Di era komunikasi virtual ini kesantunan dalam aspek bahasa menjadi penting. Kesantunan dalam aspek bahasa menurut ahli dapat dilihat pada pilihan kata, nada, intonasi , dan struktur kalimatnya. Semuanya berkait erat dengan ekspresi, sikap , dan gerak-gerik tubuh lainnya.
Tentu saja kesantunan harus mengorbankan egoisme, dan keinginan untuk menonjolkan diri sendiri. Hal ini yang memang sulit dihindari. Karena teknologi informasi secara alamiah menumbuhkan hasrat menonjolkan diri sendiri. Hingga hilang sikap rendah hati dan menghormati orang lain.
Pakar bahasa George Yule (2006) menjelaskan kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati sebagai perilaku sosial. Dari makna ini memberi pesan bahwa kesantunan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berlaku universal. Karena setiap individu dibelahan negara mana pun sesungguhnya tidak ingin direndahkan, dilecehkan atau diacuhkan.
Mengkaitkan pada data SAFEnet dapatlah digambarkan meningkatnya laporan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sebagai bukti hilangnya makna kesantunan sebagaimana George Yule definisikan. Atau lebih tajam lagi, peningkatan laporan itu disebabkan kesantunan bahasa yang hilang pada penggunaan media sosial. Bahkan terkesan kesantunan sebagai kesepakatan sosial untuk tidak merendahkan dan melecehkan orang lain secara sadar dilanggar.
Padahal, Pranowo (2009) memberikan sedikit rumusan kesantunan bertutur baik lisan maupun tulisan yang bisa menjadi sandaran, yaitu; kebiasaan menggunakan kata 'tolong' untuk meminta bantuan, kebiasaan penggunaan kata 'maaf' untuk hal yang kiranya menyinggung, kebiasaan menggunakan kata 'terima kasih' untuk hal yang memuji, kebiasaan penggunaan kata 'berkenan' untuk meminta kesediaan orang lain melakukan, serta kata lainnya.
Kata-kata seperti itu, terasa mulai jarang digunakan. Penutur virtual lebih memiliki kata-kata yang tajam. Dengan dalih rasionalitas. Namun dampaknya sering kehilangan pesan yang diharapkan. Bahkan tidak jarang justru melukai hati penerima pesan. Ujungnya melahirkan gugatan. Selanjutnya hilanglah keharmonisan
Berbahasa Jiwa Bangsa
Pepatah lama ini benar adanya. Santunnya berbahasa menjadi cermin jiwa bangsanya. Rasanya mejadi lebih prihatin menyandingkan pepatah itu dengan meningkatnya kasus pelaporan di era komunikasi virtual. Kian terasa tiada lagi pandai kita berbahasa, seakan menjadi keringlah jiwa bangsanya.
Padahal bangsa ini lahir dari keluhuran bahasanya. Lihat saja jumlah bahasa aslinya yang mencapai ratusan bahasa. Dimana setiap bahasa itu mencerminkan keagungan nilai sosial suku bangsanya. Baik dari wilayah Indonesia timur sampai Indonesia barat. Pastinya tiada nilai sosial dari suku bangsanya yang membiarkan sikap merendahkan orang lain.
Dari sini saja semakin kentara kesantunan menjadi penting. Kesantunan menjadi keseharian yang hidup dalam jiwa-jiwa kita. Dimana kesantunan tersebut sejatinya tumbuh dalam instrument pendidikan formal dan non formal. Meski nyatanya kerap terabaikan sebagiamana kutipan puisi Sajak Anak Muda karya WS Rendra. Semoga kesantunan ini kembali hadir untuk merawat keharmonisan.
Penulis adalah peneliti kebijakan publik pada IDPLP