Saya berikan dua ilustrasi agar mudah dipahami. Ilustrasi pertama, Sebuah PTN di Bali akan mendirikan sebuah Prodi baru, katakanlah Prodi Bisnis Digital. Di dalam Prodi baru itu akan ada berbagai macam mata kuliah pokok di bidang bisnis digital dan mata kuliah umum, termasuk mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Lalu, apakah PTN tersebut harus merekrut semua dosen baru dengan berlatar belakang keilmuan bisnis digital?
Jika bertolak dari Surat Edaran Ditjen Dikti tersebut, tentu tidak harus seperti itu. Bisa saja PTN tersebut merekrut dosen baru, baik dari bidang keilmuan terakhir (S-2 atau S-3) bisnis digital maupun Ilmu Filsafat. Tidak perlu juga para calon dosen yang akan direkrut itu harus memiliki bidang keilmuan yang sama dari S-1 dan S-2 (jika pendidikan terakhir calon dosen itu S-2) atau S-1, S-2, dan S-3-nya (jika pendidikan terakhir calon dosen itu S-3).
Dari Surat Edaran Ditjen Dikti tersebut, penulis menganggap bahwa prinsip kedua itu masuk akal. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, surat edaran itu justru memberikan kemudahan bagi perguruan tinggi dalam pendirian prodi baru. Sebab, dengan terbatasnya jumlah sumber daya manusia Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi Tingkat S-2 dan S-3, memaksakan kesamaan pendidikan terakhir calon dosen yang hendak direkrut di prodi baru yang hendak didirikan bukan perkara mudah.
Ilustrasi kedua untuk perekrutan dosen baru di Prodi yang sudah berjalan. Sebuah PTS di Jakarta memiliki Prodi Sastra Indonesia. Apakah Prodi itu boleh merekrut dosen dari latar belakang bidang keilmuan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia?
Jika diperhitungkan berdasarkan boleh atau tidak boleh, tentu boleh-boleh saja. Hanya saja ada catatan khusus yang harus diperhatikan. Pertama, kedua bidang keilmuan tersebut, meski memiliki kemiripan dalam hal penamaan, tetapi pada hakikatnya memiliki perbedaan rumpun keilmuan yang sangat tajam.
Bidang ilmu Sastra Indonesia berada di ranah Rumpun Ilmu humaniora (bersama-sama dengan Ilmu Filsafat, Ilmu linguistik, Ilmu Sejarah, dan lain-lain), sedangkan bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia berada di Rumpun Ilmu Terapan (bersama-sama dengan Arsitektur, Bisnis Digital, Manajemen Retail, Desain Komunikasi Visual, dan lain-lain).
Perbedaan kedua rumpun ilmu itu membawa konsekuensi logis bahwa dosen dengan latar belakang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tidak akan bisa meraih jabatan fungsional guru besarnya di Prodi Sastra Indonesia mengingat Prodi tersebut tidak dimaksudkan untuk menghasilkan sarjana di bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Artinya, untuk menjaga kekhasan bidang ilmu Sastra Indonesia, pembukaan mata kuliah baru di bidang ilmu Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia akan berkontradiksi dengan hakikat dasar keilmuan didirikannya Prodi Sastra Indonesia.
Penulisan tugas akhir pun (skripsi) menjadi tidak masuk akal jika diarahkan pada konsentrasi Pengajaran Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Sebab, Prodi tersebut berada di bidang Ilmu Sastra Indonesia di bawah rumpun ilmu humaniora, bukan rumpun ilmu terapan.
Pembukaan mata kuliah dan konsentrasi tugas akhir di bidang keilmuan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia hanya akan merugikan mahasiswa dan berimplikasi pada konflik kepentingan secara etis dengan Prodi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, baik yang berada di dalam internal perguruan tinggi itu sendiri maupun di perguruan tinggi lain yang memiliki Prodi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia (SK Ditjen Ristekdikti Nomor 163/E/KPT/2022 Tentang Nama Program Studi Pada Jenis Pendidikan Akademik Dan Pendidikan Profesi)
Untuk mempertegas ilustrasi kedua, saya akan memberikan ilustrasi ketiga agar terasa kekontrasan perbedaan antara Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Rumpun Ilmu Terapan) dan Prodi Sastra Indonesia (Rumpun Ilmu Humaniora).