Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

BERKHIDMAT DALAM HUKUM KESEHATAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum

'Mengulik' Soal Kelalaian dan Pemidanaan Medik - Sebuah Pengantar

4 Oktober 2024   10:43 Diperbarui: 28 Oktober 2024   05:58 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by dr.Riki Tsan,SpM ( mhs STHM MHKes-V)

Tahun 1981 terjadi sebuah kasus yang amat menggegerkan dunia kesehatan Indonesia.  

Dokter Rusmini Setyaningrum atau biasa dipanggil dr. Setyaningrum yang saat itu bekerja di sebuah puskesmas di Pati , Jawa Tengah,  menyuntikkan cairan antibiotik ke tubuh pasiennya untuk membantu mengatasi penyakitnya. Nahas, tanpa diduga pasien mengalami kejang kejang, pertolongan yang diberikan tidak membantu si pasien dan akhirnya  ia meninggal dunia.

Dokter Setyaningrum 'diseret' ke meja pengadilan untuk dimintai pertanggungjawabannya.

Di dalam persidangan, hakim memutuskan dr. Setyaningrum telah melakukan kejahatan karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia yang didasarkan pada pasal 359 Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan diberikan sanksi pidana oleh Pengadilan Negeri Pati  serta kemudian diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang.

Namun, dia dibebaskan oleh putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa dakwaan  tersebut tidak terbukti.

Kasus dr.Setyaningrum ini memantik lahirnya sebuah kajian baru di dunia hukum di Indonesia yang disebut dengan Hukum Kesehatan yang kemudian tumbuh dan berkembang sampai hari ini.

Lebih dari 30 tahun kemudian,di sebuah rumah sakit di Manado, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani ( dr.Ayu ), dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian melakukan operasi Caesar terhadap pasien ibu Siska yang berada dalam keadaan gawat darurat. Bayinya selamat, tetapi si ibu meninggal dunia. Keluarga  pasien mengadukan ketiga dokter tersebut kepada aparat penegak hukum. Di Pengadilan Negeri Manado ketiga dokter tersebut dinyatakan tidak terbukti bersalah dan dibebaskan

Namun, di tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung memutuskan ketiganya bersalah  yang didasarkan pada pasal 365 KUHP, karena kelalaian mereka menyebabkan orang lain meninggal dunia. Para hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada dr. Ayu dan kedua rekan sejawatnya itu selama 10 bulan penjara.

Berdasarkan putusan tersebut terhadap ketiga dokter tersebut dilakukan penahanan seperti pelaku kejahatan kriminal.


Tim Kejagung menangkap dr.Ayu di tempat praktiknya dengan cara memborgolnya seperti layaknya seorang pembunuh, sedangkan dr. Hendri dan dr.Hendi dijemput paksa dan ditangkap  di rumah mereka masing masing

Peristiwa ini menimbulkan keresahan, berbagai protes, demonstrasi dan aksi solidaritas yang intinya menolak kriminalisasi terhadap dr. Ayu dan kawan kawan dari seluruh dokter di Indonesia pada  penghujung tahun 2013

Namun pada tanggal 7 Februari 2014, Majelis Peninjauan Kembali membebaskan dr. Ayu dan kawan kawan dengan amar putusan yang membatalkan kasasi  yang sebelumnya menghukum  mereka selama 10 bulan penjara.

Dengan mencermati kedua kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses penegakan hukum pidana terhadap kasus kasus atau perkara perkara medis yang dikategorikan sebagai tindak pidana medik terlihat belum adanya kesamaan pandangan diantara para aparat penegak hukum (APH) , mulai dari proses penyelidikan, penyidikan sampai proses pemidanaan di pengadilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri , Pengadilan Tinggi sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Menurut pendapat saya, ada 2 alasan kenapa hal tersebut dapat terjadi.

Pertama.
Para hakim selalu membuat putusan yang sama terhadap kasus kasus  pidana medik seperti pidana umum lainnya.
Mereka selalu menghindari lex spesialis ( pengkhususan ) atas kasus kasus medis sehingga tidak ada pembedaan dengan kasus kasus pidana umum.
Mereka memberlakukan ketentuan yang ada di dalam tindak pidana umum terhadap tindak pidana medik.

Dr. dr. M. Nasser,Sp.DVE, D.Law , mengatakan bahwa dalam penerapan hukum pidana ( criminal Law ) di Indonesia sampai saat ini semua tindak pidana medik itu masih disamakan dan diperlakukan sebagai tindak pidana umum.

Kalau Prof.Muladi dan Prof. Barda Nawawi menyebut adanya fenomena disparity of sentencing ( disparitas pemidanaan ) dalam praktik pengadilan di Indonesia, yakni pembedaan penjatuhan pidana terhadap perkara tindak pidana yang sama, maka saya menyebut fenomena di atas sebagai disporpotionality in sentencing ( disproporsionalitas pemidanaan ) yaitu memberlakukan pemidanaan yang sama terhadap perkara pidana yang berbeda.

Dalam konteks ini,disproporsionalitas adalah memberlakukan pemidanaan yang sama terhadap perkara perkara medis yang sesungguhnya berbeda dengan perkara pidana umum.

https://id.wikipedia.org/wiki/Cesare_Lombroso
https://id.wikipedia.org/wiki/Cesare_Lombroso

Terkait dengan hal terakhir ini, saya teringat dengan ucapan Ezechia Marco Lombroso (6 November 1835 - 19 Oktober 1909), seorang kriminolog Italia dan pendiri Mazhab Kriminologi Positivis Italia, yang mengatakan : ' Sepanjang  setiap pelaku tindak pidana mempunyai kebutuhan kebutuhan yang berbeda beda, adalah merupakan suatu kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama kepada semua orang yang melakukan tindak pidana tertentu ' ( Teori Teori dan Kebijakan Pidana, Prof.Muladi/Prof.Barda Nawawi, hal.63 )

Dengan meminjam ungkapan Lombroso ini, maka menerapkan pidana umum terhadap profesi medis  pada kasus kasus medis, - ma'af - adalah suatu kebodohan !.

Kedua.
Akar penyebab dari perbedaan putusan kedua kasus tersebut - menurut Dr.dr.Efrila,SH,MH -- adalah akibat tidak ditemukannya dasar ilmu hukum dalam menentukan ukuran kelalaian ( Rekonstruksi Model Penegakan Hukum Pidana Pada Profesi Dokter,hal.252 )

Ironisnya, seperti dikatakan oleh dr.Nazar,SpB,MHKes, bahwa semua tuntutan terhadap dokter hampir selalu digolongkan sebagai kasus pidana akibat kelalaian dengan menggunakan pasal 359 dan 360 KUHP

Sementara itu, Dr. Widodo Tresno Novianto,SH,MH menyatakan, bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan dalam melakukan penilaian dan pertimbangan hukum mengenai unsur kelalaian ( beliau menggunakan kata kealpaan ). Pengertian kealpaan , lanjutnya, harus dikaitkan dengan profesi dokter itu sendiri.

Jangankan kelalaian di dalam tindak pidana medik, di dalam tindak pidana umum pun sebetulnya unsur kelalaian yang merupakan salah satu bentuk kesalahan yuridis ( schuld) masih menjadi persoalan. 

Dr. Chairul Huda,SH,MH di dalam disertasinya mengatakan bahwa kesalahan masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan teoretis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum ( Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,hal.1 ) 

Tentu saja, asas keadilan  sudah pasti tidak akan pernah dapat dicapai jika semua kasus kasus medis ditangani sebagai tindak pidana umum dimana dugaan terjadinya kelalaian di dalam perkara perkara  medis yang kita sebut dengan kelalaian medik disamakan dengan kelalaian di dalam perkara perkara tindak pidana umum lainnya, demikian tutur Dr.Nasser.

Di sisi lain, perbedaan penafsiran terhadap unsur kelalaian sebagai unsur yang sangat penting di dalam suatu tindak pidana menyebabkan munculnya ketidakpastian hukum terhadap para tenaga medis yang berujung kepada ketidakmanfaatan penjatuhan sanksi pidana kepada mereka.

Padahal,  Gustav Radbruch ( 21 November 1878 -- 23 November 1949), seorang ahli hukum dan politikus terkenal Jerman menyatakan bahwa hukum itu  harus dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

Bertolak dari uraian di atas, kami telah melakukan sebuah penelitian yang mendalam terhadap unsur kelalaian dan pemidanaan di dalam tindak pidana medik yang kemudian dituangkan di dalam naskah tesis dengan dibimbing oleh pakar hukum kesehatan Indonesia, Dr.dr.M.Nasser,SpDVE, D.Law.

Hasil penelitian tesis ini telah dipresentasikan dan diuji di dalam sidang ujian tesis, pada tanggal 1 Oktober 2024, di kampus Sekolah Tinggi Hukum Militer ( STHM ) Prodi Magister Hukum Kesehatan, Jakarta, dengan para penguji - selain Dr.M.Nasser - Kolonel Chk Purn Dr. Agustinus PH., S.H., M.H, pakar hukum pidana dan hakim agung tindak pidana korupsi (tipikor), Mayor. Chk (k) Ani Maryani , S.H., M.H. serta Ketua STHM, Brigjen TNI Dr. Rokhmat, S.H., C.N., M.Kn. , yang juga selaku Ketua Penguji.

Hasil penelitian yang telah lulus uji dengan memperoleh nilai terbaik ini akan ditulis secara 'mencicil' dalam media kompasiana ini.

Salam sehat buat kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun