Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merawat Kesantunan di Era Komunikasi Virtual

5 November 2020   14:07 Diperbarui: 6 November 2020   05:09 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjaga kesantunan dalam berkomunikasi virtual butuh keterampilan tambahan | Foto oleh Magnus Mueller dari Pexels

"Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa" 
(WS. Rendra)

Penggalan puisi 'Sajak Anak Muda' karya maestro seni Willibrordus Surendra Broto Rendra ini tajam menusuk sanubari. Puisi bernada sindiran tentang pendidikan yang tidak menghasilkan apapun. Pendidikan yang tidak lebih sebagai alat pencipta manusia mesin. Karena pendidikan dinilai sebagai bagian dari pelengkap kebutuhan proses industri.

Lebih jauh dalam puisi itu WS Rendra menyesali pola pendidikan negeri yang terseret dalam arus barat. Seakan pola pendidikan negeri gagal menemukan jejak dirinya sendiri. Agar mampu melahirkan manusia-manusia yang sesuai dengan karakter negerinya sendiri. Bukan karakter negeri orang lain.

Tidak salah jika penggalan puisi di atas menjadi potret melihat kondisi sekarang. Dimana komunikasi virtual yang tumbuh sebagai identitas kemajuan teknologi informasi, justru menjadi persoalan baru. Hal itu tampak pada meningkatnya kasus-kasus yang bersentuhan dengan komunikasi virtual tersebut.

Komunikasi virtual dalam berbagai literature merujuk pada model komunikasi dunia maya yang menggunakan sarana teknologi informasi. Baik itu platform media sosial maupun non media sosial yang saat ini tengah menjamur digunakan.

Sejalan dengan itu mari menelisik laporan polisi tentang jumlah kasus yang terkait komunukasi virtual. Berdasarkan laporan lembaga SAFEnet mencatat sejak disahkan pada 2008 hingga 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait Undang-undang ITE ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah di Indonesia, yaitu 110 tersangka.

Kasus yang dilaporkan tidak jauh dari dua pasal yang memang kontroversial. Pertama pasal pencemaran nama baik dan kedua, pasal ujaran kebencian. Keduanya menjadi pasal dalam UU ITE yang paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan.

Data SAFEnet itu pun lebih detil menyebutkan pihak yang sering melaporkan, yaitu 38 persen pelapor adalah pejabat publik, termasuk di dalamnya kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan. Kemudian disusul pelapor awam 29 persen, kalangan profesi 27 persen dan kalangan pengusaha 5 persen.

Deretan data tersebut membuat gusar hati. Kutipan puisi WS Rendra di awal tulisan ini kian mendekati kebenaran. Bahwa kita tak mampu lagi melihat pribadi orang. Karena tidak lagi diajarkan ilmu jiwa.

Tergerusnya Kesantunan, Hilangnya Keharmonisan
Dari data SAFEnet itu menjadi cukup terang keharmonisan yang dulu terjaga, perlahan runtuh. Keharmonisan yang lahir dari nilai-nilai kesantunan itu kian terabaikan. Terganti pada kata-kata emosional yang dibungkus narasi rasionalitas.

Kesantunan merupakan kehalusan. Baik halus budi bahasanya, halus tingkah lakunya. Karena kesantunan menjadi cara mendekatkan jarak sosial antara penutur dan pendengarnya. Dari kedekatan itu lah keharmonisan terbangun.

Di era komunikasi virtual ini kesantunan dalam aspek bahasa menjadi penting. Kesantunan dalam aspek bahasa menurut ahli dapat dilihat pada pilihan kata, nada, intonasi , dan struktur kalimatnya. Semuanya berkait erat dengan ekspresi, sikap , dan gerak-gerik tubuh lainnya.

Tentu saja kesantunan harus mengorbankan egoisme, dan keinginan untuk menonjolkan diri sendiri. Hal ini yang memang sulit dihindari. Karena teknologi informasi secara alamiah menumbuhkan hasrat menonjolkan diri sendiri. Hingga hilang sikap rendah hati dan menghormati orang lain.

Pakar bahasa George Yule (2006) menjelaskan kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati sebagai perilaku sosial. Dari makna ini memberi pesan bahwa kesantunan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berlaku universal. Karena setiap individu dibelahan negara mana pun sesungguhnya tidak ingin direndahkan, dilecehkan atau diacuhkan.

Mengkaitkan pada data SAFEnet dapatlah digambarkan meningkatnya laporan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sebagai bukti hilangnya makna kesantunan sebagaimana George Yule definisikan. Atau lebih tajam lagi, peningkatan laporan itu disebabkan kesantunan bahasa yang hilang pada penggunaan media sosial. Bahkan terkesan kesantunan sebagai kesepakatan sosial untuk tidak merendahkan dan melecehkan orang lain secara sadar dilanggar.

Padahal, Pranowo (2009) memberikan sedikit rumusan kesantunan bertutur baik lisan maupun tulisan yang bisa menjadi sandaran, yaitu; kebiasaan menggunakan kata 'tolong' untuk meminta bantuan, kebiasaan penggunaan kata 'maaf' untuk hal yang kiranya menyinggung, kebiasaan menggunakan kata 'terima kasih' untuk hal yang memuji, kebiasaan penggunaan kata 'berkenan' untuk meminta kesediaan orang lain melakukan, serta kata lainnya.

Kata-kata seperti itu, terasa mulai jarang digunakan. Penutur virtual lebih memiliki kata-kata yang tajam. Dengan dalih rasionalitas. Namun dampaknya sering kehilangan pesan yang diharapkan. Bahkan tidak jarang justru melukai hati penerima pesan. Ujungnya melahirkan gugatan. Selanjutnya hilanglah keharmonisan

Berbahasa Jiwa Bangsa
Pepatah lama ini benar adanya. Santunnya berbahasa menjadi cermin jiwa bangsanya. Rasanya mejadi lebih prihatin menyandingkan pepatah itu dengan meningkatnya kasus pelaporan di era komunikasi virtual. Kian terasa tiada lagi pandai kita berbahasa, seakan menjadi keringlah jiwa bangsanya.

Padahal bangsa ini lahir dari keluhuran bahasanya. Lihat saja jumlah bahasa aslinya yang mencapai ratusan bahasa. Dimana setiap bahasa itu mencerminkan keagungan nilai sosial suku bangsanya. Baik dari wilayah Indonesia timur sampai Indonesia barat. Pastinya tiada nilai sosial dari suku bangsanya yang membiarkan sikap merendahkan orang lain.

Dari sini saja semakin kentara kesantunan menjadi penting. Kesantunan menjadi keseharian yang hidup dalam jiwa-jiwa kita. Dimana kesantunan tersebut sejatinya tumbuh dalam instrument pendidikan formal dan non formal. Meski nyatanya kerap terabaikan sebagiamana kutipan puisi Sajak Anak Muda karya WS Rendra. Semoga kesantunan ini kembali hadir untuk merawat keharmonisan.

Penulis adalah peneliti kebijakan publik pada IDPLP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun