Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka kebutaan ini, diantaranya ialah dengan pencanangan program Vision 2020: Right to Sight, pada 15 Februari 2000 oleh Wakil Presiden RI saat itu, Ibu Megawati Soekarnoputri.
Melalui pencanangan Vision 2020 ini, berarti pemerintah wajib memberikan hak memperoleh penglihatan yang optimal bagi seluruh warga negara Indonesia. Salah satu indikatornya adalah berkurangnya jumlah warga negara Indonesia yang menyandang gangguan penglihatan dan kebutaan.
Sebagai implementasi dari program Vision 2020 ini, sejak tahun 2003 Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ) beserta organisasi profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami) dan para stakeholder menyusun Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ( yang lazim  disingkat dengan : Renstranas PGPK).
Saya, bersama sama dengan almarhum Prof. Dr. Farida Sirlan,SpM, Prof. Dr. Nila Moeloek,SpM(K), Prof.Dr.Tjahjono,SpM(K), Dr.dr.Habibah,SpM(K) dan rekan rekan di Seminat Oftalmologi Komunitas ikut terlibat dalam penyusunan Renstranas PGPK ini. Untuk mendukung dan mensosialisasikan Renstranas PGKP ini, Seminat Oftalmologi Komunitas (Ofkom) Perdami pernah menerbitkan tabloid Ofkom di sekitar tahun 2003-2007.
Dua tahun kemudian dokumen ini disahkan lewat Keputusan Menteri Kesehatan bernomor 1472/MENKES/SK/X/2005. Renstranas PGPK ini menjadi acuan dan pedoman dalam pelaksanaan program kesehatan indera penglihatan di Indonesia bagi institusi/organisasi pemerintah maupun non pemerintah ( swasta ).
KEGAGALAN RENSTRANAS PGPK
Namun sayangnya, Renstranas PGPK ini tidak terimplementasi sesuai rencana yang telah ditetapkan. Bahkan, kita tidak ragu-ragu mengatakan bahwa program nasional ini telah gagal total! . Selama satu dasawarsa, yakni sepanjang kurun waktu 2005-2015, tidak terlihat adanya kesungguhan pemerintah untuk melaksanakan Keputusan Menkes ini secara serius.
Setidaknya, ada 2 tanda yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan program ini.
Pertama. Renstranas PGPK menginstruksikan pemerintah untuk membentuk dan mendayagunakan Komite Nasional PGPK sampai ke tingkat Kabupaten/Kota.
Di tingkat pusat, Komite Nasional PGPK memang telah dibentuk, namun kenyataannya seakan akan dibiarkan 'mati suri' sehingga tidak mampu menjalankan tugas tugas pokok dan fungsinya karena tidak memperoleh dukungan dana, sarana dan prasarana yang memadai. Komite Nasional PGPK ini ibarat papatah 'bagai kerakap tumbuh di batu', hidup segan mati tak mau'.
Kalau di Pusat sendiri Komite Nasional diibaratkan sudah 'mati suri', apalagi di daerah daerah yang sampai berakhirnya program Renstranas PGPK ini, Komite daerah sama sekali belum terbentuk secara memadai.