Brutalitas bisa jadi istilah tepat untuk menggambarkan merosotnya etika pelajar di masa pandemi Covid-19 ini. Perilaku pelajar yang nyaris tidak ada lagi kontrol kuat sebagaimana layaknya seorang pelajar. Dengan melihat dari lunturnya kedisplinan pelajar, hilangnya ketaatan pada aturan dan rendahnya tata tertib belajar. Singkat cerita pelajar mulai kehilang adab.
Bisa saja kutipan kata brutalitas itu terasa berlebihan. Seakan menegasikan peran guru yang telah jungkir balik mengendalikan pembelajaran virtual. Bahkan bisa juga terkesan menuding pemeritnah mengabaikan tujuan pendidikan sebagaimana amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Apapun itu faktanya memang tidak bisa dipungkiri, bahwa kedisiplinan pelajar merosot, ketaatan pada aturan belajar menghilang, tutur kata yang kurang pantas hingga pelajar senang mengelabui. Rentetan fakta yang senafas dengan kata brutalitas.
Pilihan kata brutalitas juga digunakan mantan ketua KPK, Bambang Wijayanto saat menjadi pembela kubu AHY dalam sengketa kepemimpinan Partai Demokrat. Dengan alasan kekesalannya melihat perilaku yang tanpa adab terjadi pada kader-kader Partai Demokrat. Secara sewenang-wenang dalam pandangannya mengangkangi proses demokrasi pemilihan ketua umum partai.
Kebobrokan yang Sistimatis dan Masif
Pembelajaran virtual telah berjalan setahun. Mulai pelajar TK, sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi memanfaatkan teknologi virtual untuk proses belajar-mengajar. Pastinya perubahan luar biasa tak terelakan terjadi. Bagi bagi kalangan guru-dosen hingga pelajar dan mahasiswa. Tak terkecuali orang tua.
Banyak catatan selama pembelajaran daring bisa kita petik. Sebagai bahan evaluasi bersama untuk kebaikan dikemudian hari. Â Agar memudahkan memahami kondisi pembelajaran virtual coba dibagi dalam tiga fase berdasarkan tantangannya.
Pertama; fase adaptasi. Dimana semua ekosistem pembelajaran perlu penyesuaian. Mulai dari materi pembelajaran, tata cara pembelajaran, partisipasi pelajar dan mahasiswa hingga pengukuran capaian. Semua mengalami adaptasi.
Pada tahap ini terasa gagapnya semua pihak, karena hambatan eksternal dan internal. Baik infrasturktur yang belum memadai maupun literasi teknologi yang masih rendah. Akibatnya berbagai keluhan dan kritikan pun datang bagai hujan di bulan November. Deras dan tanpa henti.
Kedua; fase penerimaan. Dimana semua ekosistem pembelajaran dipaksa menerima berbagai hambatan yang terjadi selama pembelajaran dari. Mencoba memahami hambatan yang terjadi pada setiap subyek proses pembelajaran.
Tercatat banyak siswa yang belum memiliki fasilitas belajar daring. Baik itu telepon pintar atau pun komputer jinjing. Begitu juga gurunya yang kesulitan memanfaatkan telepon pintar maupun komputer jinjing, termasuk pula membuat materi pembelajaran yang sesuai dengan teknologi digital. Kondisi tersebut 'memaksa' siapapun membuka ruang toleransi atas keterhambatan masing-masing.
Ketiga, fase kebiasaan. Dengan proses adaptasi yang tertatih-tatih serta penerimaan atas berbagai keterhambatan masing-masing, ternyata membentuk kebiasaan yang lebih banyak buruknya. Karena proses reward-punisment sebagai instrument menjaga ketertiban, keteraturan dan kesepakatan bersama perlahan pun pudar.
Dampaknya pun terlihat jelas dan terang benderang. Tidak sedikit guru yang datang telat untuk mengajar dan malas memberikan materi-materi terbaiknya. Bahkan guru pun tidak sedikit yang sengaja tidak tertib berpakaian. Hanya karena tidak terlihat secara nyata.
Hal demikian pula terjadi pada peserta didiknya. Sengaja berleha-leha untuk masuk pembelajaran daring. Tidak ada persiapan materi bahkan memilih acuh dengan proses belajar. Teguran-teguran melalui pesan langsung terkesan dingin dan tanpa power. Dimana semua itu kian buruk dengan reward dan punishment yang tidak berjalan. Singkat cerita ini kebobrokan sistimatis dan massif.
Hentikan Kebobrokan Sistmatis dan Masif
Dari semua itu rasanya tidak ada pilihan kecuali menghentikan semua yang terjadi. Dengan menghentikan proses belajar daring. Atau memang perbaiki saja system belaja daring yang sudah berjalan selama ini.
Tak pantas pula diabaikan belajar daring memiliki manfaat yang luas, antara lain mampu wujudkan pemerataan pendidikan yang menjadi amanat UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekaligus mampu wujudkan biaya murah untuk mendapatkan pendidikan.
Dengan demikian tidak pula sepatutnya mencemooh pendidikan daring. Asalkan pemeritnah mampu membuat instrument yang ketat dalam prosesnya. Agar tujuan pendidikan yang diharapkan bisa tercapai. Setidaknya mampu menjaga kedisplinan, ketertiban bagi murid dan guru. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H