Mohon tunggu...
Rikho Afriyandi
Rikho Afriyandi Mohon Tunggu... Guru - Kaum Rebahan

Menulis apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Singkat tentang Syar'u Man Qablana

8 Mei 2020   21:25 Diperbarui: 13 Agustus 2021   23:06 7537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenal Singkat tentang Syar'u Man Qablana | islam.nu.or.id

 

Sebagaimana diketahui, bahwa Allah mengutus Nabi, dan Rasul pada zaman, dan untuk umat tertentu. Mereka diutus untuk menjadi petunjuk dengan ajaran yang dibawanya. Ajaran itu berisi tentang akidah, ibadah, hubungan dengan sesama, dan sebagainya.

Nabi yang terakhir, sekaligus penutup para nabi yang diutus Allah adalah Nabi Muhammad, dan kita serta generasi selanjutnya adalah umatnya. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad adalah penyempurna daripada ajaran yang disampaikan oleh Nabi, dan Rasul sebelumnya, dan ajaran inilah yang kita ikuti, dan amalkan.

Sekarang, yang jadi pertanyaannya adalah bolehkah kita sebagai umat Nabi Muhammad menjadikan syariat sebelumnya sebagai dasar penetapan landasan hukum? Misalnya, tentang kebolehan pemimpin perempuan dengan alasan bahwa pada zaman Nabi Sulaiman, ada seorang perempuan yang menjadi pemimpin (Ratu Bilqis). Jika tidak boleh, maka, bagaimana selanjutnya? Bukankah kita dalam rukun iman diperintahkan agar mengimani kepada para Nabi, dan Rasul?

Baca juga : Kupas Tuntas Hadits Kewajiban Menuntut Ilmu

Perlu digarisbawahi terlebih dahulu, dalam tulisan ini kita tidak akan membahas tentang boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin, sekali lagi, tidak. Yang akan kita ulas di sini adalah bagaimana kedudukan syariat sebelum kita, yakni ajaran yang dibawa oleh Nabi, dan Rasul terdahulu, sebelum Nabi Muhammad, atau yang biasa disebut syar'u man qablana.

Syar'u man qablana tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Yazid dalam Analisis Teori Syar'u Man Qablana, dikelompokkan menjadi 3:

Pertama, bahwa syariat terdahulu telah di-nasakh atau dihapus oleh syari'at Nabi Muhammad. Dengan kata lain, syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau Hadis nabi untuk umat sebelum Nabi Muhammad, dan dijelaskan juga dalam Alquran atau Hadis Nabi, bahwa yang demikian itu telah dihapus, dan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-An'am ayat 146:

Terjemah: Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.

Baca juga : Hadits Ini Memotivasi untuk Rajin Berbagi

Ayat di atas menceritakan tentang apa yang diharamkan bagi orang Yahudi. Kemudian, dalam Alquran dijelaskan bahwa yang demikian tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. sebagaimana diuraikan dalam surah Al-An'am ayat 145:

Terjemah: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Kedua, syariat terdahulu yang dijelaskan dalam Alquran atau Hadis Nabi untuk umat terdahulu, dan dijelaskan juga dalam Alquran atau Hadis Nabi, bahwa yang demikian itu juga diperintahkan untuk umat Nabi Muhammad. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 183:

Terjemah: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Ketiga, hukum yang dijelaskan dalam Alquran atau Hadis Nabi untuk umat terdahulu, namun tidak secara tegas diperintahkan untuk umat Nabi Muhammad (sebagaimana poin kedua), juga tidak diterangkan bahwa hal tersebut telah dihapus (sebagaimana poin satu). Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Maidah ayat 45:

Baca juga : Kumpulan Doa, Hadits, dan Ayat Al-Quran Saat Bulan Ramadan yang Telah Saya Pelajari Sejak Kecil

Terjemah: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka (Yahudi) di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Semua bentuk di atas, poin satu, dan dua telah jelas, dengan catatan (syariat terdahulu) memang disebutkan berdasarkan sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam, tidak dengan cerita-cerita terdahulu. Kemudian, poin ketiga-lah yang menjadi perdebatan para Ulama, apakah ia bisa dijadikan dasar untuk menetapkan hukum atau tidak. Setidaknya ada dua pendapat mengenai hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Yazid, sebagai berikut:

Pertama, bahwa hukum-hukum syara' sebelum kita dalam poin ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.

Kedua, bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau Hadis Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. 

Dari sini muncul kaidah syar'u man qablana, syar'u lana (syariat sebelum kita, adalah syariat kita). Alasan yang dikemukakannya adalah beberapa petunjuk dalam Alquran, diantaranya adalah surah Asy-Syura ayat 13, dan An-Nahl ayat 123:

Terjemah: (13) Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Terjemah: (123) Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus)" dan bukanlah dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.

Akhiran, tulisan ini, sebagaimana dijelaskan dalam judul, adalah pengenalan singkat untuk kita mengenai syar'u man qablana, serta bagaimana kedudukannya dalam penetapan hukum Islam. 

Penulis sarankan untuk membaca lebih jauh lagi mengenai hal ini, karena masih banyak di dalamnya yang menjadi pembahasan para ulama. Semoga tulisan ini sederhana ini dapat bermanfaat, dan menjadi pijakan awal untuk mengetahuinya lebih jauh, bagi teman-teman semua. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun