pengalaman dari kader partai lainnya yang telah bertahun berjuang bersama.
Agaknya rekomendasi partai memang tidak bisa lepas dari trah yang dipunyai oleh Gibran. Bicara tentang pengaruh trah atau silsilah dalam mendudukkan seorang pemimpin memang bukanlah hal baru di dunia ini. Dalam sistem monarki kita tahu persis bahwa tahta akan diberikan secara turun temurun terhadap anak keturunan raja. Dengan ketentuan umum bahwa sang putera mahkota adalah anak seorang permaisuri dan merupakan putera pertama.
Namun dalam implementasinya tetap saja ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Sebagaimana sejarah mencatat Jaya Negara yang menggantikan Raden Wijaya di Kerajaan Majapahit bukanlah anak dari seorang permaisuri bahkan bukanlah putera pertama dari Raden Wijaya.
Namun Dara Petak sebagai ibu dari Jaya Negara melakukan lobi  terhadap Raden Wijaya sehingga posisi pengganti raja beralih ketangan Jaya Negara. Selir Raden Wijaya ini berhasil meyakinkan sang raja agar memberikan predikat tahta kerajaan kepada anaknya.
Dalam beberapa nukilan sejarah dikatakan bahwa posisi tersebut diperoleh Jaya Negara setelah dia diangkat anak oleh sang permaisuri Dyah Sri Tribhuaneswari . Agaknya lobi politik memang sudah berlaku sejak lama. Faktor politik  seringkali menjadi penentu kartu biru untuk memperoleh rekomendasi sebagai calon penguasa. Kadang bisa jadi mengabaikan ketentuan, senioritas, dan kapabilitas dari seorang calon.
Dukungan bawaan seperti ini yang tidak dimiliki oleh Karna, Sang Radya yang dibesarkan oleh keluarga kusir kereta istana pada kisah Mahabarata. Walaupun pada kenyataan Karna adalah putera Kunti dan  Bathara Surya. Namun karena secara de jure beliau tidak memiliki status sebagai turunan ksatria, maka  Kripacharya tidak mengizinkan Karna bertarung dalam ajang memanah menantang Arjuna  pada pertandingan yang di gelar Dronacharya untuk murid-muridnya. Bukan karena Karna tidak mempunyai kemampuan memanah dengan baik. Sejatinya kemampuan memanah Karna bahkan berada di atas kelihaian Arjuna saat menarik busur dan membidik sasaran dengan anak panah. Walaupun  hanya belajar otodidak dan sembunyi-sembunyi. Artinya kapasistas memanah sesungguhnya dari Karna jauh di atas Arjuna yang dilatih oleh guru terpilih.Â
Namun status dan silsilah Karna yang bukan turunan ksatria membuat dia tidak boleh ikut bertarung. Hanya karena dia anak seorang kusir, bukan turunan ksatria seperti Arjuna. Coba bayangkan, untuk bertarung saja sudah dilarang, apalagi untuk memenangkan pertarungan. Kelihatan sekali bahwa faktor keturunan amat menentukan dalam hal ini.Â
Semoga bukan hal seperti ini yang menjadi pertimbangan PDIP ketika memutuskan memilih  Gibran bukan Achmad Purnomo sebagai calon Wali kota Solo dari kubu PDIP. Karena Gibran  sudah mengantongi kartu bawaan  sebagai  anak presiden. Sehingga dapat mengalahkan beberapa politisi senior PDIP lainnya untuk berlaga pada Pilkada Kota Solo. Apa boleh buat. Rekomendasi partai menjadi hal yang mutlak sebelum maju sebagai calon.
Dalam sistem demokrasi modren sekalipun silsilah dan keturunan juga masih sering terjadi dalam per-politikan. Kita mengenal George W Bush dan George W Bush Junior sebagai dua orang yang merupakan ayah dan anak sebagai presiden Amerika. Di Asia Ada Benigno Aquino serta puterinya Corazon Aquino yang pernah menjadi presiden dalam periode yang berbeda di Pilipina. Kemudian terdapat nama Gandhi beranak cucu yang secara bergantian menjadi pemimpin di India. Dinasti Butho di Pakistan juga mengalami hal yang sama.
Indonesia sendiri memiliki beberapa pemimpin politik maupun kepala daerah yang berasal dari keluarga yang sama. Yang paling terkenal adalah Ibu Mega wati sebagai puteri Bung Karno. Agus Harimurti Bambang Yudhoyono yang merupakan anak Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut berkecimpung di dunia politik mengikuti jejang orang tua mereka. Dari sisi pemerintah daerah ada nama mantan Gubernur Jambi  Zumi Zola anak Zulkifli Nurdin yang pernah menduduki jabatan sebagai  Gubernur Jambi sebelum ini. Ada beberapa nama lain selain ini.Â
Semuanya maju dalam ajang pemilu secara modren. Rakyat secara demokratis memilih mereka. Namun tidak bisa dinafikan bahwa nama besar dari keluarga pendahulu mereka menjadi penentu mengapa akhirnya mereka dapat tempat untuk mencalonkan diri. Faktanya sebagian besar dari pemimpin-pemimpin penerus dinasti tersebut mempunyai kapasitas yang cukup baik. Beberapa bahkan lebih baik dari pendahulunya. Walaupun tidak sedikit juga yang memiliki kemampuan biasa saja sebagai pemimpin.
Sekarang Gibran memiliki hal tersebut. Nama besar orang tua dan dukungan dari partai PDIP yang juga mengusung ayahnya Joko Widodo dalam pemilihan presiden  yang lalu. Bahkan Gibran juga telah didukung oleh partai lain selain PDIP sebagai calon Wali Kota Solo.
Namun hal ini saja tentunya tidak cukup. Rakyat perlu pembuktian bahwa seorang Gibran Rakabuming Raka memang mempunyai kapasitas untuk memajukan Kota Solo pada masa mendatang. Kalau tidak, bisa saja dukungan dari rakyat akan kembali di cabut. Sebagaimana halnya ketidakpuasan yang terjadi terhadap Raja Majapahit Jayanegara.Â
Ketidakpuasan akan mekanisme suksesi dari Raden Wijaya kepada Jaya Negara, asal usul dari Jaya Negara yang mempunyai Ibu bukan dari garis keturunan Singosari, serta  buruknya kemampua sang raja dalam menjalankan roda pemerintahan berakhir dengan melayangnya nyawa sang raja ditangan Ratanca.  Sang  tabib istana yang seharusnya bertugas memulihkan kesehatan raja.
Tentunya tidak bermaksud menganalogikan Gibran  dengan fakta sejarah Kerajaan Majapahit ini secara gamblang. Namun setidaknya memberikan gambaran jika pada akhirnya memang kapasitas dan kapabilitas dari seorang pemimpinlah yang akan menentukan. Bagaimanapun trah dan dinasti melekat padanya, kemampuan sebagai seorang pemimpinlah pada akhirnya yang akan tercatat dalam sejarah.
Namun demikian, seandainya kebetulan mendapati posisi sebagai seorang yang memiliki garis keturunan seorang pemimpin, tidak ada salahnya juga menduplikasi sikap Karna puteri Kunti dalam cerita Barata Yudha.Â
Karna menolak dengan tegas tahta Indera Prasta yang diberikan oleh Yudhistira kepadanya dengan syarat mau bergabung dengan Pandawa. Komitmen pada persahabatannya dengan Duryudhana dari pihak Kurawa sekaligus lawan dari Pandawa membuat dia tidak mau menerima tawaran pihak Pandawa. Walaupun pada kenyataannya Pandawa adalah saudara se-ibunya.
Amat sulit mencari orang yang tidak tergiur tahta dan kuat pada komitmen seperti ini. Baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang ini. Mengantongi keberuntungan karena terlahir menjadi anak dari seorang pemimpin, seharusnya tidak serta merta membuat mereka bisa dikarbit menjadi seorang pemimpin baru. Justeru hal ini akan menjadi beban. Beban pembuktian kalau mereka memang punya kapasitas sebagai seorang pemimpin. Bukan hanya mendompleng nama besar ayah atau ibunya saja.
Hal yang sama tentunya berlaku pada Gibran. Akan jauh lebih baik kalau pengkaderan dilakukan terhadap Gibran secara bertahap. Jika Gibran memulai karir politiknya dengan berkecimpung terlebih dahulu beberapa saat dalam partai sebelum maju dalam kontestasi politik yang lebih besar tentunya akan membuat Gibran menjadi lebih matang.Â
Bukan berarti tidak mempercayai kemampuan seorang milenial. Boleh-boleh saja pemuda-pemuda kita muncul sebagai pemimpin baru. Sebagaimana Puyi yang menjadi Kaisar terakhir Cina dari dinasti Qing yang dinobatkan sebagai raja pada usia 2 tahun. Usia yang sangat muda. Kenyataannya Puyi hanya menjadi kaisar boneka ketika itu.
Fakta sejarah juga yang menceritakan bahwa pengalaman dari seorang pemimpin menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan kepemimpinan seseorang. Pada akhirnya faktor keturunan dan Dinasti hanya menjadi jalan untuk menjadi pemimpin, tetapi bukan penentu keberhasilan seorang pemimpin.Â
Suatu saat saya ingin mendengar di republik ini ada anak pemimpin yang menolak ketika diusulkan untuk menjadi pemimpin. Seperti halnya Umar Bin Abdul Aziz yang menangis dan menolak ketika diamanahi tugas sebagai khalifah. Karena sejatinya bersedia menjadi pemimpin itu adalah kesediaan memikul tanggung jawab yang besar terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya, dan itu harus dipertanggung jawabkan. Wallahualam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H