Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi Hybrid Solusi di Saat Covid

31 Januari 2021   22:40 Diperbarui: 31 Januari 2021   22:55 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 memiliki daya rusak luar biasa. Hampir setahun virus asal Cina ini membuat seluruh isi bumi tidak berkutik. Memaksa interaksi sosial berubah cepat. Dengan mengembangkan interaksi berbasis digital. Sebagai cara mencegah penyebaran virus.

Interaksi berbasis digital itu pun merembet pada berbagai sendi kegiatan manusia lainnya. Dimana kegiatan tatap muka dan pelayanan langsung di kantor-kantor wajib dihindari, berubah menjadi kegiatan secara digital dan pelayanan digital. Tak terkecuali pelayanan publik pemerintahan.

Perubahan pola kerja tersebut diperkuat dengan berlakunya pembatasan kegiatan yang diterbikan pemerintah. Secara paksa mengubah bekerja dari kantor, menjadi bekerja dari rumah. Harapannya tingkat penyebaran virus Covid-19 dapat berkurang secara signifikan.

Nyatanya perubahan tersebut menimbulkan persoalan pada pelayanan publik. Khususnya pelayanan publik sektor administrasi yang mengalami keterhambatan serius. Mulai persoalan teknis sederhana, seperti nomor surat, penyiapan berkas, cetak dokumen, perizinan dan sebagainya.

Pada sisi lain, penerapan bekerja dari rumah juga belum dikuasai aparatur sipil negara (ASN). Baik dengan alasan minimnya ketersediaa alat pendukung kerja seperti laptop, jaringan internet yang tidak tersedia di rumah sampai pada proses pengambilan keputusan yang lambat.

Birokrasi Daring, Birokrasi Luring dan 24 Jam

Rentetan kenyataan tersebut dibenarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). Tidak terkecuali pula Kementerian Dalam Negeri serta instansi pemerintah lainnya.

Setidaknya dapat terlihat pada data Kemen PAN-RB yang mencatat sejak Maret hingga Juni 2020 terdapat 23.466 pengaduan masyarakat. Pengaduan tersebut berkaitan dengan pelayanan public di masa Covid-19, antara lain pengaduan bantuan sosial, pengaduan ekonomi masyarakat, dan pengaduan penerapan physical distancing.

Merosotnya kinerja juga diaminkan lembaga Ombudsman. Bahkan mencatat pelayanan public mengalami "mati" selama pandemi ini. Akibatnya penerima layanan terpaksa mengalah dengan dalih sedang terjadi wabah. Di sisi lain publik resah, sebab urusan pelayanan publik tidak ada solusi lain. Bahkan terasa makin rumit saat pandemi.

Padahal melalui Surat Edaran Menteri PANRB No. 58/2020 tentang Sistem Kerja ASN dalam Tatanan Normal Baru serta himbauan penyederhanaan proses bisnis dan Standar Operasional Prosedur (SOP) telah diamanrkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan sebelumnya pun terdapat regulasi yang menunjang proses teresebut yaitu; Inpres No.3/2003 tentang E-Government dan Prepres No. 95/2016 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

Sejumlah paket kebijakan tersebut sudah cukup menjadi bahan baku meramu obat mujarab perbaikan pelayanan public dimasa covid. Dengan melakukan lompatan pelayanan melalui penerapan birokrasi hybrid.

Birokrasi hybrid bisa jadi terminology baru dalam model pelayanan. Meski sejatinya secara empiris sudah dilakukan pemerintah dengan menerapkan WFH -- WFO. Serta melakukan pergeseran layanan berbasis digital. Hanya saja perlu diperkuat dengan waktu layanan menjadi 24 jam pada semua layanan public sektor administrasi.

Pertimbangannya sederhana. Kondisi covid-19 memaksa pelayanan apapun dibatasi dan beralih pada digital. Sedangkan pelayanan digital tidak selalu memenuhi harapan. Karena berbagai hambatan dari pelayanan digital. Selain itu penerima layanan juga masih merasa nyaman dengan pelayanan tatap muka. Padahal layanan tatap muka terbatas jam pelayanannya dengan office hour.

Dengan demikian harapan penerima layanan pun tidak tercapai. Maka keluhan pun meningkat. Dampaknya kenyamanan masyarakat menurun. Kesejahteraan masyarakat pun merosot. Dimana bisa teratasi dengan penerapan birokrasi hybrid.

Birokrasi hybrid memberikan manfaat bagi dua pihak. Bagi penerima layanan tetap dapat mengakses layanan secara digital ditahap awal, kemudian pelayanan tatap muka pada pusat layanan yang terjadwal untuk verifikasi dan validasi. Cegah penumpukan penerima layanan di kantor layanan. Selanjutnya jam pelayanan kantor yang lebih fleksibel atau 24 jam. Agar penerima layanan bisa mengatur kebutuhan waktu sesuai kondisi dan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Sedangkan bagi pemerintah, penerapan birokrasi hybrid menjadikan pelayanan publik tetap berjalan normal. Tidak terhambat kondisi covid-19. Kinerja ASN pun bisa terukur dan terjaga baik. Sekaligus wujud serius pemerintah memberikan pelayanan public sector administrasi.

Dari sisi praktek pun sudah banyak contohnya. Bentuk layanan 24 jam terbukti tidak ada hambatan. Sebagai contoh layanan rumah sakit, kantor polisi, kantor pemadam kebakaran, kantor PLN dan lainnya.

Hanya saja memang pelayanan public sector administrasi perlu modifikasi penerapannya. Terutama pada pelayanan administrasi public, seperti kantor kelurahan, kantor kecamatan, kantor Samsat, kantor Pajak, kantor perizinan sampai kantor walikota yang bisa bekerja 24 jam.

Kata kunci dari semua itu adalah pelayanan public yang optimal mampu mendorong pertumbuhan di tengah kebuntuan ekonomi di masa Covid. Bahkan layanan public yang baik dapat menumbuhkan kesetimbangan sosial, keamanan dan partisipasi yang lebih aktif. Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat pun terpenuhi.

Pertanyaannya adalah punya keberanian kah pengambil kebijakan mendorong model birokrasi hybrid? Dengan membuka layanan online dan offline secara bersamaan sekaligus layanan 24 jam sector administrasi yang tetap mematuhi protokol kesehatan. Semoga.

Peneliti Kebijakan Publik

Institut for Development of Policy and Local Partnership (IDPLP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun