Kedua, patut dipertanyakan proses berjalannya dengar pendapat yang diadakan oleh Pemda NTT terhadap anak-anak NTT yang terdampak kebijakan tersebut. Â Sebelum membuat kebijakan tersebut Pemda NTT harusnya mendengar dan mempertimbangkan pendapat para anak-anak NTT sebagai pemangku kebijakan guna mencapai kepentingan terbaik dari anak-anak tersebut, apalagi kebijakan tersebut jelas menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak-anak NTT tersebut. Kewajiban tersebut sebagaimana diatur dalam bagian penjelasan Pasal 2 Jo. Pasal 10 UU 23/2002, yang mengatur sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 2
"Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya."
Pasal 10
"Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan."
Berdasarkan ketentuan di atas, Pemda NTT harus mendengar dan mempertimbangkan pendapat dari siswa-siswi SMA dan SMK sebelum mengambil keputusan pemberlakuan kebijakan tersebut. Pemda NTT seharusnya mengadakan forum komunikasi guna dengar pendapat dengan para siswa-siswi SMA dan SMK terkait. Hal ini penting untuk menentukan layak atau tidaknya diberlakukan kebijakan Pemda NTT terkait kewajiban masuk sekolah pukul 05.00 WITA.
Ketiga, terhadap pemberlakuan kebijakan tersebut perlu dikaji pula mengenai penentuan kebijakan lanjutan yang mengatur kegiatan proses belajar mengajar terhadap siswa-siswi sejak jam 05.00 WITA. Apakah ada kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa-siswi sejak jam 05.00 WITA, atau siswa-siswi hanya datang dan akan menunggu sampai proses jam belajar-mengajar efektif pada pukul 08.00 WITA? Penentuan kebijakan lanjutan ini penting karena negara berkewajiban menjaga hak anak-anak sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 11 UU 23/2002, yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 11
"Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri." Â
Ke-empat, kebijakan ini pun menghadapi tantangan tersendiri terkait ketersediaan fasilitas publik antara lain transportasi umum yang belum tersedia pada jam 05.00 WITA. Mengingat tidak semua siswa-siswi di NTT memiliki akses kendaraan pribadi, dan banyak diantaranya yang masih menggunakan transportasi umum untuk berangkat ke sekolahnya. Jika belum adanya jaminan ketersediaan transportasi umum ini, maka sudah jelas siswa-siswi NTT yang berangkat ke sekolah menggunakan transportasi umum pasti akan terlambat masuk sekolah. Maka penting bagi Pemda NTT untuk menentukan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan kekurangan transportasi publik tersebut.
Menanggapi permasalahan-permasalahan diatas, maka dipandang perlu adanya analisis atas penyusunan kebijakan Pemda NTT ditelaah dari sisi prosedur penyusunan kebijakan publik, serta solusi terhadap permasalahan kebijakan publik yang diterapkan oleh Pemda NTT tersebut.
II. Strategi dan Alur Penyusunan Kebijakan Publik
Idealnya dalam membuat sebuah kebijakan publik, Pemda NTT mengikuti prosedur policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) karena policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) merupakan rangkaian proses penyusunan kebijakan publik yang didasarkan pada pemikiran logis untuk menyelesaikan permasalahan publik (Blomkamp, E., et.al, 2018). Rangkaian proses penyusunan kebijakan adalah representasi dari cara penyusunan kebijakan publik sebagai jawaban atau solusi atas permasalahan publik (Lasswell 1956; Bridgman and Davis 1998). Jika permasalahannya adalah kedisiplinan anak, maka kerangka logis yang harus dibangun dalam penyusunan dan pemberlakuan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi adalah solusi bahwa kebijakan tersebut akan meningkatkan disiplin anak sekolah. Â Jika targetnya adalah pendisiplinan anak-anak, apakah Pemda NTT harus turun tangan mengeluarkan kebijakan seperti ini? Apakah kedisiplinan anak menjadi persoalan publik atau persoalan privat (keluarga dan sekolah)? Apakah pernah ada penelitian keberhasilan dari kebijakan publik serupa yang mencapai target untuk mendisiplinkan anak-anak di daerah lain?
Sebagai gambaran, terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan pemda NTT dalam menyusun dan menerapkan kebijakan publik masuk sekolah jam 5 pagi. Berikut adalah diagram policy making cycle (siklus penyusunan kebijakan) (Gambar 1) sebagaimana dijelaskan oleh Althaus, et.al (2018):