by  dr.Riki Tsan,SpM ( mhs STHM MHKes V )
Pada tanggal 3 Oktober 2019, ribuan perawat se-Provinsi Lampung, menggelar aksi solidaritas terhadap rekan mereka Jumraini, perawat di Kabupaten Lampung Utara yang dituduh melakukan malapraktik dan ditahan di rumah tahanan Kotabumi. Apa masalahnya ?.
Jauh hari sebelum ditahan di rumah tahanan , ada sebuah peristiwa dimana Jumraini diminta untuk memberikan pertolongan di rumahnya terhadap seorang warga masyarakat bernama Alex usia 19 tahun yang menderita infeksi tetanus di kakinya yang sudah sangat parah. Pertolongan yang diberikan Jumraini tidak menghasilkan penyembuhan, bahkan setelah beberapa waktu, pasien  ini masuk ke rumah sakit, dirawat dan akhirnya meninggal dunia disana.
Keluarga pasien menuntutnya secara hukum. Jumraini ditahan dan disidang di Pengadilan Negeri Kota Bumi. Pada Kamis/19 Desember 2019, Pengadilan Negeri Kota Bumi membacakan putusannya dan menyatakan bahwa Jumraini terbukti telah bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya dengan tidak memiliki izin untuk melakukan tindakan medis sehingga menyebabkan pasien Alex meninggal dunia. Ia dijatuhi sanksi denda 20 juta rupiah atau kurungan 6 bulan.
Masyarakat, para Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan memprotes putusan ini dan menganggap putusan ini tidak adil. Mereka bertanya bertanya bagaimana mungkin seorang Tenaga Kesehatan, seperti perawat Jumraini dapat didakwa dan kemudian diputuskan melakukan tindak pidana kriminal, padahal ia dimintai untuk memberikan pertolongan terhadap pasien yang menderita sakit parah dan berada dalam keadaan gawat darurat. Bukannya dilindungi malah divonis melakukan kejahatan ?.
Marilah kita telaah kasus ini lebih mendalam.
Sebagai seorang perawat yang memahami betul kasus kasus gawat darurat , Jumraini pada mulanya menyarankan agar pasien Alex segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan yang lebih baik. Tetapi, karena alasan ketiadaan biaya, pasien dan keluarganya menolak saran dari Jumraini.
Di dalam Undang Undang Kesehatan, pasien pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat  itu sebetulnya menjadi tanggung jawab rumah sakit atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk menanganinya, tidak boleh ada yang menolak dan juga dilarang mendahulukan segala urusan urusan administratif ( termasuk uang biaya ) sehingga menyebabkan tertundanya Pelayanan Kesehatan demi menyelamatkan jiwa pasien.
Namun, karena didorong oleh  rasa kemanusiaan dan tanggung jawab moral profesi, Jumraini akhirnya bersedia -- dengan fasilitas dan sarana  yang sangat terbatas -- mengulurkan tangannya untuk membantu pasien Alex.
Karena itulah, Jumraini tidak bisa didakwa telah melakukan kelalaian dengan membiarkan orang lain dalam keadaan sengsara atau bahaya dan tidak memberikan pertolongan kepadanya yang mengacu kepada pasal 531 dan 304 KUHP. Jumraini melakukan tindakan medis merawat luka pasien Alex sesuai dengan standar kompetensi dan standar pelayanan yang sesuai.
 Namun, di dalam sidang pengadilan, Jumraini diputus bersalah oleh hakim karena terbukti memenuhi unsur kesalahan yang termaktub pada pasal 46 ayat 1 Undang Undang No. 36 Tahun 2014 yakni menyatakan bahwa setiap Tenaga Kesehatan yang menyelenggarakan praktek wajib memiliki izin. Izin yang dimaksud tersebut berbentuk Surat Izin Praktik  ( dalam hal ini, SIPP)  yang dibunyikan pada pasal 46 ayat 1 Undang Undang Tenaga Kesehatan.
Dalam kasus ini, Jumraini disebut sebut dengan sengaja melakukan perawatan terhadap Alex karena adanya desakan Arena adik Alex, sehingga Jumraini dinilai telah lalai dan melakukan perawatan secara langsung tanpa ada izin praktik.
Jumraini juga didakwa melanggar pasal 359 dan 360 KUHP yang berbunyi 'Barangsiapa apabila melakukan kesalahan sehingga berdampak pada kematian seseorang maka akan di pidana penjara selama 5 tahun atau dengan kurungan selama 1 tahun'
Selain itu juga diatur dalam pasal 84 UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang apabila melakukan kelalaian berat sehingga membuat pasien tersebut luka berat maka akan di pidana penjara selama lama nya 3 tahun, namun apabila kelalaian berat tersebut mengakibatkan pasien meninggal dunia maka akan dipidana selama lamanya 5 tahun.
Kita tidak sependapat dengan  pertimbangan hakim tersebut karena beberapa alasan berikut :
Jumraini melakukan tindakan medis untuk membantu atau memberikan pertolongan terhadap pasien Alex di luar rumah sakit tempat dia bekerja. Dia melakukan tindakan  medis tersebut bukanlah pada Praktik Mandiri. Dia memang tidak memiliki SIPP di tempat itu.
Namun, harus diingat -- jika mengacu kepada Undang Undang Kesehatan -- baik Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan ketika memberikan pertolongan darurat atau pemberian layanan kesehatan yang bersifat insidentil tidak memerlukan Surat Izin di tempat tersebut ( pasal 265 ). Perawat Jumraini tidak memerlukan SIPP ketika membantu pasien Alex.
Adapun sanksi pidana bagi seorang Tenaga Medis yang berpraktik tanpa memiliki Surat Izin telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi  pada tahun 2007 lewat putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 4/PUU-V/2007, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Lalu, menurut UU Kesehatan, seorang Tenaga Medis/Tenaga Kesehatan  yang berpraktik tanpa memiliki Surat Izin atau Surat Izin sudah melewati tanggal kedaluarsa hanya dikenakan sanksi administratif saja dan bukan sanksi pidana.
Infeksi tetanus pada kaki pasien Alex yang kemudian mengakibatkan kematiannya harus dibuktikan lebih mendalam. Kematian pasien Alex yang diakibatkan sepsis yang dialami oleh korban tidak serta merta dapat langsung dikaitkan dengan tindakan medis yang dilakukan oleh Jumraini. Â
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kondisi korban sehingga menyebabkan korban meninggal dunia dihubungkan dengan fakta di dalam persidangan yaitu tidak dilakukannya autopsi terhadap korban Alex, sehingga kurangnya scientific evidence untuk dipertimbangkan.
Dengan perkataan lain, tidak terbukti sama sekali adanya korelasi antara kematian pasien Alex dengan tindakan medis yang dilakukan oleh Jumraini. Namun, ironisnya, Jumraini tetap saja diputus bersalah telah melakukan tindak pidana dan mendapatkan hukuman pidana.
KESIMPULAN/SARAN
Berangkat dari uraian di atas, kita menyimpulkan sebagai berikut
- Perawat Jumraini memiliki kompetensi dan kewenangan dalam menangani kasus gawat darurat. Didorong oleh rasa kemanusiaan dan kewajiban moral , Jumraini k membantu pasien Alex yang menderita penyakit yang parah dan yang berpotensi mengancam jiwanya . Dia  tidak memerlukan Surat Izin untuk melakukan tindakan tersebut yang memang tidak diperlukan dalam penanganan kasus gawat darurat.
- Pertimbangan hukum yang disampaikan di dalam Putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan Jumraini telah melakukan tindak pidana tidak tepat, karena tidak ada unsur kelalaian di dalam tindakan yang dilakukan oleh Jumraini dan tidak terbukti tindakan medis yang dilakukan Jumraini menyebabkan kematian pasien Alex.
- Sampai saat ini, belum ada perlindungan hukum yang konkrit dan mewujud terhadap para para perawat dan juga para Tenaga Kesehatan lainnya serta para Tenaga Medis dalam memberikan pelayanan kepada pasien, khususnya yang berada dalam kondisi gawat darurat.
Saran kita adalah perlunya edukasi, informasi dan sosialisasi kepada para Aparat Penegak Hukum (APH) berkaitan dengan penerapan hukum pidana umum atau unsur unsur tindak pidana terhadap kasus kasus medis, yang kita sebut dengan Tindak Pidana Medik, yang berbeda dengan Tindak Pidana Khusus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H