Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dokter Sengaja Melakukan Penganiayaan?

21 Mei 2024   09:59 Diperbarui: 21 Mei 2024   11:18 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dr. Riki Tsan,SpM ( mhs STHM MHKes V )

 Saya baru saja membaca sebuah buku yang berjudul 'Pembentukan Pengadilan Khusus Medis' yang ditulis oleh Ontran Sumantri Riyanto SH,MH, yang diterbitkan oleh penerbit Deepublish pada bulan Januari 2021.

Pada halaman 20, paragraph pertama, tertulis kalimat kalimat sebagai berikut : '

' Dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya, seorang dokter berhak mendapatkan perlindungan hukum, hal ini berkaitan dengan tindakan medis yang dilakukan seperti melakukan penyuntikan dan pembedahan.

Tindakan ini 'bisa' dianggap sebagai bentuk penganiayaan terhadap pasien, sehingga dalam melakukan tindakan medis tersebut dokter ataupun tenaga kesehatan dilindungi hukum'

Sebagai seorang dokter, statement si penulis ini agak 'aneh dan janggal' serta sangat mengusik fikiran dan hati nurani saya.

Pertanyaannya adalah, apakah saat saya melakukan operasi katarak untuk membantu pasien mengatasi masalah penglihatannya misalnya, saya sedang melakukan penganiayaan terhadap pasien saya, tetapi karena kebetulan saya berprofesi sebagai dokter mata, maka penganiayaan yang saya lakukan itu dilindungi oleh hukum ?.

Apakah ketika seorang perawat menyuntik pasiennya untuk membantunya mengurangi rasa sakit, itu berarti dia telah menganiaya pasiennya, tetapi karena dia berprofesi sebagai perawat, maka penganiayaannya dilindungi hukum ?.

Jadi, menurut si penulis, ketika melakukan  tindakan medis,  dokter ataupun tenaga kesehatan telah melakukan penganiayaan namun penganiayaan ini  dilindungi oleh hukum. Sekali lagi, penganiayaan yang dilindungi hukum !

Mari kita dalami lebih jauh.


PENGANIAYAAN YURIDIS

Apa yang disebut dengan menganiaya atau penganiayaan itu ?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata menganiaya adalah memperlakukan dengan sewenang-wenang (seperti menyiksa, menyakiti). Contoh: Keluarga itu didakwa menganiaya pembantu rumah tangganya.

Penganiayaan adalah perlakuan yang sewenang-wenang atau perbuatan bengis seperti penyiksaan, penindasan, dan sebagainya

Dalam konteks hukum : ' Penganiayaan adalah perbuatan kekerasan dengan sengaja yang dilakukan dengan rasa permusuhan terhadap seseorang sehingga mengakibatkan cacat badan atau kematian '

Tindak pidana penganiayaan merupakan perlakuan sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain. Penganiayaan yang mendatangkan rasa sakit atau luka pada badan atau anggota badan orang lain merupakan tindakan melawan hukum '

Tindak pidana penganiayaan ini diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana pada pasal 351 s/d 358.

Pada pasal 351 ayat 4 disebutkan 'Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan'.

Jika penganiayaan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun (ayat 2). Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun (ayat 3).

Pertanyaannya ialah apakah ketika saya melakukan operasi katarak atau perawat yang menyuntik pasiennya, kami memang berniat secara sengaja untuk merusak kesehatan pasien pasien kami ?.


PENGANIAYAAN DITOLAK

Dalam konteks tindakan medis yang dilakukan oleh dokter ataupun tenaga kesehatan, Dr. Parluhutan Sagala, SH , dosen STHM Prodi Magister Hukum Kesehatan berkali kali mengingatkan bahwa hubungan antara dokter atau tenaga kesehatan dengan pasien pasiennya haruslah selalu dilihat dari perspektif PerjanjianTerapeutik , yakni sebuah perjanjian unik dan khusus, antara dokter dan pasien dan yang tidak bisa disamakan dengan hubungan hubungan antara para pihak pada umumnya.

Prof. Dr. Gayus Lumbun,SH menguraikan bahwa di dalam Perjanjian atau Kontrak Terapeutik ini, tugas atau kewajiban dokter adalah berupaya membantu atau menolong pasiennya, bahkan dokter harus meminta persetujuan mereka jika akan melakukan suatu tindakan medis yang lazim dikenal dengan Informed Consent.

Tidak seorangpun dokter berniat untuk sengaja merusak, mencederai atau menyiksa pasien pasiennya yang akan dibantunya.

Jadi, tindakan medis seperti melakukan penyuntikan dan pembedahan yang dilakukan oleh dokter ataupun tenaga kesehatan itu tidak dapat disamakan dengan penganiayaan atau tidak pidana penganiayaan.

Lagi pula , jika tindakan medis yang disebut sebut  sebagai bentuk penganiayaan itu mendapatkan perlindungan hukum, lalu bagaimana konstruksi hukumnya ?.

Mari kita cermati pertanyaan pertanyaan berikut.

Pertama.
Apakah perbuatan melakukan penyuntikan dan pembedahan yang dilakukan dokter ataupun tenaga kesehatan terhadap pasien pasiennya itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang bersifat melawan hukum ?.

Kedua.
Apakah ada niat kesengajaan di dalam diri dokter dalam melakukan tindakan medis tersebut untuk merusak kesehatan pasien sebagai salah satu unsur kesalahan ?.

Ketiga.
Prof. Dr. Teguh Prasetyo,SH di dalam bukunya Hukum Pidana (halaman 125-150) menguraikan bahwa alasan penghapus pidana, terdiri dari alasan pembenar ataupun alasan pemaaf.

Jika tindakan medis tersebut dianggap sebagai tindak pidana, apakah kita dapat menemukan secara eksplisit adanya alasan alasan penghapus pidana sebagai wujud perlindungan hukum terhadap dokter ataupun tenaga medis dalam melakukan tindakan tindakan medis yang dianggap sebagai penganiayaan itu ?.

' Padahal, jika kita berbicara tentang perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, kita berbicara tentang criminal act ( perbuatan pidana )', demikian tulis Prof. Dr. Topo Santoso,SH di dalam bukunya Hukum Pidana, Suatu Pengantar, dimana landasannya  yang sangat penting adalah Asas Legalitas ( Principle of Legality ) yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang undangan, sebagaimana isi pasal 1 ayat 1 KUHP.

Asas ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Salah satu prinsip di dalam Asas Legalitas adalah Lex Stricta yakni undang undang harus dirumuskan dengan ketat dan larangan hukuman atas dasar analogi.

Pendapat penulis buku tersebut bertentangan dengan Asas Legalitas karena ia menganalogikan perbuatan menyuntik dan membedah itu dengan perbuatan jahat/kriminal , yang - boleh jadi - disamakan dengan menusuk orang dengan pisau yang memang disengaja untuk menganiaya orang.

Implikasinya adalah  jika suatu tindakan medis menimbulkan cedera ataupun kematian,  dokter  serta merta langsung dituduh telah melakukan tindak pidana kriminal, yang dideskreditkan dengan tuduhan malapraktik

Padahal, tindak pidana dalam ranah kasus medik ( yang kita sebut dengan tindak pidana medik ) berbeda sama sekali dengan tindak pidana umum, demikian yang sering digaungkan oleh Dr.dr.Nasser,SpDVE,D.Law.

Karena itulah, Dr.Jerry Tambun, SH  menolak kalau kegagalan suatu tindakan medik yang dilakukan oleh dokter ataupun tenaga kesehatan yang kemudian berujung kepada cedera atau kematian pasien, langsung dibawa ke ranah hukum pidana yang dapat menjerat dokter dengan sanksi pidana penjara.

Salam Sehat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun