by dr.Riki Tsan,SpM- Mhs STHM MHKes V
Beberapa bulan yang  lalu saya melakukan operasi katarak terhadap seorang bapak yang berumur hampir 70 tahun di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi. Bapak ini adalah mantan hakim yang pernah bekerja di Pengadilan Tinggi dan kini sudah memasuki masa pensiun.
Pada kontrol hari pertama setelah operasi, keadaan mata kirinya menjadi lebih baik, namun belum mencapai tajam penglihatan yang normal. Â Saya berkata kepadanya ; 'Pak, saya mohon ma'af, hasil operasi belum sesuai dengan harapan bapak. 'Saya sudah berusaha sebaik baiknya'
Dengan sangat bijak si bapak 'mantan hakim' ini berkata, ' Tidak ada yang perlu dima'afkan, dok', ujarnya. 'Malah, sayalah yang harus berterima kasih kepada pak dokter. Keadaan mata saya sekarang sudah lebih baik dari sebelumnya. Dokter sudah berusaha bersungguh sungguh mengoperasi mata saya dan memberikan perhatian dengan baik. Apalagi hubungan kita sudah seperti keluarga saja,dok '.
'Buat saya', lanjutnya, 'Ini saja sudah merupakan karunia yang amat berharga'.
'Tugas dokter hanyalah berusaha saja, biarkan Tuhan yang mengatur hasilnya... !!'.
--
Saya tertegun dan takjub mendengar ucapannya yang amat menyejukkan hati itu. Tugas dokter hanyalah berusaha saja, biarkanlah Tuhan yang mengatur hasilnya, kata kata ini terngiang ngiang kembali di benak saya ketika saya mengikuti salah satu mata kuliah Hukum Kesehatan di STHM Prodi MHKes Angkatan V yang membicarakan hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan.
Saya tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam dengan mengajukan 2 pertanyaan, apakah dokter tidak boleh menjanjikan kesembuhan terhadap para pasiennya?
Kalau memang tidak boleh, lantas apakah dokter  dapat dituduh melakukan malapraktik  atau dituntut secara hukum jika upaya atau penyembuhan yang dilakukannya ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan, atau malah menimbulkan cedera dan kematian  ?
Simpan pertanyaan pertanyaan ini !. Kita akan 'mengulik' dulu bagaimana sebetulnya hubungan hukum antara seorang dokter dengan pasiennya.