Dalam cerita ini saya akan mengajak Anda mampir ke beranda sebuah toko buku dan memperhatikan sosok robot gembul berwarna kelabu dengan wajah mirip kucing. Robot itu sedang berdiri sambil memandangi hujan di luar sana, yang seperti akan turun selama-lamanya. Si robot menenteng sebuah kantung plastik berisi satu kumpulan cerita pendek Raymond Carver yang dibelinya dengan harapan bakal memperoleh beragam kisah sedih tentang cinta.
Pengendali robot itu adalah seorang lelaki berusia 23 tahun dan, selain merancap, kegiatan yang paling ia gemari adalah membaca roman sedih sebagaimana tokoh Pak Tua dalam novelnya Luis Seplveda. Mungkin karena ia juga tak pernah lepas dari rasa sedih; kesedihan bagaikan napas dalam hidupnya. Tapi saya tidak ingin menarik kesimpulan atas kesehatan mental pemuda itu. Tentu Anda tahu, jiwa manusia tak ubahnya ruangan yang memiliki bertumpuk-tumpuk sampah, dan kesedihan yang melanda kita bisa berasal dari tumpukan mana saja. Menguraikannya satu per satu boleh jadi akan butuh waktu lama---atau malah sepanjang masa.
Lelaki itu sudah tidak sabar ingin membaca karya Raymond Carver sejak kali pertama ia, secara tak sengaja, menonton video Harari Laksana membacakan salah satu cerpen Carver, yang berjudul What We Talk About When We Talk About Love, di kanal Youtube-nya. Lelaki itu, sebelum mulai membaca, mengaku tengah positif corona varian omega setelah nekat mendatangi seorang pelacur. Ia yakin umurnya tidak akan lama lagi dan memang kemudian ia mati seminggu setelahnya. Namun alih-alih memilih corona menghabisinya, Harari Laksana malah memutuskan untuk melompat dari puncak apartemennya dengan kedua tangan memeluk foto mendiang Budi Darma.
Bagaimanapun, kisah empat orang yang membicarakan makna cinta dan bukan cinta dalam cerpen Carver, yang dibaca Harari Laksana, terus terngiang di kepala tokoh utama kita. Mereka seperti mengajaknya untuk ikut pula memikirkan soal cinta dan kemudian mengenang kembali perempuan dari masa lalunya semasa SMA. Perempuan yang telah banyak mengirminya surat cinta dan pernah mengajukan sebuah pertanyaan tentang cinta kepadanya.
Sambil mengenang perempuan itu, melalui mata sang robot yang terhubung dengan kaca mata VR, ia bisa melihat hujan di depannya kian lebat. Sebenarnya ia ingin agar sang robot bergegas pulang karena ia tipikal orang yang tidak mau menunggu. Sayangnya, ia juga khawatir kalau butir-butir air seukuran biji jeruk itu akan merusak sirkuit robotnya dan itu berarti ia tak akan bisa bekerja atau membeli apa-apa dalam waktu yang lama dan wajib mengurus berkas-berkas birokrasi yang rumit agar pemerintah memberinya robot baru.
Samar-samar, selagi matanya menatap hujan melalui kaca mata VR, ia mendengar suara reporter dalam program berita yang tengah ditonton kedua orangtuanya. Ia, si reporter itu, sedang mewartakan satu topik yang kian membuatnya putus asa: bahwa vaksin untuk varian omega masih belum ditemukan, bahkan setelah lima tahun berlalu sejak pertama kali mutasi terkuat corona itu muncul.
Ia mengingat lagi hari-hari yang sempat membuat dirinya dan banyak orang berpikir kalau kiamat telah tiba. Saya yakin, Anda sekalian juga masih bisa merasakan kengerian sewaktu manusia bertumbangan di sana-sini dan mayat-mayat tidak hanya menyesaki rumah sakit, melainkan juga jalan-jalan, pasar, emper toko, rumah-rumah, bahkan lorong-lorong permukiman. Kuburan di mana pun penuh, dan pesanan peti mati membeludak, walau banyak yang tak selesai karena sebagian besar tukang peti pun meregang nyawa ditapis jalang corona.
Dunia seperti kehilangan harapan karena masker, hazmat, bahkan vaksin merek apa saja, melempem semua di hadapan varian omega. Dan pada akhirnya, sembari menanti harapan entah apa pun itu, kita memilih hidup seperti kura-kura yang enggan keluar dari tempurungnya.
Saya dan Anda telah kehilangan banyak hal tak tergantikan dalam hidup. Saya sendiri kerap merasa hampa, bahkan setelah negara-negara di berbagai penjuru dunia bersatu dan, entah dengan cara bagaimana, berhasil mengumpulkan para ahli robot sampai programmer yang biasa berurusan dengan kecerdasan buatan untuk membikin avatar agar manusia bisa melanjutkan hidup tanpa perlu keluar rumah. Begitulah, tahu-tahu kita menjalani peradaban hanya dari dalam rumah, sambil mengenakan kaca mata VR, menancapkan kabel pada biocip yang tertempel di pelipis kanan dan kiri, lalu menyerahkan separuh kesadaran pada robot dan robot-robot ini telah diprogram untuk hanya bisa dipakai satu orang saja.
Saya dan Anda memang bisa kembali melanjutkan hidup, tapi kita sama-sama tahu: tak ada lagi yang sama sejak varian omega. Segala hal kelihatan muram dan hanya bandul nasib yang kita punya.
Selama sepersekian detik, ada kesedihan juga yang merambat dalam diri tokoh utama kita tiap kali mengenang masa-masa itu. Kesedihan yang ibarat ular pelan-pelan melata di permukaan kulit: dingin dan meresahkan. Namun paling tidak, dengan ini, kita bisa menduga bahwa salah satu uraian sampah yang terus memerosokkannya dalam perasaan murung adalah eksistensi ruang-ruang kosong dalam jiwanya setelah ditinggal mati banyak orang terdekat gara-gara varian omega.
Kenapa aku ditakdirkan masih hidup, kenapa aku juga tidak mati, padahal batas antara kematian dan kehidupan sekarang lebih tipis ketimbang kain, begitulah ia kerap membatin. Bahkan mengayun kaki ke luar pintu rumah saja rasanya begitu mencekam seolah-olah ada ranjau di dasar tanah yang akan kita injak.
Mendadak ia seakan disergap oleh keheningan yang sublim dan dalam suasana singkat itu, ia baru sadar kalau toko buku tempat robotnya berteduh sedang memutar lagu-lagu. Lamunannya dari tadi pasti parah sekali, lalu secara faali, ia membuat kepala sang robot berputar agar ia bisa menemukan arah pengeras suara dan mendekatkan robot ke arahnya, tapi percuma; ia cuma bisa mendapati robot-robot berwajah binatang lain yang juga sedang berteduh.
Sekarang ini, toko buku tersebut sedang memutar lagu dari puisinya Goenawan Mohammad berjudul Surat Cinta yang dinyanyikan perempuan entah siapa.
Ia jadi terkenang pada surat cinta kiriman perempuan dari masa lalunya. Kalau ingatan tak berkhianat, ia yakin perempuan itulah yang telah membuatnya jatuh cinta pada cerita, pada karya-karya sastra. Perempuan itu kerap mengiriminya surat cinta melalui surel; surat-surat panjang tentang berbagai cerita yang ia yakin hanya bisa ditulis dengan kemurnian hati selevel orang suci.
Ketika lelaki tokoh utama kita sedang terbenam dalam kenangannya, tiba-tiba sesosok robot putih yang juga berwajah kucing mengagetkannya.
"Wah, beli Carver juga," ujar suara dari robot itu. Suara seorang perempuan.
Ia merasa hangat seketika, sebab sejak pemerintah mewajibkan semua orang harus beraktivitas dengan diwakili robot, interaksi antarsesama manusia, di luar ayah serta ibunya, sesingkat apa pun, adalah sesuatu yang cukup jarang dalam hidupnya.
"Pasti gara-gara nonton Youtube-nya Harari Laksana, kan?" tebak si robot putih. Lalu ia pun menunjukkan kantung plastiknya yang juga berisi kumpulan cerpen Raymond Carver. "Saya dengar memang banyak yang sedang penasaran dengan sosok Harari Laksana dan berusaha membeli buku-buku yang pernah ia baca," imbuhnya.
"Wajar," balas si lelaki. "Dia bunuh diri dengan loncat dari lantai sepuluh sambil menenteng foto Budi Darma. Sungguh cara bunuh diri yang eksperimental. Kupikir, cara ia mengakhiri hidup bahkan lebih hebat ketimbang karya-karyanya."
"Mungkin dia hanya tak mau mati karena corona. Yang begitu bisa disebut resistensi, kan?"
"Mungkin," ulang si lelaki. "Tapi kenapa harus pakai foto Budi Darma segala? Kupikir dia benci Budi Darma."
"Nah, itu sama misterusnya dengan kenapa Vincent Van Gogh mengiris daun telinganya sendiri."
Mereka terdiam sejenak, saling pandang. Seseorang yang berbicara melalui robot putih berwajah kucing ini pasti menyenangkan kalau diajak ngobrol, pikir si lelaki. Dan mungkin si robot putih pun berpikir demikian.
Pembaca yang budiman. Meskipun ia membuat tokoh utama kita merasakan ada sesuatu di dadanya yang menyebarkan rasa hangat ke sekujur tubuh, tapi saya pikir terlalu dini untuk mengatakan bahwa itu adalah cinta. Jadi mari bersepakat untuk menyebut sensasi keterhubungan mereka sebagai afinitas. Karenanya mereka bisa akrab dengan cepat dan obrolan mereka riuh mengalir seperti sungai yang bisa mengisi ceruk mana saja yang ia lewati. Dan aliran, seperti siklus kehidupan, pada akhirnya akan membawa kita ke awal. Dalam konteks ini, maksud saya, adalah Raymond Carver.
Mereka terdengar serius sekali ketika membicarakan kumpulan cerpen What We Talk About When We Talk About Love karya Carver melalui perantara robot masing-masing. Seperti tokoh-tokoh dalam cerpen itu, mereka juga ikut-ikutan membicarakan soal cinta, di mana orang sering berselisih untuk mendefinisikan maknanya dan kebanyakan cenderung terjebak dalam pandangan yang biner antara cinta dan bukan cinta. Tapi apakah cinta dan bukan cinta adalah sesuatu yang bisa kita tarik dengan tegas batasan-batasannya?
Perempuan yang berbicara melalui robot kucing putih lalu bercerita mengenai sepasang suami istri yang bahagia. Hidup mereka bisa dibilang lengkap; mereka keluarga kelas menengah yang berkecukupan dan mereka memiliki seorang anak perempuan dengan wajah yang begitu damai seolah-olah tidak pernah tersentuh dosa atau kesulitan secuil pun. Keharmonisan rumah tangga mereka ibarat benteng kokoh yang masih akan tetap berdiri sekalipun dunia remuk.
Namun suatu hari, si istri tertarik pada lelaki lain di kantornya dan mereka sempat menjalin hubungan gelap. Saat itu, sang lelaki bahkan nekat untuk menemui suaminya dan memintanya agar menceraikan sang istri segera. Sebab aku bisa memberikan cinta yang lebih layak ketimbang kamu, kata si selingkuhan.
Ketika suaminya mengonfirmasi apakah sang istri benar-benar ingin mereka bercerai, sang istri jadi bimbang. Memang ia mencintai selingkuhannya. Tetapi ia sebenarnya ia juga masih mencintai sang suami.
"Cintanya pada sang selingkuhan memang memiliki sensasi yang berbeda dengan cintanya pada sang suami. Begitulah yang ia rasakan. Nah, kalau seperti ini kasusnya, patutkah kita mengakui salah satunya sebagai cinta sejati dan mengerdilkan perasaan yang lainnya? Bagaimana menurutmu?"
Begitulah, perempuan yang berbicara melalui robot kucing putih mengakhiri ceritanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bagi kebanyakan orang pasti bisa dijawab enteng saja.
Namun tokoh utama kita yang merupakan penyuka cerita-cerita sedih tampak memikirkan itu dengan serius. Bahkan setelah hujan mereda, lalu robot mereka pulang ke tempat masing-masing, ia masih tercenung dengan pertanyaan lawan bicaranya tadi.
Di rumah, sembari membaca cerpen What We Talk About When We Talk About Love, ia terkenang lagi akan perempuan yang kerap mengiriminya surat cinta melalui surel. Surat terakhir dikirim oleh perempuan itu saat ia sedang terinfeksi varian omega. Di akhir surat tersebut, ia menulis begini:
Saya ingin tahu jawabanmu, sebab saya akan segera mati. Apakah kamu mencintai saya secara utuh sebagaimana saya mencintai kamu?
Ia menjawabnya, tapi ia yakin pesan yang ia kirim tak pernah sempat dibaca oleh perempuan itu. Sebab besoknya, si perempuan mati.
Mungkin kekosongan dalam dirinya adalah peninggalan perempuan itu. Lantaran tak tahu bagaimana menutupnya, kekosongan dalam dirinya jadi terus melebar dan oleh karena itu saya harap Anda tidak keberatan bila saya mengakhiri cerita sampai di sini. Anda harus tahu bahwa ada yang lebih menyedihkan dari perkara cinta dan bukan cinta dan itu adalah ketika Anda tidak pernah tahu apakah pihak yang Anda cintai, mencintai Anda balik atau tidak?
Saya rasa begitulah kenapa masalah saya tak mungkin terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H