by dr.Riki Tsan,Sp.M ( Mahasiswa STHM Prodi MHKes Angkatan V )
Pada suatu hari, seorang dokter bedah melakukan operasi terhadap seorang pasien yang menderita penyakit Hernia Skrotalis.
Penyakit Hernia Skrotalis terjadi ketika usus atau lemak dari perut menerobos keluar melalui dinding perut bagian bawah menuju daerah inguinal atau selangkangan masuk ke dalam skrotum (kantung buah pelir). Akibatnya, timbul tonjolan atau pembengkakan pada daerah selangkangan atau pembesaran skrotum.
Tujuan operasi yang akan dilakuan adalah untuk mengembalikan ,  mendorong ataupun  mengangkat bagian usus yang keluar disertai dengan menguatkan otot otot serta jaringan yang lemah.
Nah, pada waktu melakukan operasi itu, si dokter menemukan testikel (buah pelir) kiri pasien ini sudah terinfeksi berat yang dia nilai dapat membahayakan si pasien. Dokter langsung mengangkat testikel ini.
Usai operasi dan setelah mengalami penyembuhan, pasien menggugat dokter ke pengadilan dengan alasan dia tidak pernah memberikan persetujuan atau keizinan untuk pengangkatan testikelnya itu. Persetujuan hanya diberikan untuk operasi hernia saja.
Bagaimana seharusnya sikap hakim yang memutuskan perkara ini ?.
--
Kasus di atas hanyalah sebuah contoh  yang menunjukkan betapa pentingnya persetujuan pasien sebelum seorang dokter melakukan tindakan medis (seperti operasi misalnya) terhadap pasiennya. Pada kasus di atas, mungkin kondisi pasien relatif 'baik baik saja' setelah operasi hernia tersebut walaupun dia sudah kehilangan satu buah pelirnya.
Namun pada kasus kasus yang lain tindakan medis bukan saja menimbulkan cedera atau kecacatan yang lebih berat, bahkan dapat berakhir pada kematian pasien. Dokter dapat dituntut sampai ke pengadilan, dan boleh jadi terkena sanksi hukum. Dia bisa dipenjara atau harus membayar ratusan juta bahkan milyaran rupiah.
Pertanyaan kita ialah seperti apakah sebetulnya persetujuan atau keizinan pasien atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya dan apakah pasien yang berada dalam kondisi tertentu sehingga tidak memungkinkannya untuk memberikan  persetujuan , bolehkah dokter 'memaksakan' melakukan tindakan medis tertentu terhadap dirinya ?.
---
PERSETUJUAN PASIEN