Mohon tunggu...
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menangkal Prahara Persatuan di Media Sosial

6 Desember 2016   09:37 Diperbarui: 6 Desember 2016   09:50 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Panasnya keadaan sosial, politik dan ekonomi negeri tidak bisa dipungkiri salah satunya sumbunya berasal dari media sosial. Realitas dunia di media sosial lebih panas dari kondisi ‘real’ dipermukaan. Bahkan, presiden kita Bapak Joko Widodo sampai perlu menyatakan keprihatinannya dalam mengamati perilaku warga negara kita dalam bermedia sosial.

Banyak orang saling mengumpat, menuduh sesat, memprovokasi, menyebarkan isu sentimen SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dan persekongkonglan kejahatan (konspirasi) di media sosial. Mengabaikan etika dalam berinternet (netiket). Mulai dari dugaan penistaan agama, makar, isu penarikan uang dalam jumlah besar secara masif (rush money), teror di rumah ibadah, isu mengulang tragedi 1998 membuat media sosial kita menjadi ramai dan berisik.

Konsekuensi hukum sebenarnya juga telah disiapkan atas persoalan ini. Sesuai dengan surat edaran Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) agar polisi lebih peka terhadap potensi konflik sosial. Dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga baru saja direvisi untuk mengoptimalkan aturan tersebut.

Kekuatiran ini sebenarnya bermula, saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama—yang akrab disapa Ahok--dituduh telah melakukan penistaan agama. Persoalan ini menemukan momentumnya. Meskipun sang  gubernur—yang juga salah satu calon yang akan berlaga dalam Pilkada Jakarta—telah menyampaikan permintaan maaf, tetapi rasanya nasi telah menjadi bubur. Momentum politik dari pemilihan kepala daerah ibukota negara yang menimpa sang gubernur, membuat masalah ini menjadi silang sengkarut.

Tidak bisa dipungkiri, isu penistaan agama ini telah menguras energi bangsa ini. Demokrasi kita kembali diuji. Persatuan nasional dianggap terancam. Pro dan kontra menanggapi aksi umat muslim di ibukota menunjukkan ekskalasi yang cukup berarti. Bahkan, pemerintah kita menganggap ada yang dengan sengaja memanfaatkan dan menunggangi aksi yang berbuntut dari kasus dugaan penistaan agama, yang diwaspadai berujung makar terhadap pemimpin kita terpilih secara konstitusional.

Keseluruhan rentetan peristiwa ini, tidak terlepas dari pengaruh dan perilaku masyarakat kita dalam bermedia sosial. Saling berkomentar dan berbagi informasi (status) rupanya membuat permasalahan diatas malah semakin runyam. Ada yang tidak sengaja berangkat dari ketidakpahaman dalam menyaring informasi sehingga memperkeruh masalah, dan ditengarai ada juga pihak yang sengaja ingin memanas-manasi situasi yang terjadi. Ibarat memancing di air yang keruh. Prahara persatuan di media sosial kita.

Realitas Dunia Baru

Berdasarkan data Global Web Index Survei turut menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang warganya tergila-gila dengan media sosial. Persentase aktivitas jejaring sosial Indonesia mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia, mengalahkan Filipina (78 persen), Malaysia (72 persen), China (67 persen). Bahkan negara Asia dengan teknologi Internet maju pemanfaatan media sosialnya rendah, contohnya Korea Selatan (49 persen) atau Jepang (30 persen).

Terlebih lagi, lembaga survei Brand24 bahkan menahbiskan Jakarta sebagai ibu kota media sosial di dunia. Di pelbagai jejaring sosial, jumlah aktivitas dari Jakarta per hari, rata-rata lebih besar dibandingkan negara lain.

Kesuksesan membangun demokrasi melalui Teknologi Informasi (TI, Technology Information) hari ini semakin menjadi-jadi. Perkembangan ICT (Information, Communication and Technology) adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Sudah menjadi kehendak jaman, bahwa perubahan adalah kekal.

Buktinya beberapa kasus yang pernah menggegerkan kita selama ini tidak terlepas dari sentuhan internet yaitu Kasus Koin Prita, Cicak dan Buaya, beberapa revolusi dibelahan dunia baru-baru ini yang menggunakan medsos sebagai ‘senjata’. Menariknya, demokrasi bertransformasi kedalam dunia IT. Siapa yang tidak peka terhadap perkembangan jaman ini, akan semakin tertinggalkan partisipasinya dalam dunia demokrasi.

Dunia media sosial memang menawarkan realitas dunia yang baru. Realitas virtual atau dunia maya ini memang diyakini dapat menyalurkan sisi dan aspirasi kita yang tidak terwakili di dunia nyata. Sehingga jangan heran, orang yang tipenya pendiam di dunia nyata, terkadang bisa berubah 180 derajat menjadi manusia yang sangat reaktif di media sosial.

Inilah menariknya media sosial. Bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa memberikan manfaat bagi kita dalam membangun tali silahturahmi dan memperkaya informasi. Di sisi lain, media sosial dapat menyemai bibit konflik, yang sadar atau tanpa disadari dapat memperrenggang atau merusakan kerukunan yang telah terjaga selama ini.

Gelombang arus informasi dari era internet hari ini memang memaksa kita agar semakin cerdas dalam memanfaatkannnya. Perlu keterampilan dalam menyaring dan memilah informasi yang dapat membangun tatanan peradaban kita yang lebih baik.

Don Tapscott (2008), seorang pemerhati perkembangan dunia digital, dalam buku Grown Up Digital, menunjukkan perbedaan mendasar di antara tiga generasi, Baby Boomers (lahir 1946-1964), Generasi X (1965-1976), dan Generasi Internet (Gen Net) yang lahir sesudah mereka. Gen Net memakai teknologi hampir secara naluriah. Tatkala Baby Boomers dan Gen X berusaha mencari keseimbangan antara bekerja di kantor dan kehidupan keluarga, Gen Net memadukan bekerja, bermain, berinteraksi sosial, dan hidup di rumah jadi satu.

Generasi ini berpaling kepada Internet secara instinktif untuk berkomunikasi—lebih suka membuka media sosial ketimbang menelpon, untuk belajar, mencari sesuatu, dan melakukan banyak hal. Bagi mereka, teknologi itu tidak ubahnya udara. Mereka tidak mampu membayangkan hidup tanpa teknologi. Gen Net tumbuh dan menjadi hidup bersama semua itu, di sebuah dunia yang serba-cepat dan interaktif.

Cerdas Ber-Medsos

Seorang Filsuf besar dari Yunani Kuno yaitu Socrates pernah mengutarakan kebijaksanaannya. Socrates selalu menggunakan “Tes Filter Rangkap Tiga” dalam menyampaikan atau menyebar-luaskan informasi. Patut untuk selalu menimbang kebenaran, kebaikan dan manfaat atau kegunaannya.

Apabila dalam ketiga hal ini, kita berpikir belum menyakini kebenaran yang kita peroleh. Tidak menyakini kebaikan yang akan kita sampaikan khususnya kepada orang yang akan mendaparkan informasi dari kita. Dan, kegunaanya lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya. Solusi bijaknya, lebih baik tidak menyampaikan atau meneruskan (share) informasi tersebut.

Kebijaksanaan dari cerita Socrates ini mengantarkan kita untuk selalu sensitif, cermat dan bijaksana dalam bermedia sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Apapun informasi yang memancing rasa permusuhan, konflik, merusakan kerukunan yang telah kita jaga berabad-abad dan yang mengancam persatuan kita sebagai bangsa harus kita lawan.

Sekedar berbagi kiat cerdas dalam bermedsos, khususnya dalam upaya kita mengklarifikasi informasi: Pertama, pastikan informasi dari sumber yang terpercaya. Jangan sampai blog maupun portal online yang tidak kredibel menghuni medsos kita, apalagi yang isinya mengandung ujaran kebencian atau informasi yang tidak benar alias hoax.

Teliti dan cermati alamat sumber informasi, dianjurkan untuk menggunakan sumber informasi yang terpercaya misalnya kompas.com, detik.com, tempo.co, dan lain sebagainya. Sumber informasi yang kredibel ini biasanya telah melalui serangkaian klarifikasi berita dan sumber informasi.

Kedua, silahkan klarifikasi kembali informasi melalui sumber yang lain. Pastikan informasi yang anda terima, terrekam juga di media kredibel yang lain sehingga menguatkan informasi yang anda punya. Lebih baik anda telat berbagi informasi, daripada informasi yang anda terima dapat membuat kegaduhan dan mengancam posisi anda dihadapan hukum nantinya.

Ketiga, pikirkan kemanfaatan informasi yang akan kita sebarkan. Apakah lebih banyak mudarat atau manfaatnya? Dengan begitu, kita bisa menjadi warga negara yang bertanggungjawab serta menjadi pengguna media sosial yang cerdas.

Lebih baik, kita menahan diri (diam) daripada pernyataan dan informasi kita akibatnya memperkeruh suasana. Pengendalian diri menjadi penting ditengah-tengah ketidakpastian situasi sekarang ini. Mari cerdas bermedsos dalam menjaga persatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun