Dengan mencermati kedua kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses penegakan hukum pidana terhadap kasus kasus medis yang dikategorikan sebagai tindak pidana medik terlihat belum adanya kesamaan pandangan diantara para aparat penegak hukum (APH) , mulai dari proses penyelidikan, penyidikan sampai proses pemidanaan di pengadilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri , Pengadilan Tinggi sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Ada 2 alasan kenapa hal tersebut dapat terjadi.
Pertama.
Para hakim selalu membuat putusan yang sama terhadap kasus kasus  pidana medik seperti pidana umum lainnya.
Mereka selalu menghindari lex spesialis ( pengkhususan ) atas kasus kasus medis sehingga tidak ada pembedaan dengan kasus kasus pidana umum.
Mereka memberlakukan ketentuan yang ada di dalam tindak pidana umum terhadap tindak pidana medik.
Dr. dr. M. Nasser,Sp.DVE, D.Law , mengatakan bahwa dalam penerapan hukum pidana ( criminal Law ) di Indonesia sampai saat ini semua tindak pidana medik itu masih disamakan dan diperlakukan sebagai tindak pidana umum.
Kalau Prof.Muladi dan Prof. Barda Nawawi menyebut adanya fenomena disparity of sentencing ( disparitas pemidanaan ) dalam praktik pengadilan di Indonesia, yakni pembedaan penjatuhan pidana terhadap perkara tindak pidana yang sama, maka saya menyebut fenomena di atas sebagai disporpotionality in sentencing ( disproporsionalitas pemidanaan ) yaitu memberlakukan pemidanaan yang sama terhadap perkara pidana yang berbeda.
Terkait dengan hal terakhir ini, saya teringat dengan ucapan Ezechia Marco Lombroso (6 November 1835 -- 19 Oktober 1909), seorang kriminolog Italia dan pendiri Mazhab Kriminologi Positivis Italia, yang mengatakan : ' Sepanjang  setiap pelaku tindak pidana mempunyai kebutuhan kebutuhan yang berbeda beda, adalah merupakan suatu kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama kepada semua orang yang melakukan tindak pidana tertentu ' ( Teori Teori dan Kebijakan Pidana,hal.63 )
Dengan meminjam ungkapan Lombroso ini, maka menerapkan pidana umum terhadap profesi medis  pada kasus kasus medis, - ma'af - adalah suatu kebodohan !.
Kedua.
Akar penyebab dari perbedaan putusan kedua kasus tersebut -- menurut Dr.dr.Efrila,SH,MH -- adalah akibat tidak ditemukannya dasar ilmu hukum dalam menentukan ukuran kelalaian ( Rekonstruksi Model Penegakan Hukum Pidana Pada Profesi Dokter,hal.252 )
Ironisnya, seperti dikatakan oleh dr.Nazar,SpB,MHKes, bahwa semua tuntutan terhadap dokter hampir selalu digolongkan sebagai kasus pidana akibat kelalaian dengan menggunakan pasal 359 dan 360 KUHP
Sementara itu, Dr. Widodo Tresno Novianto,SH,MHÂ menyatakan, bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan dalam melakukan penilaian dan pertimbangan hukum mengenai unsur kelalaian ( beliau menggunakan kata kealpaan ). Pengertian kealpaan , lanjutnya, harus dikaitkan dengan profesi dokter itu sendiri.