Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bagaimana Upaya Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di Indonesia Pasca UU Kesehatan?

15 September 2023   11:37 Diperbarui: 15 September 2023   14:29 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by dr. Riki Tsan,SpMa

(Anggota Tim Task Force RPP Mata Perdami)

Tidak banyak orang yang menyadari, termasuk sebagian kalangan dokter spesialis mata sendiri,  bahwa Badan Kesehatan Dunia ( WHO ) telah mencanangkan World Sight Day atau Hari Penglihatan Sedunia di setiap hari Kamis pada minggu kedua di bulan Oktober. Pada tahun ini, Hari Penglihatan Sedunia jatuh pada tanggal 12 Oktober 2023, dengan mengambil tema Love Your Eyes At Work.

Pencanangan Hari Penglihatan Sedunia ini dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dunia terhadap berbagai isu global yang berkaitan dengan masalah kebutaan dan gangguan penglihatan yang diderita oleh penduduk bumi.

Menurut laporan WHO tahun 1999 - 2000, sebanyak 285 juta penduduk bumi ini memiliki masalah dalam penglihatan. Hampir 39 juta orang diantaranya menderita kebutaan, sementara 246 juta orang lainnya mengalami gangguan penglihatan. Ironisnya, 90 % dari para penyandang gangguan penglihatan dan kebutaan ini hidup di negara-negara berkembang dengan pendapatan atau upah yang rendah.

Untuk mengatasi masalah ini, WHO bersama dengan International Agency for Prevention of Blindness ( IAPB ) telah menyusun strategi penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan (PGPK) , yang dikenal dengan program Vision 2020: Right to Sight.

Tujuan pokok dari program Vision 2020: Right to Sight ini adalah untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh penglihatan yang optimal dengan sebuah gerakan inisiatif global yang berupaya untuk mengeliminasi berbagai penyebab penyakit kebutaan dan gangguan penglihatan yang terjadi di masyarakat.

Sejak tahun 2000, IAPB telah menetapkan World Sight Day sebagai kegiatan resmi yang seyogianya wajib dilaksanakan oleh negara negara anggotanya, termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia memang berkepentingan untuk ikut terlibat aktif dengan komunitas internasional dalam upaya PGPK di masyarakat.

Pasalnya, hasil Survei Nasional pada tahun 1993-1996 oleh Departemen Kesehatan RI memperlihatkan prevalensi ( angka penderita ) kebutaan yang cukup tinggi yakni 1.5 % sehingga menempatkan Indonesia di ranking pertama dengan prevalensi kebutaan tertinggi di kawasan negara negara di Asia Tenggara.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka kebutaan ini, diantaranya ialah dengan pencanangan program Vision 2020: Right to Sight, pada 15 Februari 2000 oleh Wakil Presiden RI saat itu, Ibu Megawati Soekarnoputri.

Melalui pencanangan Vision 2020 ini, berarti pemerintah wajib memberikan hak memperoleh penglihatan yang optimal bagi seluruh warga negara Indonesia. Salah satu indikatornya adalah berkurangnya jumlah warga negara Indonesia yang menyandang gangguan penglihatan dan kebutaan.

Sebagai implementasi dari program Vision 2020 ini, sejak tahun 2003 Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ) beserta organisasi profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami) dan para stakeholder menyusun Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ( yang lazim  disingkat dengan : Renstranas PGPK).

Saya, bersama sama dengan almarhum Prof. Dr. Farida Sirlan,SpM, Prof. Dr. Nila Moeloek,SpM(K), Prof.Dr.Tjahjono,SpM(K), Dr.dr.Habibah,SpM(K) dan rekan rekan di Seminat Oftalmologi Komunitas ikut terlibat dalam penyusunan Renstranas PGPK ini. Untuk mendukung dan mensosialisasikan Renstranas PGKP ini, Seminat Oftalmologi Komunitas (Ofkom) Perdami pernah menerbitkan tabloid Ofkom di sekitar tahun 2003-2007.

Dua tahun kemudian dokumen ini disahkan lewat Keputusan Menteri Kesehatan bernomor 1472/MENKES/SK/X/2005. Renstranas PGPK ini menjadi acuan dan pedoman dalam pelaksanaan program kesehatan indera penglihatan di Indonesia bagi institusi/organisasi pemerintah maupun non pemerintah ( swasta ).

KEGAGALAN RENSTRANAS PGPK

Namun sayangnya, Renstranas PGPK ini tidak terimplementasi sesuai rencana yang telah ditetapkan. Bahkan, kita tidak ragu-ragu mengatakan bahwa program nasional ini telah gagal total! . Selama satu dasawarsa, yakni sepanjang kurun waktu 2005-2015, tidak terlihat adanya kesungguhan pemerintah untuk melaksanakan Keputusan Menkes ini secara serius.

Setidaknya, ada 2 tanda yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan program ini.

Pertama. Renstranas PGPK menginstruksikan pemerintah untuk membentuk dan mendayagunakan Komite Nasional PGPK sampai ke tingkat Kabupaten/Kota.

Di tingkat pusat, Komite Nasional PGPK memang telah dibentuk, namun kenyataannya seakan akan dibiarkan 'mati suri' sehingga tidak mampu menjalankan tugas tugas pokok dan fungsinya karena tidak memperoleh dukungan dana, sarana dan prasarana yang memadai. Komite Nasional PGPK ini ibarat papatah 'bagai kerakap tumbuh di batu', hidup segan mati tak mau'.

Kalau di Pusat sendiri Komite Nasional diibaratkan sudah 'mati suri', apalagi di daerah daerah yang sampai berakhirnya program Renstranas PGPK ini, Komite daerah sama sekali belum terbentuk secara memadai.

Kedua. Meningkatnya angka gangguan penglihatan dan kebutaan Indonesia yang mencerminkan semakin bertambahnya jumlah penderita gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia.

Mulai tahun 2014 sampai tahun 2016, Kemenkes RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan ( Litbangkes ) mendanai dan melakukan survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness ( RAAB ) di 15 provinsi di Indonesia.

Dari hasil di 15 Propinsi tersebut, prevalensi kebutaan di Indonesia rata-rata 3 %. Tiga provinsi dengan prevalensi kebutaan di atas 50 tahun di Indonesia berkisar antara 1.7 % sampai 4.4 %. Prevalensi kebutaan di Indonesia adalah 3 % (buku Peta Jalan PGP di Indonesia tahun 2017-2030, halaman 6)

Dari data ini, terlihat bahwa jumlah warga masyarakat yang menderita kebutaan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan survei nasional tahun 1993 - 1996. Ini berarti program Renstranas PGPK yang dijalankan oleh pemerintah selama tahun 2005 sampai tahun 2015 tidak berhasil menurunkan angka kebutaan. Artinya, pemerintah telah gagal memenuhi hak hak warga masyarakat untuk memperoleh penglihatan yang optimal.

PETA JALAN PGP

Namun, pada tahun 2015, Kemenkes RI 'menghidupkan' kembali sekaligus mengaktifkan dan menstrukturisasi Komite Nasional PGPK menjadi Komite Mata Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia bernomor HK.02.02 MENKES/155/2015

Selanjutnya, Kemenkes RI meluncurkan sebuah program baru yang disebut dengan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan  di Indonesia Tahun 2017-2020 (Peta Jalan PGP)

Sumber : http://p2p.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2018/03/bahan-P2PTM-rakontek-P2P-20-Maret-2018-edit-6-.pdf
Sumber : http://p2p.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2018/03/bahan-P2PTM-rakontek-P2P-20-Maret-2018-edit-6-.pdf
Peluncuran Peta Jalan PGP ini dilakukan oleh Menteri Kesehatan pada waktu itu, Prof.Dr.dr.Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M(K) bertepatan dengan Hari Penglihatan Sedunia, 12 Oktober 2017 di Pontianak Kalimantan Barat. Andi F Noya (host acara Kick Andy, Metro TV) ditunjuk sebagai Ketua Komite Nasional.

Dalam perspektif Peta Jalan PGP, sasaran penanggulangan penglihatan di Indonesia dibagi menjadi dua yakni gangguan penglihatan akibat katarak dan gangguan penglihatan bukan akibat katarak yang berdasarkan penyebab lainnya seperti Kelainan Refraksi, Retinopati Diabetika, Glaukoma, Retinopati Prematuritas dan Low Vision.

Penyakit katarak merupakan penyebab gangguan penglihatan di Indonesia. Lebih kurang 70 % sampai 80 % gangguan penglihatan berat dan kebutaan disebabkan oleh katarak, sehingga prioritas program PGP pada Peta Jalan ini adalah menurunkan prevalensi gangguan penglihatan akibat katarak dengan tetap melakukan upaya PGP dengan penyebab lain.

Namun demikian, tujuan ini tidak mudah untuk dicapai mengingat prevalensi kebutaan di Indonesia masih relatif tinggi, jumlah operasi katarak di Indonesia yang terlihat dari angka Cataract Surgical Rate (CSR) yang masih sangat rendah serta terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh layanan operasi katarak, khususnya setelah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan  -- pada saat itu - memberlakukan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan nomor 2 tahun 2018 tentang Penjaminan Layanan Katarak di dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang membatasi jumlah operasi katarak pada setiap Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut.

Untuk mencapai target capaian, di dalam Peta Jalan PGP telah disusun jangka waktu dan sasaran yang akan dicapai untuk keberhasilan program PGP antara tahun 2017 -- 2030. Ada 3 tahap jangka waktu dengan masing masing target capaian dan komponennya yakni tahap 2017 -- 2019, tahap 2020 -- 2024 dan tahap 2025 -- 2030.

Disamping itu, Program percepatan PGP, di dalam Peta Jalan ini memuat 7 building blocks dengan pemaparan kondisi yang dihadapi, upaya  untuk mengatasinya serta keluaran yang diharapkan. Ke-7 building blocks tersebut adalah Tata Kelola, Sumber Daya Manusia dan Peralatan Kesehatan Mata, Akses Layanan Kesehatan Mata, Sistem Keuangan, Obat Obatan dan Teknologi Kesehatan, Teknologi Informasi serta Kemitraan.

Uraian lengkap tentang hal ini bisa dibaca di dalam buku Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-2020 yang diterbitkan oleh Kemenkes RI

KEGAGALAN PETA JALAN PGP

Sama halnya seperti Renstranas PGPK, program Peta Jalan PGP inipun sebetulnya sudah sangat baik, terperinci  dan komprehensif dalam upaya menanggulangi masalah Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di Indonesia. Namun lagi lagi, seperti halnya Renstranas PGPK, Peta Jalan PGP ini  tidak dapat terimplementasi sesuai target capaian yang telah ditentukan.

Sebagai contoh. Pada tahap 2017 -- 2019, Peta Jalan menargetkan ketersediaan data prevalensi gangguan penglihatan dan penyusunan rencana kerja PGP di tingkat Provinsi di Indonesia.

Dalam kenyataannya, data data yang terkait dengan gangguan penglihatan ini masih terlihat 'kacau balau' dan tidak teroskestrasi dengan baik. Kita juga tidak melihat adanya upaya untuk melakukan penyusunan analisa situasi dan rencana program PGP di seluruh Propinsi Indonesia untuk menindaklanjuti hasil RAAB. Di samping itu, target untuk membentuk Koordinator Program PGP di seluruh tingkat Propinsi tidak tercapai.

Demikian juga target membentuk Koordinator Program PGP dan rencana kerjanya di minimal 50 % Kabupaten/Kota di tiap Propinsi pada tahap 2020 -- 2024, tidak tercapai. Juga target peningkatan CSR ( Cataract Surgical Rate ) 500 operasi katarak per satu juta penduduk per tahun untuk mencapai angka CSR sebesar 3000 masih jauh dari harapan.

PGPPK & UU KESEHATAN

Undang Undang Kesehatan (UU Kesehatan) nomor 17 tahun 2023 yang telah diundang undangkan di dalam Lembaran Negara digadang gadang  akan dapat melakukan transformasi dan reformasi di bidang kesehatan di Indonesia.

Pertanyaan kita ialah apakah UU Kesehatan ini juga memberikan 'angin segar' untuk melakukan transformasi dan reformasi di bidang kesehatan mata, khususnya dalam upaya menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan di masyarakat yang tak kunjung teratasi selama puluhan tahun ?.

Secara spesifik uraian umum tentang kesehatan mata termaktub di dalam pasal 71 s/d 73  perihal Upaya Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran. UU Kesehatan juga mengamanahkan untuk menjabarkan turunan dari pasal 71 dan 72 ini ke dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam konteks penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ini, Kementerian Kesehatan RI lewat Direktorat P2PTM, telah berinisiatif untuk melakukan audiensi dengan Perdami sebagai satu satunya Organisasi Profesi Mata yang paling berkompeten , paling berpengalaman dan paling mengetahui seluk beluk di seputar upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia.

Audiensi Tim Task Force RPP Mata Perdami dengan Direktorat P2PTM Kemenkes RI, pada 11 September 2023 (sumber : dokumentasi pribadi)
Audiensi Tim Task Force RPP Mata Perdami dengan Direktorat P2PTM Kemenkes RI, pada 11 September 2023 (sumber : dokumentasi pribadi)

Tujuan dari audiensi ini adalah untuk memberikan masukan terhadap penyusunan RPP khususnya tentang Upaya Kesehatan Mata atau Penglihatan, yang ditargetkan - bersama sama RPP lainnya - akan selesai pada akhir bulan September ini.

Kita tentunya berharap munculnya Peraturan Pemerintah terkait dengan Upaya Kesehatan Penglihatan ini benar benar akan memberikan  momentum baru terhadap upaya PGPK di Indonesia sekaligus  memiliki pijakan yuridis normatif yang kuat untuk dapat diimplementasikan secara sungguh sungguh dari pusat sampai ke daerah daerah di seluruh Indonesia.

Belajar dari pengalaman pengalaman sebelumnya, seyogyanya regulasi ini nantinya jangan hanya hanya menjadi teks teks indah yang tersurat di dalam lembaran lembaran kertas/digital, namun tidak dijalankan sama sekali.
Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun