Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata/Magister Hukum Kesehatan

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Upaya Eliminasi Kebutaan, Jalan di Tempat?

7 Oktober 2015   22:53 Diperbarui: 7 Oktober 2015   23:27 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dr. Riki Tsan, SpM*

Mungkin sedikit sekali orang yang menyadari bahwa setiap hari Kamis di minggu kedua di bulan Oktober diperingati sebagai World Sight Day (WSD) atau Hari Penglihatan Dunia. World Sight Day, yang tahun ini jatuh pada tanggal 8 Oktober, merupakan hari kepedulian internasional terhadap berbagai isu global yang berkaitan dengan masalah kebutaan dan gangguan penglihatan yang diderita oleh penduduk planet bumi ini. Tema WSD tahun ini adalah ‘Universal Eye Health, Eye Care For All’ yang merupakan tahun ketiga dari rencana aksi global yang dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

WHO melaporkan, ada lebih dari 285 juta penduduk dunia yang mengalami masalah dalam penglihatan. Lebih kurang 39 juta orang diantaranya menderita kebutaan, sedangkan 246 juta orang lainnya mengalami gangguan penglihatan. Sementara itu, 90 % para penyandang gangguan penglihatan dan kebutaan ini hidup di negara negara dengan pendapatan rendah. Menurut WHO, jika keadaan seperti ini dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan apapun, maka jumlah penderita gangguan penglihatan dan kebutaan ini akan membengkak menjadi dua kali lipat pada tahun 2020.

Bertolak dari data data tersebut di atas, WHO telah menyusun strategi upaya penanggulangan masalah kesehatan mata, yang beberapa tahun yang silam menjadi landasan munculnya program Vision 2020: The Right to Sight, yakni sebuah gerakan inisiatif global yang bertujuan untuk mengeliminasi berbagai penyakit kebutaan yang seharusnya dapat dihilangkan atau dicegah, yang lazim disebut dengan avoidable blindnes.

Vision 2020: The Right to Sight, merupakan joint programme yang diprakarsai oleh WHO dengan International Agency for the Prevention of Blindness ( IAPB), sebuah organisasi yang memayungi berbagai kelompok profesi dan organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan mata masyarakat. Sejak tahun 2000, IAPB telah menetapkan WSD sebagai kegiatan resmi di dalam agenda acaranya yang seyogyanya wajib dilaksanakan oleh 140 anggota IAPB, termasuk Indonesia.

Di tingkat nasional, berbagai penelitian terkait dengan angka gangguan penglihatan dan kebutaan telah banyak dilakukan, seperti Survei Kesehatan Mata Nasional 1982 dan 1993-1996, Survei Kesehatan Nasional/Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 , Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2007 dan 2013 serta Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di berbagai daerah pada kurun waktu 2005-2014 menghasilkan angka prevalensi kebutaan rata rata lebih dari 1 % - yang, jika mengacu kepada kriteria WHO- masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan juga masalah sosial.

Dibandingkan dengan angka kebutaan nasional di negara–negara Asia lainnya, angka kebutaan Indonesia menduduki ranking tertinggi. Hasil Survei Nasional pada tahun 1993-1996 misalnya, memperlihatkan angka kebutaan nasional kita (1.5 %) masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kebutaan nasional di negara negara kawasan Asia ,termasuk Asia Tenggara, seperti India, Banglades, Malaysia, Singapura ataupun Thailand.

Untuk mengatasi keadaan tersebut di atas, pada tanggal 15 Februari 2000, Pemerintah Indonesia melalui Wakil Presiden RI saat itu, Ibu Megawati Soekarnoputri , mencanangkan program Vision 2020 : The Right to Sight di Indonesia. Dengan pencanangan Vision 2020 : The Right to Sight tersebut berarti pemerintah bertanggung jawab memberikan hak bagi setiap warganegara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan yang optimal pada tahun 2020 dengan salah satu indikatornya menurunnya angka kebutaan nasional.

