Mohon tunggu...
Riki Hifni
Riki Hifni Mohon Tunggu... Freelancer - Seseorang yang mengagumi kata-kata

Lahir di Pasuruan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memoar Kondisi Manusia Indonesia di Tahun Politik

2 Februari 2024   13:34 Diperbarui: 2 Februari 2024   13:34 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada Taman Ismail Marzuki tahun 1977, yang kini dijadikan buku berjudul "Manusia Indonesia," kembali memperoleh relevansi. Sifat-sifat manusia Indonesia yang dijelaskan olehnya, seperti munafik, tidak mau bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, lemah karakter, dan boros, tampak terlihat dalam peristiwa besar yang dikenal sebagai Pesta Demokrasi 2024. Meskipun tidak semua hal yang dituliskan oleh Pak Mochtar dapat dianggap benar, perjalanan bangsa ini, terutama setelah periode Reformasi, semakin menegaskan bahwa bayangan kemunafikan, feodalisme, dan logika mistisisme itu benar-benar hadir.

Pertama, terdapat sikap kemunafikan, di mana seseorang tampil sebagai pemimpin yang sederhana di depan kamera, namun di belakang layar, ia melepaskan topengnya dan menjadi penguasa yang sangat ingin memegang kekuasaan. Meskipun secara vokal mendukung produk lokal, namun pakaian yang dikenakannya bukanlah hasil karya anak bangsa.

Kedua, terdapat ketidakmauan untuk bertanggung jawab, di mana pejabat negara saling melempar tanggung jawab saat terjadi masalah. Misalnya, kementerian A menyalahkan komisi B, atau kepala dinas C menyalahkan deputi D. Hal ini terus berlanjut tanpa penyelesaian yang konkret. Praktik melempar tanggung jawab menjadi suatu kebiasaan yang terpelihara dalam birokrasi Indonesia.

Ketiga, munculnya praktik feodalisme, di mana bawahan cenderung merahasiakan kekurangan atasan meskipun mereka menyadari bahwa atasan tersebut berbuat salah. Sistem feodal ini seringkali mengorbankan prestasi, keterampilan, dan loyalitas, yang seharusnya menjadi nilai utama, dengan membuangnya seperti dalam sebuah tong sampah. Tidak ada semangat untuk mendorong kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah, melainkan terdapat hierarki yang menempatkan pemerintah di atas dan masyarakat di bawah. Mereka yang berkuasa cenderung menolak kritik, dan rakyat sebagai subyek yang dikuasai merasa takut untuk bersuara. Masyarakat terlalu menghormati golongan bangsawan hingga seringkali melupakan bahwa bangsawan pun bisa berbuat salah dan memiliki dosa.

Kelima, kegoyahan karakter masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa mereka cenderung mudah berubah dan kurang memiliki kekuatan untuk mempertahankan nilai-nilai yang diyakini. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan untuk mengikuti arah yang diinginkan atasan, dengan asumsi bahwa perubahan sikap akan membawa keuntungan pribadi. Perdebatan mengenai nilai dan ideologi dalam masyarakat menjadi kurang menarik. Keenam, boros, di mana masyarakat modern Indonesia terpaksa menghabiskan uang secara berlebihan karena sistem mendorongnya, dengan maraknya iklan pinjaman online dan fitur pembayaran nanti yang mudah diakses. Teknologi menyediakan kemudahan bagi masyarakat untuk hidup berfoya-foya, rakus, dan menolak konsep hidup yang sederhana.

Berupaya sebisa mungkin untuk menghindari ciri-ciri negatif yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan cara terbaik sebagai individu untuk mencapai tujuan mencapai tingkat peradaban bangsa. Namun, jalur politik dan hukum dalam negara telah menyimpang dari tujuannya. Politik tidak lagi menjadi sarana untuk kepentingan bersama, dan hukum dimanipulasi untuk merusak demokrasi sambil melanjutkan praktik kekuasaan yang nepotis. Proyek-proyek strategis nasional terus berlanjut meskipun merugikan etika lingkungan, merampas ruang hidup masyarakat, dan merugikan nilai-nilai kemanusiaan.

Tatanan pemerintahan kita telah diganggu oleh aktor politik yang kejam dan tanpa rasa malu. Mereka telah meresahkan dengan memperkenalkan konflik kepentingan, menyalahgunakan posisi dan kewenangan mereka demi keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Kekejaman mereka terlihat ketika rakyat dengan susah payah membayar pajak, merasakan penderitaan akibat sakit, dan menghadapi berbagai masalah, sementara sejumlah kecil politisi malah memanfaatkan uang tersebut untuk mencapai agenda pribadi mereka.

Parade kebohongan, kekejaman, dan retorika kosong sudah cukup. Sudah saatnya untuk menyuarakan bahwa rakyat telah muak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun