Kenapa aku ditakdirkan masih hidup, kenapa aku juga tidak mati, padahal batas antara kematian dan kehidupan sekarang lebih tipis ketimbang kain, begitulah ia kerap membatin. Bahkan mengayun kaki ke luar pintu rumah saja rasanya begitu mencekam seolah-olah ada ranjau di dasar tanah yang akan kita injak.
Mendadak ia seakan disergap oleh keheningan yang sublim dan dalam suasana singkat itu, ia baru sadar kalau toko buku tempat robotnya berteduh sedang memutar lagu-lagu. Lamunannya dari tadi pasti parah sekali, lalu secara faali, ia membuat kepala sang robot berputar agar ia bisa menemukan arah pengeras suara dan mendekatkan robot ke arahnya, tapi percuma; ia cuma bisa mendapati robot-robot berwajah binatang lain yang juga sedang berteduh.
Sekarang ini, toko buku tersebut sedang memutar lagu dari puisinya Goenawan Mohammad berjudul Surat Cinta yang dinyanyikan perempuan entah siapa.
Ia jadi terkenang pada surat cinta kiriman perempuan dari masa lalunya. Kalau ingatan tak berkhianat, ia yakin perempuan itulah yang telah membuatnya jatuh cinta pada cerita, pada karya-karya sastra. Perempuan itu kerap mengiriminya surat cinta melalui surel; surat-surat panjang tentang berbagai cerita yang ia yakin hanya bisa ditulis dengan kemurnian hati selevel orang suci.
Ketika lelaki tokoh utama kita sedang terbenam dalam kenangannya, tiba-tiba sesosok robot putih yang juga berwajah kucing mengagetkannya.
"Wah, beli Carver juga," ujar suara dari robot itu. Suara seorang perempuan.
Ia merasa hangat seketika, sebab sejak pemerintah mewajibkan semua orang harus beraktivitas dengan diwakili robot, interaksi antarsesama manusia, di luar ayah serta ibunya, sesingkat apa pun, adalah sesuatu yang cukup jarang dalam hidupnya.
"Pasti gara-gara nonton Youtube-nya Harari Laksana, kan?" tebak si robot putih. Lalu ia pun menunjukkan kantung plastiknya yang juga berisi kumpulan cerpen Raymond Carver. "Saya dengar memang banyak yang sedang penasaran dengan sosok Harari Laksana dan berusaha membeli buku-buku yang pernah ia baca," imbuhnya.
"Wajar," balas si lelaki. "Dia bunuh diri dengan loncat dari lantai sepuluh sambil menenteng foto Budi Darma. Sungguh cara bunuh diri yang eksperimental. Kupikir, cara ia mengakhiri hidup bahkan lebih hebat ketimbang karya-karyanya."
"Mungkin dia hanya tak mau mati karena corona. Yang begitu bisa disebut resistensi, kan?"
"Mungkin," ulang si lelaki. "Tapi kenapa harus pakai foto Budi Darma segala? Kupikir dia benci Budi Darma."