Mohon tunggu...
Riko
Riko Mohon Tunggu... Dosen - A musician who is also love teaching philosophy

Lektor Ilmu Filsafat, Prodi Teknik Informatika, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fisikalisme Kesadaran di Ranah Filsafat Akal Budi

28 Juli 2023   18:31 Diperbarui: 28 Juli 2023   22:18 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat digigit nyamuk, kulit kita biasanya akan merasakan gatal. Saat minum kopi, lidah kita bisa merasakan sensasi nikmatnya kopi. Kedua keadaan itu, dalam tradisi filsafat atau sains, biasanya diidentikkan dengan beroperasinya kesadaran pada diri manusia. Manusia yang sedang dalam kondisi sadar lah yang bisa merasakan sensasi itu. Kesadaran, dalam batas-batas tertentu, memegang peranan penting bagi eksistensi manusia.

Konsep tentang kesadaran mulai diperbincangkan secara serius setidaknya sejak era awal Modern. Filsuf Prancis Rene Descartes meramu secara sistematis bahwa manusia secara substantif terdiri dari dua bagian pokok, yakni akal budi  (mind) dan tubuh (body). Akal budi bersifat nonmaterial, sedangkan tubuh bersifat material.

Namun, sudah sejak awal pemikiran Descartes ini mendapatkan tentangan. Putri Elizabeth dari Bohemia mempertanyakan bagaimana akal budi yang nonmaterial itu bisa menggerakkan materi. Sebab, akal budi tidak menempati ruang sama sekali. Descartes menimpali bahwa ada salah satu bagian di otak manusia yang menjadi penghubung antara akal budi dan otak, yaitu Pineal Gland.

Perjalanan tentang nasib akal budi hingga hari ini memang belum jelas benar. Bahkan, hingga hari ini ketika para filsuf lebih mengerucutkan fokus dari akal budi ke kesadaran pun, misteri tentang akal budi dan kesadaran belum terpecahkan. Artikel ini bertujuan untuk memberikan ringkasan sejarah tentang ide Fisikalisme Kesadaran dalam bidang Filsafat Akal Budi. Dengan begitu, artikel ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan untuk penelitian filsafat tentang kesadaran secara umum.

Perjalanan ide tentang Kesadaran di Era Modern

Ryle dan kaum Behaviorisme meyakini bahwa akal budi manusia mewujud pada tingkah laku. Mereka tidak mempercayai keberadaan akal budi yang bersifat nonmaterial. Kelompok Teori Indentitas seperti Place, Smart, dan lain-lain berusaha memberikan ruang bagi keberadaan mental dalam kerangka fisikalistik. Putnam, Armstrong, Lewis, Fodor, dan kaum Fungsionalisme menekankan pada fungsi dari akal budi yang bisa terkandung pada apa pun di muka bumi. Kesadaran, yang semula bersifat nonmaterial, mulai ditinggalkan berkat penjelasan yang bersifat materialistik (namun lebih lazim menggunakan istilah "fisikalistik") ini

Keseluruhan ide tentang kesadaran ini, pada awalnya cukup memuaskan dahaga akan teori tentang kesadaran. Setidaknya, kesadaran yang semula sulit untuk dipahami jika bersifat nonmaterialistik, mulai menemukan kejelasan karena kompatibel dengan tubuh manusia yang bersifat material atau fisikal. Penjelasan jika kesadaran bersifat fisikal menjadi masuk akal karena sesama entitas fisik akan dapat saling menggerakkan satu sama lain.

Belakangan, teori di atas mendapatkan gugatan dari filsuf Australia David Chalmers. Bagi Chalmers, teori-teori tentang kesadaran di atas tidak menyentuh ke jantung masalah tentang kesadaran. Apa yang telah dijabarkan kelompok Fisikalisme di atas sekadar mereduksi tentang kesadaran. Kesadaran sekadar diandaikan seolah-olah mewujud (tereduksi) kepada bentuk lain. Apa yang disebut dengan kesadaran itu sendiri bahkan tidak terdefinisikan dengan jernih terlebih dahulu.

Easy Problem of Consciousness vs Hard Problem of Consciousness

Apa yang telah dikemukakan oleh kaum Fisikalisme awal (Behaviorisme, Teori Identitas,  dan Fungsionalisme), bagi Chalmers, termasuk ke dalam easy problem of consciousness (problem permukaan tentang kesadaran) (Chalmers, 1995). Teori-teori di atas disebut problem permukaan tentang kesadaran karena sekadar berkutat pada penjelasan kemampuan dan fungsi kognitif belaka dari kesadaran. Fungsi kognitif dapat dengan mudah dijelaskan, yakni dengan cara memerincikan mekanisme yang dapat menjalankan fungsi tersebut. Metode-metode di dalam ilmu kognitif (atau, secara umum, ilmu pengetahuan) dapat dengan mudah menjelaskan fenomena tersebut.

Sementara itu, problem mendalam tentang kesadaran (hard problem of consciousness) adalah masalah yang belum terpecahkan. Chalmers (1995) mengatakan bahwa problem mendalam tentang kesadaran berada di area ini: jika kesadaran telah diterima secara luas sebagai entitas yang fisikal, apa penjelasan (bagaimana dan kenapa) yang bisa diberikan ketika kesadaran bisa muncul dari entitas fisik ke pengalaman subjektif manusia, misalnya berupa gambaran visual atau audio di benak manusia (manusia bisa menghadapi objek yang sama, tapi apa yang dialami oleh masing-masing orang atau individu bisa sama, serupa, atau malah berbeda sama sekali)?

Problem mendalam tentang kesadaran ini diajukan oleh Chalmers dalam bingkai melengkapi khazanah ilmu kognitif (Cognitive Science). Pertanyaan sederhana bisa diajukan untuk memudahkan pemahaman kenapa problem ini perlu diajukan: Bagaimana kita bisa tahu bahwa problem permukaan tentang kesadaran benar-benar merupakan wujud dari kesadaran jika kesadaran sebagai sebuah entitas di dalam dirinya sendiri belum terjelaskan secara pasti?

Dengan meminjam ide tentang informasi dari Shannon, Chalmers berspekulasi secara filosofis bahwa jangan-jangan kesadaran itu seperti informasi (1995). Chalmers mengajukan hipotesis bahwa informasi memiliki aspek fisik dan fenomena. Chalmers mengandaikan bahwa apa yang terjadi pada kesadaran memiliki kemiripan (prinsip isomorfis) dengan apa yang terjadi pada informasi. Dengan begitu, Chalmers berharap dapat mempertahankan konsistensinya bahwa kesadaran bertolak dari entitas fisik.

Chalmers dan Penentang Utamanya

Upaya Chalmers untuk menemukan misteri di problem mendalam tentang kesadaran mendapat respon dari beberapa filsuf. Salah satu penentang utama datang dari Filsuf Amerika Daniel Dennett. Bagi Dennett, Chalmers keliru dalam mengonstruksi konsep dan teori kesadaran, dan, oleh sebab itu, upaya mencari ontologi kesadaran tidak terlalu relevan (Dennett, 2012).

Chalmers menjawab kritik Dennett bahwa mestinya kita fokus pada pertanyaan kenapa kesadaran berfungsi hanya jika pengalaman kesadaran juga terjadi. Sebab, jika pandangan Dennett bisa diterima, maka kita juga harus menerima ketika manusia disamakan dengan makhluk fiksi Zombi.

Kritik juga datang dari Searle. Searle (1995) berpendapat bahwa termostat yang memunyai kesadaran tidak dapat menjelaskan kesadaran yang saling terkombinasi secara internal di dalamnya. Searle juga menunjukkan bahwa argumen zombi tidak dapat digunakan untuk membuktikan bahwa kesadaran adalah fitur nonfisik, karena sulit dipahami bahwa kesadaran dapat diandaikan sebagai fitur baru yang melekat pada dunia fisik.

Penutup

Kesadaran, memegang peranan penting di dalam kehidupan manusia. Descartes telah memulai diskusi tentang kesadaran dengan membuat pembedaan antara akal budi (Mind) dan tubuh (body). Sesudahnya, banyak tentangan pemikiran Descartes tentang pembedaan antara akal budi dan tubuh ini. Salah satu aliran yang mengupas tentang kesadaran berasal dari kaum Fisikalisme. Hingga hari ini, fisikalisme kesadaran masih dominan di dalam diskusi tentang kesadaran di dalam ranah Filsafat Akal Budi.

Referensi

Chalmers, D. J. (1995). Facing up to the problem of consciousness. Journal of Consciousness Studies, 2(3), 200--219. https://doi.org/10.53765/20512201.29.11.008

Dennett, D. (2012). The Mystery of David Chalmers. Journal of Consciousness Studies, 19(1--2), 86--95. 

Searle, J. R. (1995, November 2). The Mystery of Consciousness. The New York Review.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun