Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru OTG, Satu Kota Kembali Belajar dari Rumah

21 Juli 2020   22:26 Diperbarui: 22 Juli 2020   13:25 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita misalkan pada sebuah SMP  terdapat 15 kelas paralel, maka rata-rata akan terdapat 32 orang siswa x 15 = 480 siswa. Karena pembatasan maka siswa yang masuk pada satu shif adalah setengah dari jumlah siswa tersebut. Artinya akan terdapat 240 siswa yang relatif serempak pada saat kedatangan. Baik shif pagi maupun shif siang.  

Belum lagi jika ditambah dengan guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah. Maka amat tidak mungkin jika alat pemindai suhu tubuh yang disediakan hanya satu. Belum lagi kalau alat pemindai mengalami kerusakan seperti yang saya alami ketika akan memasuki beberapa instansi. Biasanya petugas akan langsung mengatakan masuk saja dulu. Sepertinya hal ini terlihat sepele, namun inilah salah satu sumber penyebaran dari virus ini.  

Pengaturan saat pengantaran dan penjemputan

Hal ini dilakukan untuk menghindari kerumunan. Pada saat pengantaran (datang) dan penjemputan (pulang) adalah saat yang paling rentan untuk terciptanya kerumunan. Hal ini bisa saja terjadi karena terbatasnya luas akses masuk ke sekolah. Hal lain yang bisa jadi memicu kerumunan adalah pada saat menunggu proses pemindauan suhu yang dilakukan oleh pihak sekolah. 

Karena itu, makin sedikit alat pemindaian dan petugas yang memindai suhu tubuh, maka akan makin besar kemungkinan terciptanya kerumunan. Karena itu pihak sekolah perlu memikirkan mekanisme tersendiri untuk memecah kerumunan pada saat kedatangan maupun kepulangan siswa ini.

Sarana dan prasarana yang sesuai untuk mencegah penyebaran COVID-19

Memastikan ketersediaan fasilitas cuci tangan pakai sabun, minimal di lokasi dimana warga satuan pendidikan masuk dan keluar dari lingkungan satuan pendidikan. Penempatan fasilitas ini harusnya juga diikuti dengan edukasi bagaimana proses cuci tangan yang benar. Mengingat siswa yang akan melakukan proses cuci tangan ini dalam jumlah besar, maka perlu dipertimbangkan untuk menempatkan petugas pendamping guna memastika prosedur pencucian tangan yang dilakukan oleh siswa sudah benar. Setidaknya hal ini dilakukan pada saat kedatangan ke sekolah sebelum pembelajaran dimulai.

Penempatan materi informasi, komunikasi dan Edukasi pencegahan covid-19 pada tempat yang tepat

Menempatkan materi informasi, komunikasi, dan e duk asi t erk a it pen ceg ah an pe nyeb ara n COVID-19 di tempat- tempat  yang  mudah  dilihat  oleh  seluruh  warga  satuan  pendidikan. Hal ini untuk memberikan penyadaran tentang apa yang harus dilakukan oleh semua warga sekolah guna menghindari penyebaran virus ini lebih jauh.

Jika saja semua ketentuan tersebut dilaksanakan dengan benar, mestinya tidak akan ada ketakutan yang berlebihan baik dari pihak sekolah maupun orang tua siswa ketika pembelajaran tatap muka dilakukan. Namun permasalahannya adalah berapa persen semua prosedur tersebut dilaksanakan? Belum lagi persoalan lain tentang kurangnya disiplin dari warga sekolah untuk mentaati semua protokol kesehatan yang ada. 

Tidak hanya pada siswa tapi pelanggaran disiplin protokol kesehatan ini kerap juga dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya. Masker misalnya, berapa sering kita melihat dilakukan bongkar pasang terhadap masker yang dikenakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun