Mohon tunggu...
Rima Gravianty Baskoro
Rima Gravianty Baskoro Mohon Tunggu... Pengacara - Trusted Listed Lawyer in Foreign Embassies || Policy Analyst and Researcher || Master of Public Policy - Monash University || Bachelor of Law - Diponegoro University ||

Associate of Chartered Institute of Arbitrators. || Vice Chairman of PERADI Young Lawyers Committee. || Officer of International Affairs Division of PERADI National Board Commission. || Co-founder of Toma Maritime Center.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perdagangan Karbon di Indonesia: Dinamika dan Konflik dengan Masyarakat Adat

5 Juni 2024   11:54 Diperbarui: 13 Juni 2024   15:11 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perubahan Iklim, Perdagangan Karbon, dan Masyarakat Adat

Perubahan iklim, yang dipicu oleh gas rumah kaca alami dan buatan manusia, telah meningkatkan suhu global sekitar 1,0°C sejak era pra-industri. Indonesia, yang telah meratifikasi UNFCCC dan Protokol Kyoto, memiliki komitmen hukum untuk mitigasi iklim, termasuk membentuk pasar karbon di mana entitas memperdagangkan izin emisi gas rumah kaca (GHG). Sehubungan dengan hal tesebut, pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo menandatangani regulasi "Nilai Ekonomi Karbon", yang menarget sektor-sektor seperti energi, transportasi, pengelolaan limbah, manufaktur, pertanian, dan kehutanan untuk mencapai tujuan penurunan suhu global dalam menghadapi perubahan iklim. Indonesia juga memperkenalkan kerangka hukum utama, termasuk Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 14 tahun 2023, yang berfokus pada perdagangan karbon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menguraikan peta jalan untuk perdagangan karbon di sektor kehutanan, dan menekankan peran masyarakat adat. Masyarakat adat, melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan, berkontribusi secara signifikan terhadap penyerapan karbon, memperkuat hubungan budaya mereka dengan tanah, dan berpartisipasi dalam program pengimbangan karbon. Pendekatan ini sejalan dengan Prinsip 22 Deklarasi Rio, yang mengakui peran penting masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Para Pemangku Kepentingan

Kebijakan perdagangan karbon yang melibatkan masyarakat adat memicu perdebatan di antara enam pemangku kepentingan utama: masyarakat adat, Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), organisasi non-pemerintah (LSM) yang relevan, dan para ahli di bidangnya. Setiap pemangku kepentingan membawa perspektif dan kepentingan unik, yang mempengaruhi implementasi, efektivitas, keadilan, dan keberlanjutan kebijakan ini. masyarakat adat memberikan komitmen besar dalam melindungi hak, wilayah, dan pengetahuan tradisional mereka, menghadapi tantangan perubahan iklim. BEI berwenang mengawasi mekanisme keuangan perdagangan karbon, memainkan peran sentral namun agak terbatas dalam regulasi. OJK dan KLHK memegang kekuasaan regulasi yang signifikan, memastikan kebijakan sejalan dengan standar domestik dan internasional. LSM bersikap memperjuangkan hak-hak adat, memberikan dukungan dan representasi kritis. Para ahli atau akademisi memberikan wawasan luas terkait perubahan iklim dan perdagangan karbon, meskipun pengaruh mereka moderat karena pengambil keputusan pemerintah tidak diwajibkan untuk mengadopsi rekomendasi dari para ahli atau akademisi.
Keterlibatan masyarakat adat sangat penting karena kebijakan perdagangan karbon secara langsung mempengaruhi hak dan wilayah masyarakat adat. Meskipun ada preseden hukum, pengaruh mereka tetap terbatas oleh kerangka administrasi. BEI, sebagai eksekutor utama, mengatur perdagangan karbon dalam parameter yang ditetapkan. OJK dan KLHK, yang diberi wewenang legislatif, membentuk dan menegakkan regulasi terkait perdagangan karbon dengan efektivitas yang cukup besar. LSM memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak adat, memanfaatkan keahlian mereka untuk memastikan hasil dan manfaat yang adil terutama untuk masyarakat adat. Para ahli, memberikan wawasan dari berbagai bidang, membantu dalam perumusan dan evaluasi kebijakan, meskipun kekuasaan mereka terbatas oleh sifat diskresioner dari penerimaan pemerintah terhadap nasihat mereka. Bersama-sama, interaksi pemangku kepentingan ini menentukan arah dan dampak kebijakan perdagangan karbon Indonesia, mencerminkan kompleksitas dan pentingnya manajemen pemangku kepentingan yang inklusif dan efektif.

Perdebatan Para Pemangku Kepentingan


Kebijakan perdagangan karbon yang melibatkan masyarakat adat memicu perdebatan yang melibatkan enam pemangku kepentingan utama: masyarakat adat, Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), organisasi non-pemerintah (LSM), dan para ahli di bidangnya.


Masyarakat adat dan LSM berargumen bahwa program pembiayaan pengurangan karbon di negara berkembang telah mendorong privatisasi sumber daya alam dan mengurangi peran masyarakat adat dalam penggunaan lahan tradisional. Dengan jejak karbon rendah karena hubungan budaya dan spiritual mereka dengan lingkungan, masyarakat adat menjadi pihak yang sangat terdampak oleh perubahan iklim. Terhadap hal ini, bahkan pada akhir September 2022, komunitas adat Kasepuhan Cibarani dan Kasepuhan Karang bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap regulasi Nilai Ekonomi Karbon yang dianggap mengecualikan komunitas adat. Regulasi ini mengancam kemandirian masyarakat adat di hutan mereka. Masyarakat adat Sorong Raya juga menolak perdagangan karbon yang dikendalikan pemerintah, dengan alasan bahwa perdagangan karbon berdasarkan konsesi akan meningkatkan ketimpangan kepemilikan lahan. LSM seperti WALHI, AMAN, Greenpeace, dan lainnya menolak perdagangan karbon karena dianggap tidak efektif dan hanya memberikan "hak" kepada perusak lingkungan di satu tempat untuk terus merusak di tempat lain. Mereka juga menekankan pentingnya pengakuan hak masyarakat adat dan mendapatkan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dalam setiap keputusan yang mempengaruhi wilayah adat.


Di sisi lain, BEI berperan penting dalam mengawasi mekanisme keuangan terkait perdagangan karbon di pasar Indonesia, dengan OJK dan KLHK memainkan peran utama dalam memastikan kebijakan keuangan, lingkungan, dan kehutanan selaras dengan kerangka kerja nasional dan internasional. KLHK mendukung perdagangan karbon dengan komunitas adat, mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor SK.1027/MENLHK/PHL/KUM.1/9/2023 yang mengatur rencana perdagangan karbon di sektor kehutanan. Sedangkan para ahli terbagi antara yang mendukung dan menolak kebijakan perdagangan karbon, dengan beberapa ahli menekankan pentingnya komitmen kolektif yang kuat dan penyesuaian strategis untuk memenuhi standar internasional.

Mitigasi Perdebatan Para Pemangku Kepentingan


Hasil penelitian menunjukkan adanya perselisihan mendasar yang didasarkan pada kesalahpahaman tentang bagaimana pelestarian lingkungan dan perdagangan karbon saling berinteraksi. Terdapat konflik antara tujuan dan prioritas karena. Para pendukung konservasi lingkungan menekankan nilai intrinsik perlindungan ekosistem, sedangkan pihak yang terlibat dalam perdagangan karbon seringkali memprioritaskan keuntungan finansial. Perbedaan pandangan tentang cara menyeimbangkan keberlanjutan ekologi dan kemajuan ekonomi memperburuk ketegangan seputar penetapan harga karbon. Selain itu, tidak dilibatkannya masyarakat adat saat proses pembuatan kebijakan semakin memperpanjang sejarah ketidakadilan dan mengabaikan kearifan tradisional mereka dalam pengelolaan lingkungan. Akibatnya, masyarakat adat merasa terpinggirkan dan kehilangan hak, yang semakin memperumit perdebatan yang sudah penuh ketegangan mengenai penetapan harga karbon dan kebijakan lingkungan.


Manajemen pemangku kepentingan memegang peran penting dalam mengatasi masalah kompleks ini dan selayaknya mendorong perumusan serta implementasi kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran. Melalui keterlibatan proaktif dengan pemangku kepentingan yang mewakili beragam kepentingan dan sudut pandang, pembuat kebijakan dapat secara efektif mengurangi perbedaan, membangun konsensus, dan memastikan bahwa kebijakan lebih komprehensif, adil, dan inklusif. Strategi proaktif ini penting untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan lingkungan dalam jangka panjang serta mengurangi konflik. Dengan komunikasi terbuka dan jujur, kerja sama, dan upaya sungguh-sungguh untuk mengatasi kekhawatiran para pemangku kepentingan, pembuat kebijakan dapat menciptakan suasana yang kondusif yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan dan konservasi lingkungan.


Proses penyusunan kebijakan perdagangan karbon di Indonesia menghadapi masalah serius terkait legitimasi dan efektivitas tata kelola lingkungan, terutama karena kurangnya keterlibatan bermakna dari pemangku kepentingan penting seperti LSM dan masyarakat adat. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa rencana perdagangan karbon yang melibatkan masyarakat adat dihasilkan melalui proses yang inklusif dan partisipatif. Namun, perdebatan para pemangku kepentingan ini menunjukkan bahwa LSM dan masyarakat adat seringkali dikesampingkan, suara mereka tidak didengar, dan pandangan mereka diabaikan. Ketidakadilan ini tidak hanya merusak konsep keadilan lingkungan tetapi juga mengabaikan pengetahuan tradisional yang tak ternilai yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam mengelola lingkungan. Masalah ini lebih dalam daripada sekadar kesalahan prosedural. Perdebatan ini menyentuh inti dari ide tata kelola lingkungan. Dengan mengecualikan masyarakat adat dan mengabaikan saran LSM, pembuat kebijakan berisiko membuat kebijakan perdagangan karbon yang memperburuk ketidaksetaraan sosial dan degradasi lingkungan, padhal seharunya sudah sampai pada level penanganan emisi karbon dengan cara perdagangan karbon. Kurangnya keterlibatan dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan ini juga dapat merusak kepercayaan publik dan mengurangi kemampuan kebijakan untuk mencapai tujuan lingkungan secara efektif. Oleh karena itu, DPR dan pihak-pihak terkait harus mengevaluasi kembali pendekatan mereka dalam merumuskan kebijakan, dengan mengakui hak, pandangan, dan kontribusi masyarakat adat serta LSM, dan memprioritaskan mereka dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan menciptakan lingkungan yang menghargai dialog, kerjasama, dan saling menghormati, pembuat kebijakan dapat memastikan bahwa kebijakan perdagangan karbon tidak hanya mencapai target lingkungan tetapi juga menjunjung tinggi keadilan sosial dan hak-hak masyarakat adat, mendorong masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat.


Kesimpulan


Perubahan iklim global memicu pembentukan UNFCCC dan Protokol Kyoto, yang memperkenalkan perdagangan karbon sebagai sarana untuk mengurangi emisi. Penandatanganan regulasi "Nilai Ekonomi Karbon" oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021, diikuti oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menetapkan kriteria target pengurangan emisi dan rencana pelaksanaannya, dengan menekankan peran berbagai sektor dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, masyarakat adat harus memenuhi standar tertentu untuk mendapatkan manfaat dari perdagangan karbon menurut KLHK. Hal ini menyoroti kontribusi masyarakat adat dalam mitigasi perubahan iklim melalui pemberian izin pengelolaan hutan komunal, misalnya. Kerjasama antara berbagai organisasi dan masyarakat adat sangat penting untuk kemajuan tujuan budaya dan pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat. Kebijakan perdagangan karbon yang melibatkan masyarakat adat merupakan hal yang tidak sederhana dan menjadi topik perdebatan di antara enam pemangku kepentingan utama, yaitu komunitas adat, Bursa Efek Indonesia (IDX), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), KLHK, LSM yang fokus pada isu lingkungan dan adat, serta pakar. Setiap pemangku kepentingan membawa perspektif dan kepentingan berbeda. Meski perdagangan karbon memiliki potensi untuk mitigasi perubahan iklim, konflik berlanjut karena sistem pembuatan kebijakan yang eksklusif, dengan poin utama perdebatan berkisar pada penetapan harga dan kerangka konsep perdagangan karbon, yang ditentang oleh masyarakat adat sebagai pihak penghasil oksigen dan pengikat karbon melalui hutan. Dengan menempatkan pakar dan masyarakat adat di garis depan proses perdagangan karbon, DPR dapat memanfaatkan pengaruhnya untuk memastikan dan mendukung pelaksanaan kebijakan ini. Melalui strategi ini, DPR dapat menggalang dukungan dari semua pihak untuk kebijakan yang mempromosikan kelayakan perdagangan karbon dan menegaskan pentingnya hal tersebut. Dengan secara aktif melibatkan pakar dan kelompok adat dalam proses advokasi, pembuat kebijakan dapat meningkatkan dukungan publik untuk adopsi perdagangan karbon dan memperluas pemahaman tentang urgensinya. Selain itu, dengan memberikan otoritas kepada masyarakat adat untuk memimpin pengembangan regulasi perdagangan karbon, DPR dapat memastikan bahwa upaya ini memperhatikan kebutuhan dan perspektif komunitas lokal, terutama mereka yang paling terdampak oleh perubahan lingkungan. Pendekatan kolaboratif ini meningkatkan legitimasi dan efektivitas skema perdagangan karbon sekaligus memperkuat tekad Indonesia untuk memenuhi Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC). Dengan menyelaraskan tujuan perdagangan karbon dengan tujuan keberlanjutan yang lebih luas, seperti keadilan lingkungan dan pelestarian ekosistem, Indonesia dapat mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan cara yang adil dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun