Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mempersoalkan Penggunakan Istilah Malapraktik

28 November 2023   20:57 Diperbarui: 30 November 2023   06:56 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by dr.Riki Tsan,SpM - Mhs STHM MHKes V

Beberapa hari terakhir ini, dunia kesehatan di Indonesia diguncang prahara dengan viralnya berbagai kasus, yang disebut sebut sebagai akibat Malpraktik. Kita akan mengutip 2 kasus terakhir yang diberitakan oleh 2 media.

  • TV One News melaporkan : 'Bayi Prematur di Tasikmalaya Diduga Korban Malpraktek, Ibunda: Lahir 1,7 Kg Disuruh Pulang dan Dijadikan Konten'
  • Detik News menulis berita berjudul : 'Kronologi Nanie Darham Meninggal Diduga Malpraktik Saat Sedot Lemak'

Kita tidak akan memperbincangkan seluk beluk kedua kasus ini, namun yang akan kita bahas disini adalah soal penggunaan istilah Malpraktik yang berkembang di masyarakat dan diperbincangkan dimana mana.


MALAPRAKTIK 

Apa sebetulnya yang dimaksud dengan Malpraktek ( lebih tepat disebut Malapraktik ) dalam bidang kesehatan ?.

Malapraktik Medis adalah suatu istilah yang di dalam literatur berbahasa Inggeris disebut dengan Medical Malpractice.

USLegal mendefinisikan Medical Malpractice ini sebagai berikut : 'Medical Malpractice is the failure of a medical professional to follow the accepted standards of practice  of his or her profession, resulting in harm to the patient'
- Malapraktik Medis adalah kegagalan tenaga profesi medis/kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat dll)  untuk melaksanakan standar praktik yang telah ditentukan oleh profesinya, yang kemudian mengakibatkan pasien mengalami cedera.

Disamping istilah Medical Malpractice, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH menyebutkan satu istilah lain, yakni Medical Negligence. Menurut beliau, dalam tindak pidana, perbedaan kedua istilah ini terletak pada mensrea (keadaan batin atau fikiran yang salah/jahat) dari dokter yang bersangkutan.

Beliau menulis, disebut Medical Malpractice jika dokter melakukan tindakan malapraktik dengan sengaja (dolus), sedangkan jika malapraktik dilakukan karena adanya kealpaan atau kelalaian (culpa) disebut Medical Negligence.

Namun, Prof. Remy melanjutkan, kedua istilah tersebut di atas sudah dianggap istilah yang bermakna sama yakni perbuatan yang dilakukan bukan dengan sengaja, tetapi dilakukan karena kelalaian.


Pada bagian lain, beliau juga menegaskan bahwa  Malapraktik Medis adalah tindak kelalaian, bukan tindak kesengajaan ( Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis, 2020, hal. 45,345 ).

Lalu, apakah di mata hukum, Malapraktik Medis ( kita singkat saja dengan Malapraktik) ini merupakan pelanggaran perdata ataukah pelanggaran pidana ?. Prof.Remy menjawab : 'Malapraktik adalah kasus perdata dan juga pidana'.

Malapraktik merupakan kasus perdata jika ditemukan adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Dalam negara negara yang menganut sistem Common Law, perbuatan melawan hukum ini disebut Tortious Act berdasarkan Tort Law. Namun, disamping kasus perdata, Malapraktik dapat juga merupakan kasus pidana.

Menurut hukum Indonesia , gugatan perdata oleh pihak pihak yang mengalami kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum, didasarkan kepada Kitab Hukum Undang Undang Perdata (KUH Perdata) pada pasal 1365, yang berbunyi :
'Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut'
( Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik di Indonesia,2022, hal.68 ).

Menurut Prof. Remy, dokter dianggap telah melakukan tindak pidana hanya jika pelayanan kesehatan yang diberikan tidak dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Medis (Medical Standard of Care) yang telah ditetapkan. Lalu, pelayanan kesehatan yang dilakukan karena kelalaiannya tersebut secara langsung mengakibatkan cedera ataupun kematian pasien.

Namun, jika cedera ataupun kematian pasien tersebut bukan terjadi karena kelalaian tetapi karena dilakukan dengan sengaja, maka dokter tersebut bukan lagi melakukan Malapraktik berbasis mensrea kelalaian, namun melakukan tindak pidana kejahatan yang berbasis mensrea kesengajaan.

Adapun perihal kelalaian dokter yang menyebabkan kematian dan cedera pasien mengacu kepada pasal 359 dan 360 KUH Pidana, sedangkan perbuatan tindak pidana kejahatan berbasis kesengajaan merujuk kepada KUH Pidana pasal 351,353-356 tentang penganiayaan.

MENYOAL ISTILAH MALAPRAKTIK

Dalam mata kuliah Hukum Pelayanan Kesehatan dan Hukum Administrasi Kesehatan/Rumah Sakit di Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Program Studi Magister Hukum Kesehatan pada tanggal 24 dan 25 November 2023, yang disampaikan secara daring oleh Dr.dr.Nasser,Sp.D.V.E, D.Law, (pakar Hukum Kesehatan Indonesia, yang biasa disapa dengan Prof.Nasser) menguraikan pandangannya soal Malapraktik ini yang  yang bertolak belakang dengan pandangan Prof. Remy di atas.

Kita akan 'mengulik' pandangan Prof.Nasser ini, dengan beberapa tambahan uraian dari saya untuk memperjelas apa yang beliau sampaikan.

https://www.portal-islam.id/2021/05/jerat-pidana-habib-rizieq-dan-direktur.html
https://www.portal-islam.id/2021/05/jerat-pidana-habib-rizieq-dan-direktur.html

Pada dasarnya, Prof.Nasser menolak dengan 'keras'  terminologi Malapraktik yang digunakan selama ini.
Penggunaan istilah Malapraktik ini cenderung  digunakan di kalangan masyarakat untuk mendeskreditkan para dokter  ataupun tenaga kesehatan yang telah berupaya maksimal dalam melakukan upaya pengobatan , yang hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh  para pasien dan keluarganya.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan Prof.Nasser terkait dengan hal ini.

Pertama. Menurut Prof. Nasser, istilah Malapraktik adalah istilah yang digunakan sebagai hasil putusan hakim di dalam suatu sidang pengadilan yang tidak bisa digunakan secara serampangan di tengah tengah masyarakat

Saya mencoba  memahami pandangan Prof.Nasser ini lewat perspektif  hubungan antara dokter dan pasien.

Sebagaimana kita ketahui bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien itu adalah suatu hubungan perjanjian/kesepakatan yang kemudian melahirkan suatu perikatan.

Hal ini tercantum di dalam Undang Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 pada pasal 280  yang menyebutkan bahwa praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan pasien berdasarkan prinsip kesetaraan dan transparansi (pasal 4)

Kesepakatan dan perjanjian yang melahirkan perikatan ini lazim disebut sebut dengan Kontrak Terapeutik, yang berlandaskan kepada Kitab Undang Undang Hukum Perdata tentang Perikatan.

Namun berbeda dengan perjanjian pada umumnya, di dalam Kontrak Terapeutik, tujuan perjanjian antara dokter dan pasien bukanlah berfokus kepada hasil dari perjanjian (resultaat verbintennis), namun kepada usaha atau upaya yang dilakukan oleh dokter dalam mengobati pasiennya (inspanning verbintennis).

Hal ini ditegaskan pada pasal 280 ayat 1, UU Kesehatan nomor 17/2023 yang berbunyi : 'Dalam menjalankan praktik, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan kepada pasien harus melaksanakan upaya terbaik. Dilanjutkan pada pasal 2 : 'Upaya terbaik tersebut tidak menjamin keberhasilan Pelayanan Kesehatan yang diberikan.

Ini berarti, jika dalam upaya pengobatan, pasien  tidak dapat disembuhkan, bahkan mungkin mengalami cedera ataupun kematian, dokter tidak serta merta dapat 'divonis' telah melakukan kesalahan yang kemudian dipojokkan dengan tudingan telah melakukan tindakan Malapraktik.

Dalam konteks ini, untuk memastikan apakah seorang dokter telah melakukan kesalahan atau tidak ketika melakukan suatu tindakan medis, haruslah dilakukan pemeriksaan yang cermat ,akurat, mendalam dan menyeluruh  atas tahapan tindakan yang dilakukannya  dalam upaya menyembuhkan pasiennya. 

Pemeriksaan yang cermat, akurat, mendalam dan menyeluruh itu dilakukan dalam suatu proses penyelidikan/penyidikan dan persidangan hukum dengan menghadirkan para pakar dan para ahli di bidang medis, hukum dan hukum kesehatan.

Pada persidangan tersebut hakim akan memvonis atau memutuskan apakah dokter yang bersangkutan telah melakukan  tindakan Malapraktik atau tidak.

Dengan kata lain, istilah Malapraktik sejatinya hanya digunakan di dalam putusan hakim dan tidak tepat digunakan oleh masyarakat banyak dan kebanyakan masyarakat untuk  'memvonis' bahwa telah terjadi suatu perbuatan Malapraktik yang dilakukan oleh dokter ataupun Tenaga Kesehatan.

Mengutip Prof.Nasser, penggunakan istilah Malapraktik ini telah digunakan oleh para hakim di Indonesia dalam memutuskan banyak kasus. Seperti kasus  dr Setyaningrum di Pati,1979 dan kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan kawan kawan di di Manado, 2012.

Pada tingkat kasasi, dr Setyaningrum dinyatakan bebas dari tuduhan malpraktek oleh Mahkamah Agung, setelah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pati yang dikukuhkan Pengadilan Tinggi Semarang (1981).

Dalam hal ini, Mahkamah Agung, telah menggunakan pengertian Malapraktik seperti yang difahami sebagai berikut:  'Seorang dokter dinyatakan melakukan malpraktik jika ia tidak bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku untuknya'                
(presentasi Dr.M.Arief Setiawan,SH,MH pada Seminar Mediasi & Perlindungan Hukum Bagi Dokter, Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta, 17 desember 2016 ).

Beberapa pertimbangan/amar putusan Mahkamat Agung yang diputuskan di tingkat kasasi telah menyebut nyebut soal Malapraktik , diantaranya ialah :

  • 'Bahwa Para Tergugat tidak melakukan malpraktek kedokteran dalam melakukan penanganan medis terhadap pasien' ( putusan nomor 1880 K/Pdt/2016 pada kasus luka bakar di RSUD Belu).
  • '....penggugat tidak dapat menuntut dokter tersebut yang diduga melakukan malpraktek (medical malpractice) atau kelalaian medis (medical negligence), sebagai tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad)- (putusan nomor 352 PK/Pdt/2010 pada kasus operasi katarak di Palembang)

Kedua. Istilah Malapraktik ini tidak kita temukan di dalam peraturan perundangan undangan di Indonesia, bahkan Peraturan Menteri Kesehatan sekalipun tidak ada yang menyebutkan soal Malapraktik ini, demikian kata Prof.Nasser

Prof.Remy sendiri mengakui akan hal ini, dengan mengatakan : 'Istilah Malapraktik dalam bidang kesehatan tidak dijumpai dalam undang undang dan perundangan undangan lainnya di Indonesia. Istilah Malapraktik bukan merupakan istilah resmi, artinya istilah tersebut tidak digunakan oleh undang undang dan berbagai peraturan perundangan undangan lainnya di Indonesia.

Alasan  Prof.Remy untuk menggunakan istilah ini adalah karena istilah ini sudah lama digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia, telah digunakan secara luas di dunia internasional  dan untuk kepentingan mengisi kebutuhan akan peristilahan dalam ilmu hukum di Indonesia dalam hal peristilahan yang dimaksud belum ada
(Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis, hal.43-44)

Ketiga. Prof Nasser mengatakan bahwa  terminologi Malapraktik ini lazim digunakan di negara negara yang menganut sistem hukum Common Law, seperti Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat. Sementara, negara kita menganut sistem hukum Civil Law.

Terminologi Malapraktik digunakan di negara negara Common Law,  khususnya pada Tort Law, atau Hukum Perdata disana.  Istilah ini dinisbahkan kepada kelalaian dokter atau Tenaga Kesehatan saat melakukan tindakan medis terhadap pasiennya. 

Sedikit uraian tentang Tort Law.
Tort - dalam bahasa Inggeris - diartikan dengan perbuatan melawan hukum (PMH)
Disebutkan di dalam Dietro Partner, Attorneys Law bahwa ; 'Tort law in healthcare involves medical professionals and patients.  Legally speaking, a tort occurs when a medical professional acts in a negligent manner and injures someone in their care. A tort is different from a criminal act. ......tort is a legal term for medical malpractice. Since, torts are not criminal acts; torts are handled in Civil Court ( https://ddpalaw.com/blog/healthcare-law/florida-healthcare-tort-law/)

- Tort Law (Hukum Tort) di dalam pelayanan kesehatan mencakup profesi tenaga medis dan pasien. Secara hukum, PMH (tort) terjadi ketika tenaga medis melakukan kelalaian (negligent) dan menyebabkan cedera pasien pasien yang berada di  dalam perawatannya. Perbuatan melawan hukum  berbeda dengan tindak pidana kejahatan......PMH adalah istilah hukum untuk Malapraktik. Karena, PMH bukanlah tindak pidana kejahatan, maka PMH ditangani di dalam peradilan Hukum Perdata (Peradilan Sipil)-

Menurut hemat saya, seyogyanya memang kita tidak dapat memaksakan suatu terminologi ataupun istilah yang merupakan bagian dari sebuah sistem hukum tertentu , diambil begitu saja untuk digunakan di dalam sistem hukum yang berbeda, seperti terminologi Malapraktik ini. Jika hal ini dilakukan, akan memunculkan kerancuan kerancuan.

Keempat. Alih alih menggunakan istilah Malapraktik, Prof. Nasser menyarankan untuk menggunakan istilah kelalaian atau pembiaran, yang dalam konteks ini disebut dengan Kelalaian Medis atau Pembiaran Medis.
Istilah Kelalaian Medis ini lebih tepat digunakan ketimbang istilah Malapraktik dan tidak menimbulkan konotasi yang negatif di tengah tengah masyarakat.

Istilah Kelalaian inipun sebetulnya dapat kita temukan di dalam aturan perundangan undangan, seperti Undang Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 pasal 193 menyebutkan : ' Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit'.

Yang dimaksud dengan sumber daya manusia disini diantaranya ialah Tenaga Medis seperti dokter, dokter gigi, spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan seperti perawat, bidan, apoteker dan lain lain.

Pengenaan tuduhan Malapraktik kepada dokter yang berulang ulang kali dimunculkan dan diviralkan di masyarakat kita selama ini, amat tendensisus dan membuat posisi dokter dan Tenaga Kesehatan semakin terpojok karena telah di-framing sedemikian rupa sehingga diyakini telah melakukan pelanggaran pidana dan karena itu harus dihukum seberat beratnya.
Implikasi lebih jauh ialah kehormatan dan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap profesi dokter menjadi semakin terdegradasi.


KESIMPULAN/SARAN

Dari uraian panjang lebar di atas, kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

  • Baik Prof. Remy maupun Prof. Nasser sama sama bersepakat bahwa tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya yang kemudian berujung kepada cedera ataupun kematian si pasien, hanya dikategorikan sebagai kelalaian saja dan tidak dikategorikan sebagai perbuatan sengaja.

  • Walaupun istilah Malapraktik  di negara negara Common Law sama pengertiannya dengan istilah Malapraktik di Indonesia yakni suatu tindakan kelalaian.        Namun, unsur kelalaian merupakan salah satu mensrea di dalam Hukum Pidana di Indonesia, sedangkan di negara negara Common Law  unsur kelalaian termasuk ke dalam Tort atau perbuatahan melawan hukum yang masuk ke dalam Hukum Perdata
  • Prof.Remy mengakui bahwa istilah Malapraktik digunakan di dalam negara negara yang menganut sistem Common Law, namun - anehnya - beliau tidak keberatan istilah ini digunakan di Indonesia yang menganut sistem Civil Law. 
    Jadi, beliau menggunakan terminologi Malapraktik untuk menjustifikasi kelalaian dokter sebagai tindak pidana kejahatan, padahal terminologi ini di negara asalnya (common law) masuk ke dalam wacana hukum perdata sebagai PMH.

  • Prof. Nasser menolak penggunaan kata Malapraktik di dalam wacana perbincangan masyarakat, karena istilah ini  seyogyanya dipakai sebagai putusan hakim. Disamping itu, istilah tersebut bukanlah bagian dari sistem Civil Law yang dianut negara kita. Sekali lagi, terminologi Malapraktik lazim digunakan di dalam sistem Common Law, khusususnya Tort Law yang merupakan Hukum Perdata. Disini, Hukum Perdata Medik nyapun  dibedakan dengan Hukum Perdata umum.

  • Sebagai pengganti istilah Malapraktik, Prof. Nasser menyarankan menggunakan istilah Kelalaian Medis atau Pembiaran Medis. Istilah Kelalaian Medis  termaktub di dalam aturan perundang serta  pernah digunakan oleh Mahkamah Agung sebagai penerjemahan dari kata Medical Negligence di dalam salah satu putusannya.

  • Penggunaan kata/istilah Malapraktik secara  tidak semena mena di masyarakat bahkan  di kalangan kaum intelektual, semestinya memang dihindari karena istilah ini  berkonotasi negatif , tendensius serta cenderung mendeskreditkan dan mendegradasi profesi dokter dan Tenaga Kesehatan di Indonesia.


Salam sehat buat kita semua

Audio : https://open.spotify.com/episode/1kpOzvRA14hRUBbFpwktYy?si=CW8Mn4qDTxSSYy_FEbFlNQ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun