2) Kontra-Pemilu
Adapun kubu yang melarang pemilu juga didukung oleh berjibun ulama, seperti Muhammad Ra'fat Utsman, Mahmud Syakir, Hafidz Anwar, Salih ibn Fauzan al-Fauzan, Muhammad ibn Sa'ad al-Ghamidi, Yahya al-Hajuri dan ulama-ulama yang lain. Kubu inipun juga mengemukakan sederet dalil tentang keharaman pemilu.
Pertama, tidak ada dalil agama yang melegalkan pemilu, baik dari Al-Quran maupun Hadits. Pemilu juga tidak pernah dikenal pada jaman salaf, seandainya hal ini adalah baik tentu Rasulullah dan para sahabatnya tidak akan meninggalkannya.
Kedua, terdapat banyak mafsadah dalam pemilu, yaitu di antaranya fanatisme terhadap kelompok/partai, pembeliaan suara, memecah belah umat dan membuang-buang waktu.
Ketiga, prinsip pemilu adalah mencari suara yang terbanyak dan ini dilarang dalam syariat, seperti digambarkan dalam QS. Al-An'am [6]: 116 yang berarti: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkannmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)" dan QS. Al-A'raf [7]: 102 yang berarti: "Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji, sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik". Dalam Islam tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas, yang ada adalah kebenaran, walau dari satu orang, maka harus diambil atau kebatilan, meski dari orang banyak, maka wajib ditolak.
Keempat, penyamaan suara dalam pemilu antara antara orang alim dengan orang bodoh. Oleh karena semua orang dianggap sama dalam pemilu, maka ilmu, ketaqwaan dan ikhtiyar tidak berfungsi lagi dalam pemilu. Hal ini jelas jalan yang menyimpang yang diambil dari sistem demokrasi. Padahal Allah Swt. dalam QS. Al-Zumar [39]: 9 sudah berfirman yang artinya: "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui".
Kelima, pemilu adalah sistem demokrasi-jahili yang diimpor dari orang kafir.
Penutup
Secara epistemologis, masih terjadi perdebatan seputar hukum pemilihan umum (pemilu) di kalangan intelektual Muslim kontemporer. Dari perdebatan itu akhirnya terbelah menjadi dua kubu; ada yang memperbolehkan dan juga ada yang melarangnya. Merespon dua kubu yang berseberangan di atas, peneliti memberikan sikap untuk setuju terhadap argumentasi-argumentasi kelompok yang pro terhadap pelaksanaan pemilu, termasuk di Indonesia.
Ada beberapa alasan yang menjadi landasan peneliti mengambil sikap demikian; pertama: tidak adanya sistem baku yang diatur oleh islam dalam pemilihan pemimpin, kedua; pemilu adalah cara yang paling tepat dan efisien untuk mengetahui arah pemikiran manusia secara adil akurat, hal demikian memiki kemiripan dengan metode bai'at yang pernah dilakukan di zaman nabi dan kepemimpinan Khulafah al-Rasyidin, seperti baiat al-aqabah. Ketiga:belum ada metode lain yang lebih tepat dan efisien untuk menggantikan pemilu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI