Mohon tunggu...
riki ahmad
riki ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya membaca, bermain bola dan bermain bulutangkis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Pemilu di Indonesia dengan Pemikiran Politik dalam Islam

9 Oktober 2023   08:56 Diperbarui: 9 Oktober 2023   09:47 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu metode untuk memilih pemimpin, baik legislatif maupun ekskutif. Hal demikian bisa diliha dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan umum. Sehingga pemilu menjadi metode yang sah dan konstitusional di Indonesia. Meski demikian, konsep pemilihan pemimpin melalui pemilu tetap saja menimbulkn pro dan kontra, termasuk bila dilihat dari sudut pandang pemikiran politik dalam islam. Penelitian ini merupakan penelitian konseptual dengan membandingkan konsep pemilu dengan konsep pemilihan pemimpin dalam islam. 

Metode pemilihan pemimpin melalui pemilu memiki kesamaan dengan beberapa metode pemikian politik dalam islam, seperti adanya kesamaan antara pemilu dengan baiat dan musyawarah. Alasan tersebut menjadi dua diantara beberapa dasar bagi kelompok yang pro terhadap pemilu, serta tidak adanya panduan baku dalam al-Qur'an dan Hadits yang mengharuskan melaksanakan satu metode tertentu dalam pemilihan pemimpin. Sedangkan yang kelompok yang kontra terhadap pemilu berdalih tidak ada dalil baik dalam al-Qur'an maupun Hadits tentang pelaksanaan pemilu, serta prinsip pemilu adalah mencari suara yang terbanyak dan ini dilarang dalam syariat.

Sejarah Pemilu dalam Islam Pemilihan umum (pemilu) sejatinya sudah ada sejak jaman dahulu, meski cara penerapannya tidak sama persis dengan jaman sekarang. Setidaknya, hal tersebut dapat dilacak dalam sejarah perpolitikan umat Islam di mana saat itu telah dikenal beberapa cara dalam pengangkatan kepala negara. Adapun mekanisme pemilu yang tertera dalam literatur klasik ada tiga metode, dan ini yang berkembang dalam tradisi suni. Pertama, pembaiatan yang dilakukan oleh ahlul halli wa al-'aqdi. Ketika komite ini sudah membaiat seorang pemimpin dan kemudian diikuti oleh seluruh orang, maka pemilihan seperti ini sudah sah dan legal. 

Metode seperti ini pula yang digunakan untuk membaiat sahabat Abu Bakar al-Shiddiq dan sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra. Jika dilihat dengan perspektif kontemporer, sebenarnya pemilihan Abu Bakar---setelah melalui perundingan yang cukup alot---dari segi cara dan proses yang dilakukan adalah sama dengan cara yang dipakai dalam parlemen pada masa kini. Team khusus akan dibentuk untuk menentukan layak tidaknya seorang calon pemimpin dengan melihat kemampuan calon tersebut sebelum dinyatakan layak atau tidak untuk bertarung dalam pemilihan umum. 

Kedua, pencalonan oleh pemimpin sebelumnya (istikhlaf). Istikhlaf adalah sistem pemilihan pemimpin dengan dengan cara pencalonan (rekomendasi) oleh pemimpin sebelumnya. Hanya kadang kala juga dalam bentuk penyebutan sifat-sifat yang ada pada calon pemimpin yang akan dilantik. Cara ini juga dikenal dengan istilah wilayat al-'ahdi. Dalam sistem pemerintahan Islam cara pemilihan yang seperti ini pernah berlaku dua kali yaitu pada pemilihan Umar ibn Khattab.

Ketika Abu Bakar al-Shiddiq dalam keadaan sakit parah beliau bertanya kepada beberapa orang sahabat seperti Abdul Rahman bin Auf, Usman bin Affan dan Said bin Khudhair mengenai Umar bin Khattab dan mereka merekomendasikan Umar kepada Abu Bakar. Setelah mendapat rekomendasi dari para sahabat, Abu Bakar meminta Usman untuk menulis wasiat pemiliahan Umar. kemudian Abu Bakar berbicara di depan publik dan mengeluarkan pernyataan mengenai pencalonan Umar sebagai pengganti Khalifah. Setelah mendapat persetujuan umat maka terjadilah pembaiatan oleh publik di dalam Masjid.

Ketiga, rekomendasi dari seorang pemimpin untuk membuat tim formatur yang terdiri dari ahlul halli wa al-'aqdi untuk memilih seorang pemimpin dari kalangan mereka, setelah itu ahlul halli wa al-'aqdi membaiatnya yang kemudian juga diikuti oleh semua orang.

Cara seperti ini pernah terjadi ketika pengangkatan Utsman ibn Affan.Adapun pemilihan Usman bin Affan terjadi setelah Umar Bin Khattab kritis akibat tikaman Abu Lu'luah. Umar merasakan nyawanya tidak akan tertolong, maka beliau berpesan kepada sahabat untuk memilih salah seorang di antara sepuluh orang yang mendapat jaminan masuk surga dari Rasulullah sebagai calon pengganti beliau. Selang tiga hari Umar bin Khattab wafat maka terpilihlah Usman bin Affan sebagai pemimpin umat Islam yang ketiga dan terjadilah pembaiatan secara Umum. Hubungan Pemilu dengan Baiat

Baiat adalah sebuah ikatan antara seorang pemimpin dengan rakyatnya, di mana rakyat wajib mematuhi pemimpinnya dan pemimpin wajib menjaga dan melindungi warganya. Sedangkan mekanismenya, pertama ahlul halli wa al-'aqdi menyeleksi para calon pemimpin dengan kriteria utama kecakapan dalam hal kepemimpinan, setelah berhasil menemukan satu orang yang dianggap mencukupi syarat setelah itu baru dibaiat oleh seluruh rakyat. Konsekuensinya, rakyat wajib mematuhi pemimpin yang telah resmi dibaiat.

Hubungan Pemilu dengan Musyawarah

Para ulama kontemporer berbeda pendapat, apakah pemilu masuk dalam kategori musyawarah atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, seperti Muhammad Rasyid Ridla dan Al-Maududi mengatakan bahwa pemilu masuk dalam kategori musyawarah. Argumen dari kelompok ini adalah: (1) QS. Al-Syura [42]: 38 yang artinya: "...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka", intruksi untuk bermusyawarah dalam ayat ini bersifat universal untuk semua orang, dengan begitu maka pemilu masuk dalam kandungan ayat tersebut.

2) musyawarah merupakan ranah duniawi, maka hukum asalnya adalah mubah, mekanismenya pun juga tergantung dengan situasi dengan kondisi, dan oleh karenanya dengan adanya sistem pemilu bisa dijadikan jalan untuk mengaplikasikan konsep musyawarah. Kelompok kedua, seperti Muhammad Al-Imam, Mahmud Syakir dan Al-Amin Al-Haj Muhammad menyatakan bahwa pemilu tidak termasuk musyawarah. Mereka berargumen bahwa: (1) prinsip musyawarah dalam Islam dikembalikan kepada wewenang ahlul halli wa al-aqdi---meski argumen ini bisa didebat bahwa Nabi Muhammad dalam bermusyawarah tidak hanya terbatas dengan kalangan Sahabat, tetapi dengan semua orang, (2) pemilu merupakan produk demokrasi kafir.Pendapat yang otoritatif (mu'tabar) dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama yang menyatakan bahwa pemilu termasuk kategori musyawarah.

Hukum Pemilihan Umum (Pemilu)

Para ulama telah bersepakat tentang kebolehan praktik pemilu jika ruang lingkupnya hanya sebatas kalangan ahlu al-halli wa al-'aqdi. Yang dimaksud dengan ahlu al-halli wa al-'aqdi adalah sekelompok orang yang mempunyai sifat adil, cerdas dan berakhlak mulia yang menjadi panutan masyarakat banyak dan disegani oleh masyarakat tersebut. Model pemilihan dengan melalui mekanisme ini sudah tidak ada perdebatan di kalangan para ulama. Hal itu karena mekanisme ini pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq dan Usman ibn Affan. 

Perdebatan muncul ketika dihadapkan dengan fakta adanya pemilihan umum yang melibatkan seluruh elemen masyarakat (orang banyak) seperti yang terjadi sekarang ini. Maka dalam hal ini, di kalangan ulama kontemporer sendiri suara mereka terpecah menjadi dua. Ada kubu yang memperbolehkan dan ada kubu yang melarangnya (haram). Untuk mengetahui pandangan mereka beserta argumen-argumennya, maka ulasan penulis berikut menarik untuk di simak.

1)Pro-Pemilu

Menurut kubu yang memperbolehkan yang dianggotai ulama-ulama sekaliber Muhammad Rasyid Ridla, Abu A'la Al-Maududi, Yususf Al-Qardlawi, Abdul Karim Zaidan, Abdul Qadir Audah, Munir Al-Bayati, Qahthan Al-Duri dan sederet ulama kontemporer lainnya bahwa hukum pemilu adalah diperbolehkan. Adapun argumentasi yang mereka ajukan adalah.

Pertama, secara prinsipil bahwa baiat adalah memperlihatkan bentuk kesetujuan orang yang membaiat (pemilih) kepada orang yang dibaiat (dipilih).

 Kedua, peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi ketika Nabi Muhammad Saw. Masih hidup. Di antara peristiwa itu adalah: (1) baiat al-aqabah, dalam peristiwa itu Nabi meminta kepada Anshar untuk memilih pemimpin sebanyak 12 orang. Lalu mereka memilih sembilan orang dari suku Khazraj dan tiga orang dari suku Aus. Stelah itu Nabi bersabda: "kalian menjadi pemimpin bagi kaum kalian." Wajhu dilalah dari peristiwa ini adalah Nabi meminta kepada para sahabatnya untuk memilih dua belas orang dan tidak menentukan cara pemilihannya di satu sisi, dan pemilihan itu dilakukan oleh seluruh sahabat Nabi Saat itu di sisi yang lain.

Ketiga, syariat Islam datang dengan menganggap sah rida (kerelaan) orang orang ketika pembaiatan dan tidak menentukan mekanisme untuk mngetahui rida tersebut secara mendetail. Pemilu dalam hal ini adalah metode baru yang digunakan untuk mengetahui keridaan manusia tersebut dan selama ini tidak Ada dalil yang melarang pada satu sisi, kemudian juga tidak ada dalil yang Mewajibkan mekanisme tertentu pada sisi yang lain.

Keempat, bahwasannya metode pengangkatan khalifah al-rasyidah termasuk dalam wilayah ijtihadiyah, serta tidak ada dalil yang mekanisme tertentu. Hal ini sesuai dengan teori ushul fikih yang menyatakan perubahan Hukum dengan berubahnya situasi dan kondisi. Maka setiap mekanisme apaun Dilegalkan selama tidak berbenturan dengan syariat (Al-Quran dan Hadits). Fakta Historis menjadi pembenar dalil ini, di mana pengangkatan empat khalifah Rasulullah Saw. Dengan mekanisme yang sangat beragam.

Kelima, sesungguhnya pemilu adalah cara yang paling tepat dan efisien Untuk mengetahui arah pemikiran manusia secara adil akurat. Pada saat yang Bersamaan, orang yang kontra-pemilu tidak menemukan cara selain dengan Pemilu.

2) Kontra-Pemilu

Adapun kubu yang melarang pemilu juga didukung oleh berjibun ulama, seperti Muhammad Ra'fat Utsman, Mahmud Syakir, Hafidz Anwar, Salih ibn Fauzan al-Fauzan, Muhammad ibn Sa'ad al-Ghamidi, Yahya al-Hajuri dan ulama-ulama yang lain. Kubu inipun juga mengemukakan sederet dalil tentang keharaman pemilu.

Pertama, tidak ada dalil agama yang melegalkan pemilu, baik dari Al-Quran maupun Hadits. Pemilu juga tidak pernah dikenal pada jaman salaf, seandainya hal ini adalah baik tentu Rasulullah dan para sahabatnya tidak akan meninggalkannya.

Kedua, terdapat banyak mafsadah dalam pemilu, yaitu di antaranya fanatisme terhadap kelompok/partai, pembeliaan suara, memecah belah umat dan membuang-buang waktu.

Ketiga, prinsip pemilu adalah mencari suara yang terbanyak dan ini dilarang dalam syariat, seperti digambarkan dalam QS. Al-An'am [6]: 116 yang berarti: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkannmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)" dan QS. Al-A'raf [7]: 102 yang berarti: "Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji, sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik". Dalam Islam tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas, yang ada adalah kebenaran, walau dari satu orang, maka harus diambil atau kebatilan, meski dari orang banyak, maka wajib ditolak.

Keempat, penyamaan suara dalam pemilu antara antara orang alim dengan orang bodoh. Oleh karena semua orang dianggap sama dalam pemilu, maka ilmu, ketaqwaan dan ikhtiyar tidak berfungsi lagi dalam pemilu. Hal ini jelas jalan yang menyimpang yang diambil dari sistem demokrasi. Padahal Allah Swt. dalam QS. Al-Zumar [39]: 9 sudah berfirman yang artinya: "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui".

Kelima, pemilu adalah sistem demokrasi-jahili yang diimpor dari orang kafir.

Penutup

Secara epistemologis, masih terjadi perdebatan seputar hukum pemilihan umum (pemilu) di kalangan intelektual Muslim kontemporer. Dari perdebatan itu akhirnya terbelah menjadi dua kubu; ada yang memperbolehkan dan juga ada yang melarangnya. Merespon dua kubu yang berseberangan di atas, peneliti memberikan sikap untuk setuju terhadap argumentasi-argumentasi kelompok yang pro terhadap pelaksanaan pemilu, termasuk di Indonesia.

Ada beberapa alasan yang menjadi landasan peneliti mengambil sikap demikian; pertama: tidak adanya sistem baku yang diatur oleh islam dalam pemilihan pemimpin, kedua; pemilu adalah cara yang paling tepat dan efisien untuk mengetahui arah pemikiran manusia secara adil akurat, hal demikian memiki kemiripan dengan metode bai'at yang pernah dilakukan di zaman nabi dan kepemimpinan Khulafah al-Rasyidin, seperti baiat al-aqabah. Ketiga:belum ada metode lain yang lebih tepat dan efisien untuk menggantikan pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun