Sejarah dibangun para pemenang"--Anonim-
Begitulah kutipan jamak yang sering terdengar. Pemenanglah yang membangun sejarah. Mengkonstruksikan dan menyebarluaskannya. Tetapi sejarah punya jalannya sendiri. Menggaungkan suaranya dalam kesenyapan.
Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sangatlah tepat. Keppres ini menjadi produk yang menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan negara, dengan merujuk pada sejarah Serangan Umum 1 Maret di Jogjakarta.
Tentu saja Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini memiliki peran strategis. Khususnya di tengah lajunya teknologi informasi yang secara nyata mampu mengaburkan makna kedaulatan suatu negara. Sehingga Keppres ini menjadi tepat hadir dalam situasi sekarang.
Semangat itulah yang memang perlu diupayakan negara. Menghadirkan nilai-nilai kejuangan dalam sendi kehidupan bangsanya. Agar generasi muda negeri bisa secara nyata mengawal makna kedaulatan.
Sayangnya Keppres yang hadir dengan latar belakang sejarah justru menimbulkan kontroversi. Dengan hilangnya sosok penting dalam praktik menjaga kedaulatan negara, yakni Letkol Soeharto. Pantaskah sebuah produk kebijakan negara melakukan pembelokan sejarah?
Kepres dan Kepentingan Politik
Sebagai produk eksekutif, tidaklah dapat dinegasikan bahwa Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara sebagai suatu produk hukum negara. Dimana hukum merupakan produk politik yang tentunya diwarnai pertimbangan kekuatan politik yang melahirkannya.
Dari pandangan itu cukup menjadi jelas bahwa Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara tidak serta merta memiliki muatan pengaturan atau pengakuan semata. Tetapi juga memuat motif politik penguasa yang hendak mengkonstruksikan sesuatu nilai yang sejalan dengan kepentingannya.
Argumentasi ini menjadi sangat relevan melihat kejanggalan Keppres No.2 Tahun 2022. Dimana Presiden secara terang benderang membangun alur sejarah yang tidak sejalan dengan kenyataannya. Sebuah kisah sejarah bangsa untuk memahami Serangan Umum 1 Maret di Jogyakarta direkonstruksi dengan kepentingan penguasa.
Tentu saja Keppres yang memiliki tujuan mulia, menjadi hambar rasanya. Lantaran motif politik penguasa yang menghilangkan alur sejarah. Rasanya pun terasa janggal memuat alur sejarah dengan menyebutkan nama tokoh dalam bab menimbang.
Bukankah bab menimbang itu lebih memperlihatkan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis, yang tujuannya memahami perlunya suatu produk hukum itu dilahirkan.
Dampaknya tidaklah sederhana dimasa depan. Sebagai produk hukum Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini bakal menjadi sumber referensi ilmu pengetahuan. Dengan demikian secara sistimatis penguasa telah mengaburkan fakta yang akan digunakan ilmu pengetahuan.
Jika ini dibiarkan, maka pembohongan sejarah terjadi. Generasi bangsa diberikan informasi palsu tentang sejarah Serangan Umum 1 Maret. Inilah yang dimaksud sejarah dibuat para pemenang.
*Riko Noviantoro, peneliti kebijakan publik IDP-LP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H