Untuk memenuhi amanah Vision 2020 : The Right to Sight yang mengharuskan setiap negara menyusun national plan masing – masing , maka pada tahun 2003, Kementerian Kesehatan RI bersama – sama dengan organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia ( Perdami ) dan stake holder lainnya mulai menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ( Stranas PGPK ), yang kemudian disahkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1473/MENKES/SK/X/2005 . Dokumen Stranas PGPK ini merupakan pedoman bagi Program Kesehatan Indera Penglihatan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia.

Dalam dokumen Staranas PGPK tersebut, disebutkan bahwa penyebab utama kebutaan di Indonesia adalah penyakit katarak, glaukoma, kelainan retina dan kelainan refraksi serta penyakit – penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut. Angka kebutaan yang disebabkan oleh penyakit katarak meliputi lebih dari separuh angka kebutaan nasional. Selain faktor degeneratif, kejadian katarak juga dipicu oleh kondisi lingkungan Indonesia sebagai negara tropis, tingginya paparan sinar ultraviolet serta komplikasi berbagai penyakit sistemik diantaranya, penyakit Diabetes Melitus yang angka kesakitannya cukup tinggi di Indonesia.

Disamping itu, besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 berjumlah 15,3 juta orang. Jumlah tersebut cenderung bertambah besar karena berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik , pada tahun 2025 penduduk berusia lanjut di Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 414 % dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis. Sekitar 16 % sampai 22 % penderita katarak yang menjalani operasi katarak berusia di bawah 56 tahun.

Walaupun kebutaan yang disebabkan oleh katarak tidak akan mengancam jiwa manusia, namun penyakit ini akan merusak kualitas hidup seseorang. Ia tidak hanya mengganggu produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga akan menimbulkan dampak sosioekonomi yang cukup berat bagi masyarakat dan negara, yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, karena biaya operasi katarak yang tidak murah, mengakibatkan sebagian masyarakat , khususnya masyarakat dengan tingkat sosioekonomi rendah atau miskin, sulit memperoleh pelayanan operasi katarak. Sedemikian besarnya dampak sosial ekonomi, yang harus ditanggung masyarakat. , maka implikasi terhadap aspek finansial yang diakibatkan oleh buta katarak harus sungguh sungguh diperhitungkan karena akan menjadikan beban bagi masyarakat dan pemerintah.

Pada bagian lain, WHO juga menegaskan bahwa sebetulnya delapan puluh persen kebutaan yang diderita oleh masyarakat dunia tersebut dapat dihindarkan (avoidable), baik dengan cara pencegahan (preventable) ataupun penyembuhan/pengobatan (curable), serta dapat dipulihkan kembali (rehabilitative). Secara klinis, kebutaan ataupun gangguan penglihatan yang diakibatkan oleh penyakit katarak dapat disembuhkan dan direhabilitasi kembali.

Mengingat kebutaan yang diakibatkan oleh penyakit katarak memberikan proporsi terbesar kepada angka kebutaan nasional, maka strategi penanggulangan kebutaan yang diakibatkan oleh penyakit katarak tersebut merupakan salah satu diantara intervensi medis yang paling mungkin untuk dilakukan. Tidak ada penatalaksanaan efektif lain yang dapat dilakukan dalam penanggulangan buta katarak, selain melakukan tindakan bedah katarak . Kenapa harus dengan bedah katarak ?.

Bedah katarak adalah salah satu intervensi medis yang paling hemat biaya (cost effective) yang sekarang ini sudah lazim dilakukan di berbagai belahan dunia serta terbukti secara signifikan mampu mengembalikan sekaligus mengoptimalisasikan fungsi penglihatan para penderita buta katarak. Intervensi operatif yang massif terhadap penderita buta katarak sama hematnya dengan imunisasi dan dapat menghasilkan hasil yang sangat baik, yang kemudian diyakini dapat menurunkan angka kebutaan nasional . Di sisi lain, pulihnya fungsi penglihatan, akan disertai dengan peningkatan kualitas hidup dari penderita dan masyarakat secara keseluruhan. Lalu, seperti apa upaya penanggulangan kebutaan katarak yang telah dilaksanakan selama ini ?.

Di dalam catatan Perdami, jumlah total operasi katarak yang telah dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan mencapai lebih kurang 170.000 mata . Jumlah ini masih jauh dari target minimal yang harus dicapai , mengingat jumlah ini bahkan tidak dapat mengatasi kasus – kasus katarak yang muncul setiap tahunnya (incidence rate) di Indonesia yang diperkirakan sebesar 0.1% atau lebih dari 200 ribu kasus katarak baru. Belum lagi jika diperhitungkan fenomena backlog cataract, yakni penumpukan jumlah sisa penderita yang tak tertangani pada tahun tahun sebelumnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan upaya penanggulangan buta katarak di Indonesia tidak dapat mencapai target yang diinginkan. Secara umum, problem mendasar yang kita hadapi ialah bahwa sampai saat ini upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan ( PGPK ) belum dianggap sebagai program prioritas oleh Pemerintah.

Selama ini, umumnya upaya PGPK dilakukan oleh organisasi profesi maupun organisasi masyarakat non-pemerintah . Organisasi profesi dokter spesialis mata Perdami misalnya berinisiatif menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi swasta, lembaga sosial masyarakat, organisasi nonpemerintah maupun badan usaha milik negara, diantaranya lewat program corporate social responsibility (CSR) untuk membantu pembiayaan dalam penanggulangan buta katarak di Indonesia. Misalnya, pada tahun 1982, Yayasan Dharmais mulai bekerja secara massif membantu Perdami menanggulangi buta katarak di seluruh Indonesia. Lalu, pada tahun 2010, Kompas dengan program Mata Hati memantapkan komitmen filantrofiknya untuk bersama sama Perdami berupaya mengentaskan buta katarak yang diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sampai saat ini telah tercatat puluhan lembaga sosial masyarakat/organisasi nonpemerintah yang membantu pembiayaan bakti sosial bedah katarak Perdami.

Tampaknya, Kemenkes RI akhir akhir ini telah mulai pula memberikan perhatian yang amat besar kepada upaya PGPK di Indonesia. Salah satu upaya tersebut diantaranya ialah ‘menghidupkan’ kembali Komite Mata Nasional (Komatnas) yang selama ini ‘mati suri’. Komite Mata Nasional inilah – dengan Andi F Noya, sebagai Ketuanya - yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan Strategi Nasional PGPK di Indonesia.

Masalah lain dalam PGPK di Indonesia ialah belum tertatanya sistim pelayanan kesehatan indera penglihatan yang integratif dan komprehensif. Rencana aksi PGPK belum disusun secara terencana dan sistematis serta masih bersifat sporadis dan berjalan secara sektoral-regional sehingga tentu saja sulit mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi ini semakin diperberat dengan lemahnya manajemen informasi dan pendataan dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan mulai dari pusat sampai ke daerah.

Terkait dengan kondisi tersebut di atas dan dengan melihat realisasi Strategi Nasional PGPK yang selama ini belum begitu memuaskan, tentu timbul sebuah pertanyaan besar , bagaimana dengan pencapaian target penurunan angka kebutaan nasional dan pemenuhan hak hak setiap warganegara untuk memperoleh penglihatan yang optimal di tahun 2020 yang tinggal lima tahun di depan kita?.

World Sight Day 2015 mengingatkan kita semua untuk menegaskan kembali komitmen dan kepedulian kita akan pentingnya mengatasi masalah kebutaan dan gangguan penglihatan di masyarakat serta secara serius dan sungguh – sungguh berupaya untuk mewujudkan Vision 2020: The Right to Sight di negeri tercinta ini.

Selamat memperingati World Sight Day, Hari Penglihatan Dunia!


*Pengurus Pusat Perdami

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun