by dr.Riki Tsan,SpM,MH (Alumni STHM MHKes-V)
Anda kenal dengan Susi Pujiastuti ?.
Ibu yang berusia 59 tahun ini adalah mantan Menteri Perikanan dan Kelautan di era Presiden Jokowi. Yang menarik dari sosok Ibu Susi ini adalah bahwa - jangankan memiliki gelar akademis perguruan tinggi- SMA sajapun ia tak tamat.
Soalnya, ia keluar dari SMA Negeri 1 Yogyakarta saat masih duduk di kelas 2. Setelah tidak bersekolah lagi, Susi berdagang bed cover keliling Pangandaran dalam usianya yang ke 18 tahun. Tak hanya itu, di Pangandaran ia juga menjadi pengepul ikan. Pada usia 20 tahun, ia mengambil keputusan berani dengan pindah ke Cirebon. Di Cirebon, ia membeli udang dan kodok lalu menjualnya ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah menekuni usahanya selama 13 tahun, bisnisnya mulai berkembang dan kemudian maju pesat. Susi telah dianugerahi puluhan penghargaan dari berbagai lembaga.
Tatkala berbicara tentang tentang ibu Susi ini, Prof. Renald Khasali, seorang guru besar dan 'begawan manajemen dunia' mengatakan, 'Khusus terhadap Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru sering saya undang untuk memberikan kuliah. Dia adalah 'self driver' sejati, yang bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar.
Sampai di sini, saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yang punya kesadaran dan keberanian sekuat itu ?'.
Apa yang menyebabkan Susi begitu hebat di mata Prof. Renald, padahal - boro boro punya gelar sarjana, apalagi magister dan doktor - bahkan SMA pun dia tak tamat ?.
Jawabnya adalah Susi memiliki sebuah kemampuan yang disebutnya dengan Metakognisi atau Non kognisi, bukan kognisi. Lantas, apa itu kognisi dan apa pula metakognisi itu ?.
Kognisi adalah kemampuan kita untuk mendapatkan pemahaman, pengetahuan, kesadaran, dan pengolahan informasi yang berlangsung di dalam pikiran atau otak kita. Sementara, kemampuan Metakognisi ( Nonkognisi ) adalah kecerdasan memanfaatkan kecerdasan yang kita miliki.
Tidak semua orang cerdas memiliki kecerdasan untuk memanfaat kecerdasannya.
Diantara kemampuan metakognisi adalah kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dan mampu bekerjasama dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari 'pintu'.
Metakognisi ini merupakan faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya para ilmuwan besar, wirausahawan kelas dunia dan praktisi - praktisi handal.
Kemampuan metakognisi ini tidak ditentukan oleh seberapa tinggi sekolah anda serta seberapa hebat dan banyaknya gelar yang berderet deret menempel di depan nama anda atau seberapa pintarnya anda di dunia akademis yang lazim digambarkan dengan Indeks Prestasi Kumulatif ( IPK )
Terkait dengan IPK ini, saya teringat dengan cerita Andi F.Noya, host Kick Andy, yang menceritakan pengalamannya ketika melakukan seleksi terhadap karyawan baru ( https://www.youtube.com/shorts/yMbgGmoN2X8 )
Mulanya, ia hanya menseleksi para pelamar , anak anak muda yang berasal dari universitas universitas yang top top dengan IPK yang tinggi tinggi untuk diwawancari. Yang lain, ia singkirkan.
Namun, 'Begitu wawancara', demikian tuturnya, ' kekecewaan demi kekecewaan terjadi. Ini anak IPK nya tinggi, tetapi  waktu ngomong ia tidak bisa menyimpulkan pokok pokok fikirannya. Ditanya sesuatu, tetapi ngalor ngidul kemana mana'
'Akhirnya saya mengais ngais yang tadi saya buang, anak anak yang universitas nya gak jelas dan dengan IPK rata rata, tetapi memiliki pengalaman kerja, saya panggil' 'Dan, saya terkaget kaget , saya menemukan banyak sekali mutiara yang telah saya buang
'Ini artinya', lanjut beliau, 'IPK yang tinggi dan sekolah yang hebat tidak menjamin hasilnya akan sesuai dengan  apa yang kita bayangkan'
Dari Susi dan Andy F Noya , kita bisa belajar bahwa kehidupan ini tak bisa hanya dibangun dari hal - hal kognitif semata , yang hanya bisa didapatkan dari bangku sekolah ataupun perkuliahan saja.
Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu - ilmu lain, seperti ilmu hukum, ilmu sosial dan lain lain yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi  ( metakognisi ), semuanya sia-sia.
Susi  mungkin tak sehebat kita yang senang 'memberhalakan' kehebatan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada ijazah, gelar dan IPK.
Dalam konteks inilah kita dapat memahami ' petuah ' yang disampaikan oleh Prof. Dr.Teguh Prasetyo,SH,MSi, penulis lebih dari 50 buku hukum dan penggagas Teori Keadilan Bermartabat saat saya sowan ke rumah beliau di Tangerang.
Beliau mengatakan, ' Kepiawaian atau kehebatan seseorang tidak dilihat dari prestasi akademisnya yang cumlaude atau gelarnya yang hebat, namun dinilai dari hasil karya, buah pemikirannya atau kinerjanya dalam menerapkan kemampuan akademisnya di dunia nyata'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H