by  dr. Riki Tsan,SpM ( Ketua Divisi Tenaga Medis, PP KOHKARSSI )
Pada suatu hari saya melakukan operasi katarak terhadap seorang ibu yang berumur 65 tahun. Sebelum operasi, tajam penglihatan (visus) mata kiri si ibu ini sudah sangat parah. Dia hanya bisa  'melihat' gerakan tangan yang dilambai lambaikan di depan wajahnya.
Pada kontrol hari pertama setelah operasi, visus mata kirinya menjadi lebih baik, walaupun belum mencapai batas normal.
Si ibu sudah bisa membaca deretan huruf huruf yang dipantulkan dari mesin chartprojector ke arah dinding yang berjarak 6 meter.
Mulanya si ibu mengeluh. 'Kenapa mata saya belum bisa melihat normal kembali seperti sebelum kena katarak, dok ?', tanyanya seakan akan 'menyalahkan'  operasi tersebut. Saya  merasa tidak ada yang salah, karena sudah mengerjakan operasi sesuai dengan panduan tatacara operasi katarak.
Setelah  saya memberikan penjelasan panjang lebar, tentu saja dengan penuh kesabaran dan kehati hatian, akhirnya si ibu dapat menerima kondisi matanya tersebut. Malah, dia merasa bersyukur karena matanya sudah bisa melihat kembali.
--
Kasus di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus dimana tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tidak membuahkan hasil yang diinginkan sehingga tidak dapat memenuhi  harapan ataupun keinginan pasien. Pada beberapa kasus yang lain, tindakan medis justru menimbulkan komplikasi berupa kecacatan dan bahkan tidak jarang berakhir kepada kematian pasien.
Kenyataan ini memunculkan sebuah pertanyaan besar apakah upaya yang dilakukan seorang dokter dalam tindakan medis harus menghasilkan kesembuhan penyakit ataupun pemulihan dari kecacatan yang diderita oleh pasien pasiennya ?.
KONTRAK TERAPEUTIK
Sebelum menjawab pertanyaan di atas , ada baiknya kita 'mengulik' dulu bagaimana hubungan hukum antara seorang dokter dengan pasiennya.
Hubungan antara dokter dan pasiennya dimulai saat pasien datang ke praktek dokter, entah itu di  rumah sakit,klinik,puskesmas atau praktek mandiri dan mengeluhkan masalah kesehatannya untuk mendapatkan pertolongan dari dokter tersebut. Â
Hubungan ini membentuk sebuah kesepakatan atau perjanjian antara dokter dan pasien yang dikenal dengan berbagai istilah seperti Kontrak Terapeutik, Perikatan Terapeutik, Perjanjian Terapeutik ataupun Transaksi Terapeutik. Di dalam artikel ini , saya menggunakan istilah Kontrak Terapeutik.
Undang Undang Kesehatan yang baru ( nomor 17 tahun 2023 ) mengatakan : 'Praktik Tenaga Medis (dokter/dokter gigi) dan Tenaga Kesehatan diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan pasien berdasarkan prinsip kesetaraan dan transparansi ( pasal 280 ayat 4 ).
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini SH, di dalam bukunya Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis jilid 1 halaman 164 menulis :
'Bagi tenaga medis di Indonesia hubungan antara Tenaga Medis dan pasien merupakan hubungan perikatan yang timbul dari perjanjian maupun timbul karena hukum, baik berupa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hubungan Perjanjian antara Tenaga Medis dan pasien adalah berdasarkan Perjanjian tidak tertulis yang disebut Perjanjian Terapeutik'
Jadi, Kontrak Terapeutik adalah sebuah perjanjian yang didasarkan atas trust ( kepercayaan ) antara pasien dan dokter yang membentuk suatu hubungan hukum dengan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, yang tidak harus berbentuk perjanjian tertulis. Perjanjian ini akan melahirkan hubungan perikatan.
Lalu, apa dasar hukum dari hubungan perikatan ini ?.
Hubungan perikatan dokter dan pasien mengikuti  kaidah kaidah Hukum Perikatan Nasional yang merujuk kepada Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III tentang Perikatan ( Van Verbintennisen ).
Pada Pasal 1313 misalnya disebutkan : 'Suatu perikatan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih'. Adapun  pasal pasal lain yang terkait dengan hukum perikatan ini  diantaranya ialah pasal 1320 s/d 1329 dan seterusnya.
Dalam hubungan keperdataan ini, 'para aktor' yang membuat perjanjian ini adalah dokter dan pasien yang disebut sebagai subjek hukum, sementara, 'barang yang diperjanjikan' atau objek hukum adalah upaya untuk memberikan tindakan medis atau pelayanan kesehatan oleh dokter.
Pertanyaan kita ialah apa tujuan dari pelayanan kesehatan atau tindakan medis yang diberikan oleh dokter ?. Mari kita gali sedikit lebih dalam.
PELAYANAN KESEHATAN
Dr. dr. Nasser, Sp.D.V.E, D. Law di dalam mata kuliah Hukum Pelayanan Kesehatan di Sekolah Tinggi Hukum Kesehatan Militer (STHM) Prodi Magister Hukum Kesehatan yang disampaikan secara daring pada tanggal 15 September 2023 menuturkan : ' .....secara umum tujuan pelayanan kesehatan ada 3. Yang pertama, menyembuhkan....Kedua, mengurangi penderitaan.....Ketiga, meminimalisir kecacatan'.Â
Hal ini sejalan dengan  Undang Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 (UU Kesehatan) , pada pasal 1 angka 3,  yang menyebutkan bahwa tujuan pelayanan kesehatan  yang diberikan oleh dokter kepada pasiennya adalah untuk memelihara kesehatan mereka diantaranya dalam bentuk kuratif (penyembuhan dari penyakit ) , rehabilitatif (pemulihan/meminimalisir dari kecacatan ) dan paliatif (mengurangi rasa sakit/penderitaan)
Singkat kata. Di dalam Kontrak Terapeutik, dokter  terikat secara hukum dalam suatu perjanjian dengan pasiennya untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tujuan menyembuhkan penyakit, memulihkan kecacatan dan meminimalisir rasa sakit/penderitaan pasiennya.
Kalau anda membuat perjanjian dengan seorang mandor bangunan untuk membangun sebuah rumah, maka si mandor  akan anda nilai mencederai janjinya (wanprestasi) jika hasil pekerjaannya (yakni terbangunnya rumah) tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati bersama.
Apakah perjanjian di dalam Kontrak Terapeutik sama seperti perjanjian anda dengan mandor bangunan itu yakni ditentukan dari hasil pekerjaan si mandor ?.
Dengan kata lain, apakah di dalam  Kontrak Terapeutik, kesembuhan dari penyakit, pemulihan dari kecacatan  atau berkurangnya rasa sakit/penderitaan pasien merupakan hasil dari tindakan medis/pelayanan kesehatan yang harus  dijamin oleh seorang dokter ?.
UPAYA,BUKAN HASIL
Dr. H.Desriza Ratman,SH, MHKes menyatakan :
Transaksi Terapeutik berbeda sama sekali dengan transaksi ( perjanjian ) pada umumnya, yaitu perbedaannya terletak pada objek perjanjiannya, dimana bukan hasil (output) yang menjadi tujuan utamanya suatu perjanjian ( resultaat verbintenis ), melainkan terletak pada upaya maksimal/proses yang dilakukan untuk kesembuhan pasien ( inspaning verbintenis )-
(Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis Dalam Transaksi Terapeutik, halaman 18)
Dr. Nasrun SH,Msc, menulis :
'Kontrak pengobatan juga dikenal sebagai Perjanjian Terapeutik , dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan secara umum. Kontrak atau Perjanjian Terapeutik adalah Upaya Usaha Terbesar ( Inspanings Verbintenis ) oleh dokter  dan profesional kesehatan lainnya untuk mengobati, merawat dan mengedukasi dalam penyembuhan pasien untuk mendapatkan hasil yang terbaik, dan bukan memastikan hasil ( Resultaat Verbintenis ) akhir '
( Etika dan Hukum Kesehatan- Suatu Pendekatan Teori Dalam Berpraktik, halaman 23-24 , di bawah judul Hubungan Kontrak Terapeutik)
Pernyataan Desriza dan Nasrun di atas ternyata selaras dengan UU Kesehatan nomor 17 tahun 2023. Â
Pada pasal 280 ayat 1 ditegaskan bahwa dalam menjalankan praktiknya, tenaga medis harus melaksanakan upaya terbaik tatkala memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien pasiennya.
Sementara, ayat 2  menguatkan bahwa upaya terbaik ini tidak menjamin keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan.
Lantas, kenapa dokter tidak bisa menjamin kesembuhan pasien pasiennya ?.
Prof. Â Dr. Sutan Remy Sjahdeini,SH menjawab :
'Kesembuhan pasien bukan merupakan jaminan dokter. Dokter hanya berusaha memulihkan kesehatan pasien dengan melakukan tindakan medis dan mengobati pasien. Kesembuhan adalah hak prerogatif Tuhan. Oleh karena itu, kepastian mengenai terjadi kesembuhan pasien bukan jaminan dokter'
( Hukum Kesehatan Tentang Malapraktik Tenaga Medis, hal 93)
Kalau begitu, enak dong dokter. Sekiranya pasien yang diobatinya  tidak sembuh, dia bisa beralasan, bahwa dia tidak menjamin kesembuhan. Dengan demikian, dokter tidak bisa dituntut oleh pasiennya dan bisa seenaknya memperlakukan pasiennya. Tidak begitu...!
Kenyataannya, dokter bisa juga dituntut oleh pasien pasiennya.
Prof.Dr. Sutan Remi Sjahdeini, SH di dalam bukunya itu bahkan sampai menuliskan bab khusus tentang banyaknya tuntutan dan gugatan pasien terhadap dokter di Indonesia yang diduga melakukan malapraktik.
Beliau menyebutkan bahwa kasus kasus malapraktik yang muncul di masyarakat itu ibarat gunung es yang puncaknya sedikit muncul di tengah lautan. Artinya, banyak tetapi tersembunyi. Believe it or not !
Terakhir.
Konon, seorang pasien mengatakan kepada dokter yang mengobatinya, 'Dokter itu pekerjaan yang paling enak'
'Loh, kenapa begitu ?', tanya si dokter
Pasien berkata, 'Bagaimana tidak enak ?. Tuhan yang menyembuhkan penyakit pasiennya, tetapi dia yang mendapatkan duitnya'
Dokter menjawab santai, 'Kalau anda keberatan, silahkan saja anda langsung berobat ke Tuhan !'.
Salam sehat buat kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H