Semua orang sedang mengupas isu pemilu. Mulai dari gedung-gedung pencakar langit di Jakarta hingga warung-warung akar rumput di Kota Jogja, hampir tidak pernah absen membicarakan masa depan demokrasi Indonesia, arah pembangunan negara, dan siapa yang akan menjadi pemimpin berikutnya. Janji-janji politik disuarakan dengan penuh semangat, para juru bicara berdebat secara sengit, sementara masyarakat terus berusaha mengatasi rasa lapar dengan mi instan, kadang-kadang digoreng, dan sesekali direbus.
Betapa luar biasanya negara kaya yang dikenal sebagai Indonesia ini. Tanahnya subur, di mana singkong dan jagung tumbuh subur. Meskipun diwarisi oleh ide dan gagasan yang kuat, namun keberlanjutan ini terancam oleh pengabaian terhadap kepakaran. Negara ini tampaknya menjadi pabrik terbaik untuk menghasilkan kebodohan, tindakan politik yang kurang substansial, dan serangkaian langkah agresif yang merugikan intelektualitas. Masyarakat terus diperdaya oleh pembuatan mitos, mereka merayakan masa kejayaan (Indonesia Emas), sementara realitasnya adalah penampakan aksi menggali lubang kebobrokan.
Profesor Sukidi mengajak kita untuk menyelamatkan demokrasi dari ambang kehancuran, suatu seruan yang mulia yang mencerminkan situasi di mana negara benar-benar sedang menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun Indonesia tidak akan mati sebagai bangsa, perpindahan kedaulatan tertinggi dari rakyat ke sekelompok kecil penguasa merupakan suatu momen tragis yang saat ini sedang dijalani oleh negara. Negara ini sedang menciptakan kesempatan untuk mengubur kedaulatan rakyat dan kemudian menutupnya dengan partisipasi pemilik modal dan penguasa yang sekarang kita kenal sebagai oligarki.
"Negara Bukan-Bukan" adalah judul provocatif dari karya Kyai Nur Kholik Ridwan, yang membahas pandangan Gus Dur terhadap negara-bangsa yang berdasarkan Pancasila. Mungkin, Indonesia pasca Reformasi sedang mengalami demokrasi yang tidak sepenuhnya autentik, di mana walaupun demokrasi prosedural dirayakan secara meriah, namun belum tentu mencapai substansi yang diharapkan. Meskipun Pemilu dihiasi dengan semangat pesta demokrasi, tetapi mungkin tujuan utama dari demokrasi itu sendiri tidak selalu tercermin. Semoga prasangka saya ini tidak benar.
Teks ini mengusulkan perubahan fokus dalam pengecekan dan pengawasan terhadap praktik demokrasi di Indonesia, dengan lebih menekankan pada cara penggunaan kekuasaan daripada sekadar pertarungan untuk mendapatkannya. Ignas Kleden sebelumnya mencatat bahwa hampir semua partai memiliki cukup keterampilan politik untuk bersaing dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan, namun hanya sedikit yang menyadari signifikansi penggunaan kekuasaan dan mampu memanfaatkannya.
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely," tegas Lord Acton. Kekuasaan memiliki kecenderungan untuk menjadi korup, dan kekuasaan yang bersifat mutlak secara mutlak akan menjadi korup. Debat antara calon presiden dan calon wakil presiden tidak memberikan apapun selain trik-trik yang dangkal yang menampilkan kelemahan. Ini adalah jalannya yang sesungguhnya; jika tidak memiliki kekuatan untuk membahas isu substansial, maka berbagai cara dilakukan untuk menyembunyikan kekurangan dengan pertunjukan akrobat yang dangkal dan populis. Meskipun seharusnya debat presiden merupakan ajang untuk membahas ideologi, sayangnya, panggung demokrasi ini berubah menjadi tempat untuk menampilkan humor. Meski dunia ini sudah dalam keadaan memanas, calon pemimpin bangsa masih terus melibatkan diri dalam lelucon.
Akhirnya, masyarakat terlibat dalam perdebatan mengenai apa yang dianggap layak atau tidak, baik atau buruk, yang umumnya dikenal sebagai etika. Perdebatan yang seharusnya terjadi di panggung penting dan seharusnya mendorong masyarakat untuk membahas isu-isu substansial, kini bergeser fokusnya pada penilaian yang sangat subjektif tentang kebaikan atau keburukan. Perubahan ini terjadi karena pemimpin-pemimpin tidak lagi memegang teguh ideologi. Mereka beralih dari nilai-nilai publik menuju akrobat politik yang lebih bersifat pinggiran.
"Seorang mantan Ketua DPRD pernah berbagi pengalamannya kepada saya, bahwa dia selalu dipanggil oleh aparat penegak hukum (APH) dengan tuduhan memimpin korupsi APBD secara kolektif. Setiap kali dipanggil, dia ditekan agar tidak dijadikan tersangka. APH menunjukkan foto-foto kekayaan, aset, dan aibnya. Dia tidak memiliki pilihan selain membayar. Namun, setelah tidak lagi menjabat sebagai ketua DPRD dan kekayaannya habis, dia tetap dijadikan tersangka dan akhirnya dipenjara selama 7 tahun. Ini adalah contoh nyata seseorang yang menjadi sandera. Hidupnya kehilangan kemerdekaan, selalu dalam tekanan," demikian cuitan Mahfud MD di platform media sosial X.
Kita juga menyaksikan intelektual publik yang secara terang-terangan menurunkan tingkat keintelektualannya, bersuara lantang namun tindakannya bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini mereka perjuangkan. Sementara ada nuansa positif dalam tindakan mereka, di mana mereka mencoba untuk tetap relevan dengan perubahan dunia yang cepat, ada dugaan buruk bahwa mereka mungkin tengah terjebak seperti yang dijelaskan oleh Prof. Mahfud. Pada sisi yang kurang baik, kemungkinan mereka adalah oportunis yang kejam, haus kekuasaan, dan memiliki niat untuk melanjutkan kepentingan bisnis pribadi.
Pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada Taman Ismail Marzuki tahun 1977, yang kini dijadikan buku berjudul "Manusia Indonesia," kembali memperoleh relevansi. Sifat-sifat manusia Indonesia yang dijelaskan olehnya, seperti munafik, tidak mau bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, lemah karakter, dan boros, tampak terlihat dalam peristiwa besar yang dikenal sebagai Pesta Demokrasi 2024. Meskipun tidak semua hal yang dituliskan oleh Pak Mochtar dapat dianggap benar, perjalanan bangsa ini, terutama setelah periode Reformasi, semakin menegaskan bahwa bayangan kemunafikan, feodalisme, dan logika mistisisme itu benar-benar hadir.
Pertama, terdapat sikap kemunafikan, di mana seseorang tampil sebagai pemimpin yang sederhana di depan kamera, namun di belakang layar, ia melepaskan topengnya dan menjadi penguasa yang sangat ingin memegang kekuasaan. Meskipun secara vokal mendukung produk lokal, namun pakaian yang dikenakannya bukanlah hasil karya anak bangsa.
Kedua, terdapat ketidakmauan untuk bertanggung jawab, di mana pejabat negara saling melempar tanggung jawab saat terjadi masalah. Misalnya, kementerian A menyalahkan komisi B, atau kepala dinas C menyalahkan deputi D. Hal ini terus berlanjut tanpa penyelesaian yang konkret. Praktik melempar tanggung jawab menjadi suatu kebiasaan yang terpelihara dalam birokrasi Indonesia.
Ketiga, munculnya praktik feodalisme, di mana bawahan cenderung merahasiakan kekurangan atasan meskipun mereka menyadari bahwa atasan tersebut berbuat salah. Sistem feodal ini seringkali mengorbankan prestasi, keterampilan, dan loyalitas, yang seharusnya menjadi nilai utama, dengan membuangnya seperti dalam sebuah tong sampah. Tidak ada semangat untuk mendorong kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah, melainkan terdapat hierarki yang menempatkan pemerintah di atas dan masyarakat di bawah. Mereka yang berkuasa cenderung menolak kritik, dan rakyat sebagai subyek yang dikuasai merasa takut untuk bersuara. Masyarakat terlalu menghormati golongan bangsawan hingga seringkali melupakan bahwa bangsawan pun bisa berbuat salah dan memiliki dosa.
Kelima, kegoyahan karakter masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa mereka cenderung mudah berubah dan kurang memiliki kekuatan untuk mempertahankan nilai-nilai yang diyakini. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan untuk mengikuti arah yang diinginkan atasan, dengan asumsi bahwa perubahan sikap akan membawa keuntungan pribadi. Perdebatan mengenai nilai dan ideologi dalam masyarakat menjadi kurang menarik. Keenam, boros, di mana masyarakat modern Indonesia terpaksa menghabiskan uang secara berlebihan karena sistem mendorongnya, dengan maraknya iklan pinjaman online dan fitur pembayaran nanti yang mudah diakses. Teknologi menyediakan kemudahan bagi masyarakat untuk hidup berfoya-foya, rakus, dan menolak konsep hidup yang sederhana.
Berupaya sebisa mungkin untuk menghindari ciri-ciri negatif yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan cara terbaik sebagai individu untuk mencapai tujuan mencapai tingkat peradaban bangsa. Namun, jalur politik dan hukum dalam negara telah menyimpang dari tujuannya. Politik tidak lagi menjadi sarana untuk kepentingan bersama, dan hukum dimanipulasi untuk merusak demokrasi sambil melanjutkan praktik kekuasaan yang nepotis. Proyek-proyek strategis nasional terus berlanjut meskipun merugikan etika lingkungan, merampas ruang hidup masyarakat, dan merugikan nilai-nilai kemanusiaan.
Tatanan pemerintahan kita telah diganggu oleh aktor politik yang kejam dan tanpa rasa malu. Mereka telah meresahkan dengan memperkenalkan konflik kepentingan, menyalahgunakan posisi dan kewenangan mereka demi keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Kekejaman mereka terlihat ketika rakyat dengan susah payah membayar pajak, merasakan penderitaan akibat sakit, dan menghadapi berbagai masalah, sementara sejumlah kecil politisi malah memanfaatkan uang tersebut untuk mencapai agenda pribadi mereka.
Parade kebohongan, kekejaman, dan retorika kosong sudah cukup. Sudah saatnya untuk menyuarakan bahwa rakyat telah muak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H